Ilustrasi: kfk.kompas.com
Akhir-akhir ini sulit sekali rasanya untuk bertemu Mo. Entah kenapa nomor ponselnya sudah tidak aktif. Hal terakhir yang kuingat tentangnya adalah malam itu ia pergi untuk membeli roti di minimarket. Agak aneh, karena ia tiba-tiba mengeluh lapar. Mo adalah laki-laki yang paling teratur yang pernah kukenal. Semua barangnya tersusun rapi, begitu juga pola makannya. Malam itu kami juga makan malam yang cukup berat, sehingga terasa janggal untuk aku mempercayainya.
Setelah minum beberapa pil untuk membantuku tidur malam itu, rasanya hanya itu hal nyata yang kuingat tentang Mo. Maksudku, agak aneh, terkadang aku merasa seperti pernah berbincang dengan Mo di suatu sore, atau melihatnya membungkuk sedang menyusun dasi-dasinya di laci, dan juga merasakan tangannya menyentuh wajahku, tapi aku tak pernah yakin. Karena Mo tak pernah ada di rumah sejak malam itu.
Aku menghubungi dan mengunjungi ibuku berkali-kali menanyakan apa ia tahu di mana Mo. Namun ibuku selalu mengalihkan pembicaraan. Ia meyakinkanku kalau nanti Mo akan pulang. Terkadang jawabannya membuatku frustasi, maksudku, Mo hilang! Ia penting, ia itu suamiku, dan ia hilang untuk beberapa lama, entah aku tak tahu pasti, tapi rasanya sudah lama.
Nomor-nomor ibu dan ayah Mo juga tak lagi kutemukan. Di ponsel maupun di buku telepon, aku ingat aku tak pernah menghapusnya, atau merobek halaman buku itu. Aku mengunjungi rumah mereka, namun yang kutemui rumah itu kosong. Dari jendelanya walau dengan tirai putih menutupi, tak ada barang-barang yang tersisa dari yang dulunya ruang makan itu. Aku pulang dengan menangis sepanjang jalan. Rasanya sungguh tak masuk akal. Mo kemana?
Kantor polisi di daerah ini pun juga sudah kukunjungi. Aku membuat laporan, dan mereka menyuruhku pulang setelahnya. Namun mereka tak kunjung memberiku kabar. Aku menelepon mereka berkali-kali di suatu hari, hingga mereka tak mau mengangkat teleponku lagi. Aku rasa ini pun juga sia-sia.
Mo juga tak masuk kerja lagi. Aku menanyai resepsionisnya setengah mati. Mereka bilang Mo tidak pernah bekerja di sana. Omong kosong macam apa itu! Apa aku ini gila, tidak tahu suamiku sendiri bekerja di kantor Akuntan Publik itu lebih dari lima tahun.
Aku memasak lasagna malam ini. Baunya memenuhi ruangan saat diangkat dari oven. Sedikit mengecewakan, karena pada bagian atasnya terlihat gosong. Aku pasti sudah salah mengatur suhunya, sepertinya terlalu panas. Bukan tanpa alasan aku memasaknya, ini salah satu makanan kesukaan Mo, aku ingat ia pasti akan pulang cepat saat aku memberitahunya akan membuat lasagna. Ia mengingatkanku pada tokoh kartun Garfield, kucing gendut yang suka makan lasagna, aku sering menggodanya seperti itu.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam lebih sepuluh. Aku tahu ini sudah terlambat untuk makan malam. Mo selalu teratur, ia tak pernah makan malam lebih dari jam tujuh malam. Namun apa salahnya mencoba, siapa tahu ia akan pulang kan? Aku menunggu sambil tiduran di sofa depan, membolak-balik halaman majalah lama. Tapi Mo tidak juga pulang...
***
Aku terbangun dan mendapati diriku berselimut biru milik Mo. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang membuncah dalam dadaku. Perasaan yang sama seperti seorang anak yang mendapatkan permen atas kerja kerasnya, namun ini sekeranjang penuh! Terdengar pula denting piring di ruang makan. Tak salah lagi! Aku cepat-cepat berlari menghampiri meja makan. Tidak salah lagi, Mo pasti sudah pulang!
