Malam mulai ramai. Banyak penjual jajanan berkeliaran. Aku menikmati waktu dengan duduk di sebuah warung pecel yang ada di pinggir jalan. Memesan segelas teh hangat dan seporsi nasi beserta pecel lele lengkap dengan sayur mayur dam sambel. Menyenangkan bukan? Tapi sayangnya selalu sendiri. Sudah berapa usiaku, masih saja betah sendiri dan menatap iri kemesraan keluarga Mas Ardi dan istri.
"Nasi sama pecel ayamnya Bang, dua porsi ya."
Suara itu, wanita itu. Dia wanita yang sering kulihat bersama Mas Ardi. Aku tidak mungkin salah. Tatapanku tak berlalu darinya. Aku yakin dia tidak sendiri.
"Mas Ardi," lirihku.
Benar apa dugaanku. Dia datang bersama mas Ardi. Sebenarnya siapa wanita itu. Kenapa mereka sering sekali bersama. Bahkan terlihat begitu mesra! Begitukan kelakuan kakakku sekarang?
Oh Tuhan! Rasanya kepalaku ini akan segera pecah melihat kelakuan mereka yang semakin lama semakin begitu terlihat dekat dan mesra. Selera makanku hilang sudah.
"Bang, totalanku berapa?"
"Dua puluh lima ribu aja, Mbak."
Aku segera bergegas meninggalkan tempat itu. Rasanya muak sekali melihat Mas Ardi bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Baiklah, meski mereka tidak mengetahui keberadaanku.
Aku memutuskan kembali menemui Mbak Riana. Dia harus tahu. Tidak peduli jika itu membuat hubungan mereka renggang atau apa. Aku malu. Aku malu melihat kakakku berbuat seperti itu. Dan aku tahu bagaimana perasaan Mbak Riana jika tahu. Lebih cepat terungkap lebih baik.
"Mbak Ri, sudah kubilang aku tidak salah lihat. Aku melihatnya dengan jelas kali ini.Â
Itu Mas Ardi!" ucapku sedikit emosi.
"Tidak Rasti, kamu pasti salah lihat," balasnya tak membalas tatapanku sama sekali.
"Kalau bukan, kenapa Mbak Ri menangis?" balasku.
"Ini urusanku dengan Mas Ardi. Kamu tidak perlu ikut campur Rasti!" ucapnya sedikit membentak.