“Mo! Kamu pulang?”
Aku melihat seseorang berbalik ke arahku, memutar kursi ke belakang. Namun ia sama sekali bukan Mo.
“Maaf sayang, ini ibu. Ibu mampir untuk memastikan apa kau baik-baik saja?”
“Ya, bu. Aku baik.” Baik. Tak pernah lebih dari itu. Sekarang rasanya sekeranjang permen itu sudah membuat busuk gigi-gigiku, bahkan sebelum aku sempat memakannya satu buah pun.
Aku duduk di seberang ibu. Dari jendela, terlihat pagi ini berkabut, aku tak dapat melihat apa-apa di luar dengan jelas. Ibu memotong lasagna buatanku semalam dan mengunyah potongan dari garpunya perlahan. “Lasagnamu terasa lembek Poe. Mungkin telurnya kurang, atau apa kau menuang terlalu banyak susu ke dalamnya?”
Aku malas menanggapi hal remeh-temeh saat ini. Aku hanya menaikan bahu tanda tak tahu dan tak mau tahu apa yang terjadi dengan lasagnanya.
“Ibu kapan datang?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Tadi pagi. Ibu tadinya mengetuk pintu rumahmu namun tak ada jawaban, dan mencoba membuka pintunya. Ternyata kau lupa menguncinya Poe. Ibu melihatmu tertidur di sofa, jadi ibu mengambil selimut yang ada di lemarimu.”
“Hm entah bu aku menjadi ceroboh akhir-akhir ini. Aku rasa aku menjadi kacau karena, hm ya ibu tahu, sejak Mo menghilang...”
Aku melihat ibu menatapku dalam. Tatapan orang yang penuh kesedihan yang menyakitkan. Seperti ia bisa merasakan apa yang kurasakan.
“Pulanglah Poe. Pulang dan tinggal dengan ibu. Ibu tak terlalu suka melihatmu sendirian di sini.”