“Mo! Kamu pulang?”
Aku melihat seseorang berbalik ke arahku, memutar kursi ke belakang. Namun ia sama sekali bukan Mo.
“Maaf sayang, ini ibu. Ibu mampir untuk memastikan apa kau baik-baik saja?”
“Ya, bu. Aku baik.” Baik. Tak pernah lebih dari itu. Sekarang rasanya sekeranjang permen itu sudah membuat busuk gigi-gigiku, bahkan sebelum aku sempat memakannya satu buah pun.
Aku duduk di seberang ibu. Dari jendela, terlihat pagi ini berkabut, aku tak dapat melihat apa-apa di luar dengan jelas. Ibu memotong lasagna buatanku semalam dan mengunyah potongan dari garpunya perlahan. “Lasagnamu terasa lembek Poe. Mungkin telurnya kurang, atau apa kau menuang terlalu banyak susu ke dalamnya?”
Aku malas menanggapi hal remeh-temeh saat ini. Aku hanya menaikan bahu tanda tak tahu dan tak mau tahu apa yang terjadi dengan lasagnanya.
“Ibu kapan datang?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Tadi pagi. Ibu tadinya mengetuk pintu rumahmu namun tak ada jawaban, dan mencoba membuka pintunya. Ternyata kau lupa menguncinya Poe. Ibu melihatmu tertidur di sofa, jadi ibu mengambil selimut yang ada di lemarimu.”
“Hm entah bu aku menjadi ceroboh akhir-akhir ini. Aku rasa aku menjadi kacau karena, hm ya ibu tahu, sejak Mo menghilang...”
Aku melihat ibu menatapku dalam. Tatapan orang yang penuh kesedihan yang menyakitkan. Seperti ia bisa merasakan apa yang kurasakan.
“Pulanglah Poe. Pulang dan tinggal dengan ibu. Ibu tak terlalu suka melihatmu sendirian di sini.”
Bukan ini yang aku ingin dengar. Bukan hal itu yang kubutuhkan sekarang. Aku menginginkan Mo pulang.
“Aku tidak bisa tinggal dengan ibu. Ibu tahu kan, kalau-kalau Mo pulang dan aku tidak ada di sini, semua akan berantakan. Ia akan mengira aku pergi meninggalkannya, padahal aku selalu menunggunya bu. Ibu tahu kan...”
Aku merasa seperti menjelaskan dan bicara hal ini berkali-kali, tapi aku tak pernah ingat kapankah itu terjadi.
“Ya Poe, ibu mengerti sayang. Baiklah, apa jika ibu pulang sekarang, kamu akan baik-baik saja?”
“Tentu bu. Aku pasti baik-baik saja, ibu tak perlu khawatir.”
Ibu mengambil mantel berwarna kremnya kemudian memelukku.
“Aku sayang padamu Poe. Telepon ibu jika kamu berubah pikiran sayang.”
“Aku juga sayang padamu bu. Baiklah bu, tapi aku yakin aku baik-baik saja saat ini.”
Aku melihat ibu pergi. Ibu sangat mengkhawatirkanku sejak Mo menghilang. Aku merasa tidak enak hati juga karena merepotkannya untuk terus mengunjungiku. Semenjak ayah meninggal, dan juga Dane, adik perempuanku yang pindah menyewa apartemen di pusat perkotaan untuk mengejar karirnya, sementara ibu sendiri di rumah lama kami, aku yakin ibu sering merasa kesepian.
***
Aku memutuskan untuk menenangkan diri. Di ruang bawah tanah, aku dan berpuluh lukisanku saling bercengkrama. Aku melihat satu per satu lukisanku, mungkin saja mood melukisku bisa muncul hari ini.
Hampir semua lukisanku didominasi warna kuning cerah, kuning merfleksikan kebahagiaan bagiku. Bahkan Van Gogh saja sampai menelan cat berwarna kuning agar ia bisa merasakan kebahagiaan. Itu bukan salah satu contoh yang menyenangkan, namun ia tetap menjadi pelukis favoritku. Semua goresannya, berbicara lebih indah daripada aslinya menurutku.
Aku ingat lukisan bunga matahari yang tercecer di samping kebunnya, aku memberinya judul Musim Panen. Saat itu aku masih kuliah dan baru tertarik dengan segala hal yang berbau lukisan.
Kebanyakan lukisan bertema beberapa bunga yang dikombinasikan dengan latar yang beragam, namun pemeran utamanya tetaplah bunga. Mungkin untuk yang lain terlihat membosankan, namun justru hal yang sederhana semacam itu yang mampu memikat hatiku.
Di sudut ruangan ada tumpukan kanvas yang tertutup kain. Aku tak ingat kapan aku menaruhnya di sana. Aku selalu menggantung lukisanku, atau menaruhnya berjejer bersandar dinding, semua tergantung ukuran dan kemauanku. Mungkinkah aku lupa kalau lukisan-lukisan itu adalah yang kuanggap gagal? Tapi bahkan lukisan dandelionku yang berantakan tetap kugantung di dinding. Penasaran aku membuka kain penutup tumpukan itu.
Aku tak percaya dengan apa yang ada pada lukisan itu. Ada lima lukisan yang tiap goresannya terasa penuh amarah yang bercampur kesedihan. Dominasi warna merah dan biru pekat memenuhi semua lukisan itu. Anehnya semua ditandatangani olehku. Tapi kenapa aku tak ingat pernah membuatnya? Lantas mengapa aku melukis semua hal itu?
Aku merasa begitu pusing. Aku bergegas keluar dari ruang bawah tanah dan menelepon ibu untuk memintanya datang dan menenangkanku.
Sungguh aku tak ingat. Kini semua kenangan tentang Mo muncul silih-berganti, bercampur lukisan-lukisan aneh itu. Aku menyesap teh perlahan dan duduk di sofa. Aku mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Dane. Tapi aneh, kenapa nomornya tidak ada?
***
“Aku tidak mengerti, semua lukisan itu seperti aku yang membuat, tapi aku tak pernah ingat kapan. Dan juga barusan kenapa tiba-tiba di ponselku tidak ada nomor Dane? Aku rasa aku tak pernah menghapus kontaknya.”
Ibu menghela napas panjang, dan melihatku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, mungkin antara lelah, sedih, dan juga kasihan bercampur jadi satu.
“Sebenarnya kita sudah pernah bicara ini berkali-kali Poe.”
“Benarkah? Lantas kenapa aku tak pernah ingat?”
Ibu bergeser duduk di sampingku dan memegang tanganku. “Mo tidak menghilang seperti yang kamu kira selama ini Poe, begitu juga Dane.”
“Mo dan Dane? Apa maksud ibu Dane juga pergi?”
“Sudah lebih dari dua tahun sejak malam itu. Mo pergi untuk bertemu dengan Dane.”
“Mo bertemu Dane? Untuk apa bu?”
Ibu diam. Jarinya mengetuk-ngetuk ke meja, seakan sedang menahan sesuatu. Hal itu membuatku tidak sabar.
“Untuk apa bu memangnya?”
“Ibu bahkan tidak ingin bicara tentang hal ini Poe, percayalah.”
“Kenapa bu? Beritahu aku, aku ingin mendengarnya.” desakku.
“Karena diam-diam mereka punya hubungan.”
Dalam satu tarikan napas, kalimat itu meluncur. Tanpa jeda, namun aku bisa menangkap semua kata-kata itu dengan jelas.
“Tidak, omong kosong apa itu bu! Bagaimana Mo dan Dane, bisa melakukan semua itu!”
“Bagaimana kau bisa tahu Poe, laki-laki itu memang dingin sedari awal kau bersamanya. Bagaimana kau bisa melihat kejanggalan dalam dirinya.”
Aku masih ingin terus berdebat, membela Mo. Maksudku tidak mungkin, mana mungkin? Mo tidak mungkin tega melakukannya.
“Dan Dane? Bukankah ia punya banyak laki-laki yang menginginkannya? Semua laki-laki itu mengejarnya, lantas kenapa ia harus mengambil Mo dariku bu? Dane seseorang yang ingin bermain-main saja, dia tidak tertarik dengan laki-laki seperti Mo. Itu tidak mungkin bu. Tidak masuk akal.”
