Mohon tunggu...
Anita Puspitasari
Anita Puspitasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang berharap eksistensi dirinya berpengaruh positif pada orang di sekitarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dalam Diam

23 Oktober 2023   14:44 Diperbarui: 23 Oktober 2023   14:53 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tiga pekan ini Bapak dan Ibu terlihat sibuk, entah apa yang dilakukan di halaman belakang rumah. Sepulang mengajar di siang hari, setelah makan dan sholat langsung sibuk di halaman belakang rumah dibantu Ibu. Bahkan, Bapak tidak beristirahat dulu. Aku di teras depan rumah bersama Ara yang sedang bermain boneka dengan Rani, tetangga sebelah kami. 

"Sudah dua minggu, Bu.Pupuk organik yang kami buat akan kami gunakan besok di perkebunan" ujar Bapak membuka pembicaraan setelah makan malam. "Apa kamu yakin bisa berhasil, Syul? Apa tidak sebaiknya kita mengikuti orang lain pakai subsidi pupuk dari kabupaten?"tanya Ibu cemas."In syaa Allah bu, saya sudah dapat ilmunya dari Pak Sugeng dan yang kami lakukan sudah sesuai dengan apa yang diajarkan"terang Bapak kepada Nenek."Dengan pupuk organik ini, kita tidak hanya mendapat keuntungan, tapi ini lebih ramah lingkungan, sayuran dengan pupuk organik sedang naik daun dan banyak peminatnya. "Ibu jangan khawatir, Ratih juga sudah belajar sama teman-temannya selama kuliah pertanian dulu. Kami juga sudah menemukan distributor yang cocok dan berpengalaman." Terang Bapak dengan percaya diri. "Besok Ibu di rumah saja sama anak-anak ya, biar saya sama Mas Syamsul yang ke kebun" terang Ibu yang diiyakan oleh Nenek.

Cuaca cerah pagi ini, Bapak dan Ibu bersiap ke kebun untuk pemupukan tanaman organik dengan memakai pupuk bokashi yang telah di fermentasi selama empat belas hari. Selama empat belas hari itu, Bapak dan Ibu mengumpulkan sisa-sisa sayuran dan buah-buahan untuk diolah menjadi pupuk yang akan digunakan hari ini. Sepulang dari kebun, kami berlima dan berkumpul di teras rumah. "Gimana tadi di kebun?" tanya Nenek dengan penasaran. "Alhamdulillah sudah bu, kita tinggal tunggu waktunya saja"jawab Ibu mengusap peluh yang menetes di dahinya. Ibu bercerita kepada Nenek, saat mau pulang bertemu dengan Pak Mardi dan mengobrol sebentar dengannya. Kata Ibu, Pak Mardi bertanya-tanya mengapa kami tidak memakai pupuk yang disubsidi dari Kabupaten.Lalu kami bercerita tentang pupuk organik yang kami buat. "Pak Mardi tertawa, Bu.Katanya itu semua tidak akan berhasil.Jadi lebih baik kami pakai pupuk subsidi saja. Dia bilang para tetangga menggunjingkan kita di belakang, katanya mentang-mentang kami dari kota, sok tau urusan perkebunan "terang Ibu panjang lebar."Tidak perlu dihiraukan.Dia pengepul hasil panen kentang petani sini, semua tau sifatnya seperti apa" ujar Nenek menanggapi hal itu.

Sejak di rumah sebelumnya hingga rumah Nenek sekarang, Ibu tak pernah absen setiap harinya menyalakan murotal untuk kami dengarkan. Berulang ulang setiap hari, tiada bosan aku mendengarkannya. Ibu tahu kalau aku sangat menyukainya. Lantunan kalam Allah selalu membuatku tenang. Sering aku mendengarkan sambil berusaha untuk mengikuti walau tak ada satupun yang mendengar. Setiap manusia mempunyai jalan hidup nya masing-masing. Dan jalan hidupku adalah dengan hanya bisa berbaring di usiaku yang bulan kemarin genap tujuh tahun. Aku tidak tau persis bagaimana sejarah hidupku, tapi aku pernah mendengar dokter menyebutkan nama kelainanku ini sejak lahir, tapi aku lupa namanya susah, yang ku tahu perbandingan besar lingkar kepala dengan tubuhku tidak seperti orang normal umumnya. Kepalaku membesar dan semakin besar sampai akhirnya aku di bawa ke rumah sakit untuk disedot cairan yang ada di kepalaku.Jangan tanyakan rasanya, benar-benar membuatku tak henti-hentinya menangis. Menangis dan tersenyum, sebatas ini aku dapat berkomunikasi dengan orang di sekitarku. Aku tidak pernah mempertanyakan keadaanku, terbesit dalam hati pun tidak, bukankah sejatinya respon hidup itu tersenyum dan menangis ? Ah, aku baru ingat hidrosefalus namanya.

Akhirnya saat yang dinanti pun tiba, akhir pekan kami berlima pergi berladang untuk memanen kentang organik. Aku dapat merasakan degup kencang jantung Bapak saat beliau menggendongku dengan jarik yang telah memudar warnanya."Halid disini ya, anak pintar. Main sama Ara.Bapak, Ibu dan Nenek mau turun ke kebun" ucap Bapak sambil menidurkanku di gubuk pinggir kebun, sambil ditemani Ara.

