Hujan turun. Persis di saat  bulir bening menetes di pipiku. Sebuah novel tergenggam erat di tangan. _Hujan, Tere Liye_. Semua terasa serba kebetulan.
Hati batuku runtuh. Berbagai pilihan berkelebat di kepalaku. Pilihan yang begitu membingungkan.
Kupandangi deras hujan dari balik jendela. Berharap mampu memberikan ketenangan. Namun sedikit pun tak berpengaruh. Pikiranku tetap kalut. Aku terdiam menatapi hujan dalam senja.
"Ini foto abangku, Nad."
Dengan saksama kupandangi sebuah wajah dalam potret yang kini kupegang. Lelaki bertubuh tegap, tinggi, dengan dagu terbelah. Gagah. Dia bilang lelaki dalam potret itu menyukaiku.
"Masih ingat?"
Aku diam. Tak segera membalas pertanyaan laki-laki di hadapanku. Aku masih saja memperhatikan potret itu. Aku mengenal sosok dalam foto itu. Tapi sudah lama aku tak melihatnya lagi.
"Kamu pasti sudah lupa bagaimana wajahnya dulu."
Aku menatap wajah senduku. Berusaha mencari bagian mana yang menarik yang ada padaku. Aku tak pandai, sama sekali tidak. Bahkan membaca Basmallah pun masih salah-salah.
'Kalau aku suka dia dari dulu, mungkin aku sembunyikan jauh-jauh dia dari abangku.'
"Hilmi bilang begitu padaku, Nad?" ucap Ulfi. Dia temanku yang juga sepertinya teman curhat Hilmi.
Aku diam. Kenapa harus seperti ini? Langit berulang kali runtuh, menggugurkan bulir air mewakili perasaanku.
'Sebenarnya sudah lama aku menyukai Hilmi. Aku takut tidak bisa menjaga hati makanya aku memutuskan untuk menghindar darinya.'
Suara Alya, sahabatku juga terus terngiang di benakku. Aku tak menyukai Hilmi. Lebih tepatnya aku menyukainya tapi tidak lebih. Aku menyukai lelaki lain. Jadi, tidak ada masalah sebenarnya. Hanya saja, kenyataan lain membuat semuanya berubah menjadi suatu masalah.
"Hilmi selalu minder, Nad. Dia bilang bisa saja dia langsung melamarmu. Tapi masalahnya dua, Bang Faris dan uang. Hilmi belum mapan," ucap Ulfi.
"Aku tak memikirkan masalah mapan tidak mapan, Fi. Aku memikirkan masalah lain," balasku.
Suara lain pun terngiang di kepalaku.
"Mungkin aku akan tetap memilih berkarir di sini, Nad. Itu kalau kamu bersedia."
Mataku menerawang. Suara di seberang meninggalkan makna yang remang.
"Apa pun keputusanmu, lakukanlah. Aku tidak berhak atas kehidupanmu.
"
Aku menelan ludah. Membiarkan harapku menggantung. Faris, lelaki yang hanya kukenal nama dan rupanya beberapa tahun silam saat ia masih di Indonesia.
Aku menanti senja. Di bibir pantai Losari. Menatap ombak. Menatap mentari yang sinarnya perlahan mulai bersembunyi. Menampilkan warna merah. Mencipta senja nan indah.
"Nad," seru sebuah suara saat aku usai sholat dan beranjak pulang meninggalkan surau.
"Apa?" balasku was-was. Khawatir orang-orang berpikir buruk tentangku dengan laki-laki di hadapanku. Terlebih Alya, aku khawatir dia melihat kebersamaanku dengan Hilmi.
"Aku ingin bicara sebentar denganmu," ucap Hilmi.
"Bicara apa? Bicara saja, silakan!" balasku masih was-was memperhatikan orang-orang di sekitar surau.
"Aku menyukaimu, Nad. Maaf. Mungkin seharusnya aku tidak seperti ini tapi aku benar menyukaimu. Aku baru menyadarinya."
Aku sekilas menatapnya tidak percaya, lalu aku segera menundukkan pandanganku.
"Apa kamu mau menikah denganku?" lanjutnya lagi.
Hening. Aku tak segera menjawab. Suara gemuruh muncul dari atas. Sepertinya akan turun hujan. Sebab rembulan tak menampakkan wajah rupawan. Demikian pun bintang. Mereka entah ke mana menghilang.
