Bukan ini yang aku ingin dengar. Bukan hal itu yang kubutuhkan sekarang. Aku menginginkan Mo pulang.
“Aku tidak bisa tinggal dengan ibu. Ibu tahu kan, kalau-kalau Mo pulang dan aku tidak ada di sini, semua akan berantakan. Ia akan mengira aku pergi meninggalkannya, padahal aku selalu menunggunya bu. Ibu tahu kan...”
Aku merasa seperti menjelaskan dan bicara hal ini berkali-kali, tapi aku tak pernah ingat kapankah itu terjadi.
“Ya Poe, ibu mengerti sayang. Baiklah, apa jika ibu pulang sekarang, kamu akan baik-baik saja?”
“Tentu bu. Aku pasti baik-baik saja, ibu tak perlu khawatir.”
Ibu mengambil mantel berwarna kremnya kemudian memelukku.
“Aku sayang padamu Poe. Telepon ibu jika kamu berubah pikiran sayang.”
“Aku juga sayang padamu bu. Baiklah bu, tapi aku yakin aku baik-baik saja saat ini.”
Aku melihat ibu pergi. Ibu sangat mengkhawatirkanku sejak Mo menghilang. Aku merasa tidak enak hati juga karena merepotkannya untuk terus mengunjungiku. Semenjak ayah meninggal, dan juga Dane, adik perempuanku yang pindah menyewa apartemen di pusat perkotaan untuk mengejar karirnya, sementara ibu sendiri di rumah lama kami, aku yakin ibu sering merasa kesepian.
***
Aku memutuskan untuk menenangkan diri. Di ruang bawah tanah, aku dan berpuluh lukisanku saling bercengkrama. Aku melihat satu per satu lukisanku, mungkin saja mood melukisku bisa muncul hari ini.