Aku mendengar sayup suara Bapak, Ibu dan Nenek yang sedang memanen. Lafadz Basmallah dan Hamdallah terlantun di cuaca yang hangat ini. Aku pun bersyukur dalam hati, artinya panen berjalan seperti yang diharapkan. Tiba-tiba Ara berkata "Eh, Mas Halid bicara apa?Mas Halid ngaji?ucap Ara tertegun, sambil mendekatkan telinganya ke mulutku.Aku pun terkejut, aku merasa hanya mengatakan di dalam hati, tapi kenapa Ara dapat mendengarnya.Aku dan Ara melupakan kejadian yang baru saja terjadi karena Bapak, Ibu dan Nenek sudah mendekati kami untuk beristirahat makan dan sholat Zuhur. Wajah mereka sumringah, tak hentinya Ibu mengucapkan rasa syukurnya.Panen kami melimpah, bahkan melebihi perkiraan sebelumnya. Setelah hasil panen diangkut oleh mobil box sewaan Bapak, kami membersihkan hasil panen untuk dikirim ke distributor yang merupakan kenalan Bapak. Ia yang akan mengirimkannya ke supermarket khusus sayuran organik ke ibukota provinsi.

Hiruk pikuk keadaan di rumah dan kebun pasca panen menjadi keseharian bagi kami. Entahlah sakit kepalaku semakin intens kurasakan, badanku terasa sakit sekali. Maafkan aku semua, tidak sanggup membantu, hanya merepotkan kalian. Untuk kesekian kalinya aku tak tahan lagi, aku luapkan dengan tangisan.

Keberhasilan panen kami dengan keuntungan yang melimpah sudah tersebar seantero desa. Sebenarnya hasil panen kami sama seperti petani yang lain, namun karena alasan organik, hasil panen kami mampu mendapat harga dua sampai tiga kali lipat dari harga kentang biasa, selain itu ongkos produksi kami lebih rendah, karena pupuk yang kami gunakan merupakan olahan dari sampah rumah tangga terutama sayuran dan buah-buahan. Tak sedikit yang mengunjungi rumah kami untuk mengetahui cara kami mendapatkan keuntungan berlipat. Bahkan warga menyebut pupuk yang kami gunakan sebagai "pupuk ajaib". Pak Mardi dan tetangga yang sebelumnya mencemooh kami, hanya tertunduk diam ketika tak sengaja berpapasan dengan kami.

"Hari Minggu ini Bapak ada jadwal isi pelatihan di Kota. Pekan depan Bapak juga ada jadwal di luar provinsi. Selama liburan semester nanti jadwal Bapak juga cukup padat"ucap Ibu sambil menulis di agenda kecil. "Wah, Bapak jadi sibuk banget kayak artis" ucap adikku dengan senyum terkembang. "Bapak kan masih mengajar tiap hari, jadi bisanya pelatihan cuma hari Minggu, kecuali kalau di desa yang dekat, baru Bapak bisa sepulang sekolah, yang Bapak lakukan ini berbagi ilmu dengan yang lain. Semoga apa yang kita dapatkan saat ini bisa mereka dapati juga.Jadi Ibu, Nenek, Ara dan Halid harus maklum dulu ya , kalau Bapak jarang di rumah" tutur Bapak panjang lebar. Malam itu kami flash back mengingat perjuangan jatuh bangunya kami, sambil tak henti bersyukur kepada Yang Maha Baik.

" Ya Allah,  entah apa yang harus hamba ucapkan untuk semua do'a yang perlahan mulai Kau jawab. Hutang kami yang lunas, bahkan kami bisa membeli lahan perkebunan, Mas Syamsul yang sering diundang mengadakan pelatihan dan akan menerbitkan sebuah buku panduan, bahkan kami bisa merenovasi rumah serta membeli mobil box untuk keperluan perkebunan.Kami juga dapat membuka lapangan pekerjan bagi tetangga kami. Tak terbayang sama sekali jalan hidup yang Kau tuliskan untuk kami akan seperti ini. Alhamdulillah ya Rabb, berilah kami keistiqomahan untuk selalu di jalan-Mu, jadikanlah Halid dan Ara anak-anak yang soleh dan solehah, kelak menjadi penghapal Qur'an yang selalu menegakkan kalimat-Mu"ku dengar Ibu terisak di sepertiga malam dengan penuh kerendahan hati.Dalam hati, aku mengaminkan do'a Ibu, kabulkan ya Allah.

Sekujur tubuku bertambah sakit, sakit sekali ya Allah, aku hanya bisa menangis. "Sabar ya Nak, kita ke dokter" ucap Ibu menggendongku dan menaiki mobil baru kami menuju rumah sakit bersama Bapak."Badan Halid tambah panas, Pak" ucap Ibu khawatir sambil memegang keningku."Pak Minto, ayo lebih cepat nyupirnya" jawab Bapak tak kalah khawatir. Bapak baru belajar menyetir mobil, belum berani mengendarai mobil ke jalan raya pun Ibu masih ragu kapan Bapak bisa karena alasan sibuk. Sepulang dari dokter dan meminum obat, tubuhku merasa mendingan, paling tidak saat ini aku bisa tidur untuk mengistirahatkan seluruh sendi tubuhku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun