Aku diam. Kenapa harus seperti ini? Langit berulang kali runtuh, menggugurkan bulir air mewakili perasaanku.
'Sebenarnya sudah lama aku menyukai Hilmi. Aku takut tidak bisa menjaga hati makanya aku memutuskan untuk menghindar darinya.'
Suara Alya, sahabatku juga terus terngiang di benakku. Aku tak menyukai Hilmi. Lebih tepatnya aku menyukainya tapi tidak lebih. Aku menyukai lelaki lain. Jadi, tidak ada masalah sebenarnya. Hanya saja, kenyataan lain membuat semuanya berubah menjadi suatu masalah.
"Hilmi selalu minder, Nad. Dia bilang bisa saja dia langsung melamarmu. Tapi masalahnya dua, Bang Faris dan uang. Hilmi belum mapan," ucap Ulfi.
"Aku tak memikirkan masalah mapan tidak mapan, Fi. Aku memikirkan masalah lain," balasku.
Suara lain pun terngiang di kepalaku.
"Mungkin aku akan tetap memilih berkarir di sini, Nad. Itu kalau kamu bersedia."
Mataku menerawang. Suara di seberang meninggalkan makna yang remang.
"Apa pun keputusanmu, lakukanlah. Aku tidak berhak atas kehidupanmu.
"
Aku menelan ludah. Membiarkan harapku menggantung. Faris, lelaki yang hanya kukenal nama dan rupanya beberapa tahun silam saat ia masih di Indonesia.
Aku menanti senja. Di bibir pantai Losari. Menatap ombak. Menatap mentari yang sinarnya perlahan mulai bersembunyi. Menampilkan warna merah. Mencipta senja nan indah.
"Nad," seru sebuah suara saat aku usai sholat dan beranjak pulang meninggalkan surau.
"Apa?" balasku was-was. Khawatir orang-orang berpikir buruk tentangku dengan laki-laki di hadapanku. Terlebih Alya, aku khawatir dia melihat kebersamaanku dengan Hilmi.