"Bagaimana dengan Mas Faris?" tanyaku lirih.
"Ah, benar. Kamu menyukai abangku. Kamu menyukai Bang Faris. Mana mungkin  kamu akan menerimaku," balas Hilmi.
"Aku bukannya tidak menyukaimu, Mi. Siapa pula yang tidak suka dengan lelaki sholeh sepertimu," balasku.
"Lantas, keputusan apa yang akan kamu ambil?" tanya Hilmi.
Aku diam sejenak. Memikirkan jawaban yang setidaknya akan kuanggap paling tepat.
"Aku tidak ingin berharap lebih pada Mas Faris atau pun kamu. Siapa yang lebih dulu datang melamar ke kedua orang tuaku dia yang insya Allah akan aku terima," balasku sambil meyakinkan diri bahwa ini adalah jawaban yang paling adil.
Aku limbung. Mendadak pikiranku menjadi kacau. Apa yang kuharap sebenarnya. Aku tak mengerti apa yang kuinginkan. Di sisi lain aku merasa aku lebih menyukai Mas Faris, tapi di sisi lain aku merasa lelaki di hadapanku ini juga lelaki baik yang tak pantas kutolak.
Gerimis turun. Aku mempercepat langkahku. Dengan hati yang masih menyisakan gundah. Aku kalang kabut.
"Kamu masih menyukainya?" tanyaku pada wanita cantik di hadapanku, Alya.
"Hilmi? Seperti yang kamu tahu, aku menyukainya. Juga hingga saat ini," balas Alya.
Aku khawatir Alya menganggapku pengkhianat. Aku harus bisa mengambil keputusan yang tidak merugikan atau menyakiti hati siapa pun. Harus.
"Aku tidak ingin mengumbar perasaanku, Nad. Kalau Hilmi jodohku kelak dia juga akan datang padaku. Yang bisa kulakukan hanya menunggu. Bukan menunggu Hilmi. Tapi menunggu siapa pun dia, laki-laki sholeh yang lebih dulu berani melamarku secara resmi."
Aku menyeruput teh yang sudah Alya sajikan untukku. Mencoba menghilangkan segala kekhawatiran. Menghilangkan kegundahan. Alya tidak tahu. Dia tidak mengerti tentang perasaan suka Hilmi padaku. Dan dia tidak boleh tahu. Biarkan saja Hilmi pergi. Meninggalkan hati yang masih belum mampu ia beri pasti.
"Kamu benar Al. Memang seharusnya begitu. Tidak perlu kita mengharap lebih pada siapa pun. Ada Allah, Dia tempat berharap paling baik. Bukan manusia," balasku.
Aku menanti senja di pelataran rumah Alya. Menatap lekat mentari yang tersembunyi di balik dedaunan. Berdua kami menanti hingga kumandang suara adzan menggugah lamunan kami.
Lima bulan yang lalu Hilmi meninggalkan bumi pertiwi untuk melanjutkan study. Meninggalkan hati yang tak diberi pasti.
Aku duduk di bibir pantai menikmati sepoi angin. Menatap ombak. Menatap mentari yang perlahan menghilang. Menampakkan pesona senja nan merah.
'Mas Faris minggu depan pulang. Semoga dia  akan melamarmu, Nad. Maaf aku tak sanggup memberimu keputusan yang pasti.'
-Hilmi-
Kata-kata itu kudapat sore tadi. Sebelum mentari mulai melangkah pergi. Aku mengajak Alya ke pantai Losari. Menanti senja. Menanti mentari beranjak pergi. Menanti malam mengganti.
"Ya, yang bisa kita lakukan adalah menanti. Menanti yang pasti datang menghampiri. Seperti senja yang pasti datang mengganti sore menjadi malam hari. Seperti fajar yang pasti datang mengganti malam menjadi indahnya pagi," ucap Alya sembari menatap indah senja nan merah.
"Mas Faris, mangkinkah  dia senja yang kunanti selama ini?" tanyaku menatap teduh mata sahabatku.
 Senyum mengembang di dua pasang bibir gadis penanti senja tepat di saat bulir bening dari langit jatuh ke bumi. Suara adzan Magrib menggema. Kami berlari di antara rintik gerimis. Meninggalkan mentari yang memang sudah pergi. Pergi untuk kembali menyambut pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H