Ibu tidak menjawab. Ia berdiri dari kursinya dan pindah ke sofa depan, tidak sekalipun melihat ke arahku.
Aku rasa ibu pasti salah. Hanya kecurigaan yang berlebihan. Maksudku apa yang harus kucurigai, aku yang selama ini dengan Mo. Aku melimpahi Mo dengan kasih sayang dan juga pujian, bagaimana ia bisa berpaling? Hanya aku yang bisa menerima semua sikap dinginnya. Walaupun saat memeluknya, tangannya tak pernah membelai rambutku, tapi aku tahu ia hanya merasa kikuk. Pernikahan yang mungkin terlihat tidak cocok dengan kami berdua di dalamnya, tapi aku merasa bahagia, dan itu sudah cukup.
Aku mendekati ibu. “Bagaimana aku bisa percaya dengan kata-katamu bu? Ibu hanya main-main bukan? Katakan bu, Mo ada di mana sekarang?” aku menatap penuh harap.
“Coba kau pergi dan periksa bagian bawah lemari Mo di kamarmu.”
Aku bingung, ada apa memangnya? Aku segera bergegas memeriksanya.
Saat membuka lemari itu tampak kemeja Mo yang tersusun rapi sesuai gradasi warna. Dari biru pekat ke warna putih polos. Aku menunduk untuk melihat ada apa di bagian bawah lemari ini.Terlihat setumpuk koran, dengan tanggal yang sama. Aneh, untuk apa koran-koran ini disimpan di dalam sini. Aku mengambil satu dan membacanya perhalaman.
Dibuka dengan headline politik, isu lingkungan, masalah ekonomi. Tidak ada yang aneh, hanya berita umum tentang kejadian sehari-hari. Sampai ke tengah halaman, sebuah berita kecelakaan, dengan dua foto yang aku kenal.
Aku tercekat. Foto itu tak lain Mo dan Dane.
Keduanya menjadi korban kecelakaan ketika berada dalam satu mobil. Mereka ditabarak mobil lain dari arah berlawanan pada pukul sebelas malam. Belum diketahui apa penyebab pengemudi itu kehilangan kendali, namun sejumlah test sudah dilakukan untuk membuktikan apakah pengemudi itu dipengaruhi alkohol atau narkoba. Diperkirakan keduanya adalah suami dan istri, karena dilaporkan sesaat setelah kecelakaan, Morris masih sempat berteriak meminta pertolongan untuk menyelamatkan perempuan di sampingnya, yaitu Dane dan anak dalam kandungannya.
Aku kelu. Berita di koran itu. Yang aku harap hanya kebohongan. Bagaimana mungkin. Tapi rasanya aku melihat Mo pulang, ia masih sempat menyiram tanaman di pot-pot kecilnya. Aku mulai merasa dingin menyergap. Aku kehilangan tenaga, seperti tak lagi memijak bumi, aku kembali menemui ibu.
Aku bicara pelan di sampingnya, “Bu, mungkin sebaiknya aku tak pernah menganggap apa yang ibu bilang itu sungguhan ya?”
“Kamu selalu melakukan itu Poe. Kamu menyangkal semua agar kamu bisa selamat dari kesedihan. Berpura-pura merasakan Mo ada di sampingmu, menawarinya minum teh, bahkan mengunjungi tempat-tempat di mana ia sering pergi. Dan selebihnya, tak ada ingatan tentang Dane yang ingin kamu hidupkan.”
Aku bisa merasakan perasaan tertusuk menjalar dari hati lalu merambat sampai ujung jariku, lalu aku ingat ucapanku di depan pintu rumah sakit itu. Tuhan, dua orang dilanda karma, bila Kau tak membawa kembali suamiku pulang, pun jangan membawa kembali keduanya.
Sayup-sayup kudengar, ibu mulai menangis. Mengucapkan kasihan karena nasibku yang malang. Aku sendiri tak ingin menangis. Aku berjalan ke meja makan dan menyesap kembali teh yang sudah dingin.
Dari jendela, terlihat hujan mulai turun perlahan. Diantara orang yang lalu-lalang di luar, aku yakin masih ada Mo yang akan pulang.
-
A. Anindita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H