Surat itu datang di waktu yang tak seharusnya. Aku menunggu, bukan tentang kedatangan surat, melainkan kedatangan seseorang yang telah lama aku rindukan. Kurasa, dia memang tak pernah sedikitpun merasakan rindu padaku, sehingga di hari bahagiaku, di hari pernikahanku pun dia enggan untuk datang.
Aku tak mengerti dengan jalan pikiran wanita itu. Sekian tahun meninggalkanku, tak pernah sekali pun pulang untuk menemui. Jika kubisa, ingin sekali aku mencarinya, menemuinya kemudian menamparnya, hingga puas segala hasrat yang sekian lama kuredam dalam dada. Sayangnya, aku tak mampu melakukan semua itu.Â
Aku tak tahu di mana dia, tidak pernah tahu dan tidak pernah berusaha mencari tahu, sebab dia melarangku. Dia selalu memintaku untuk fokus belajar, fokus dengan kehidupanku. Dia egois! Bahkan untuk berkabar pun hanya selalu lewat surat yang dikirim setiap sebulan sekali.Â
Tak pernah ia mau memberiku sebuah nomor ponsel atau apa lah yang  membuatku bisa untuk menghubunginya dengan mudah. Dia wanita aneh. Sungguh aneh. Tak pernahkah dia tahu bahwa rinduku kian menumpuk? Semakin lama membuat dadaku semakin terhimpit. Sesak!
Hari ini aku akan datang. Setelah mendapat sebuah kabar dari seseorang yang pernah menjadi bagian dalam kisah hidupnya. Seorang sahabat yang pun lama baru menemukan kabar tentangnya. Wanita keparat itu benar-benar berhasil mengubur dirinya hidup-hidup. Menghilangkan jejak pada semua orang yang dikenal, juga mengenalnya.
Aku merogoh tas, mengeluarkan sebuah kunci, memasukkannya ke lubang pintu sebuah rumah yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Rumah itu, rumah megah yang sekian tahun dihuni seorang wanita keparat yang kusebut kakak.
"Kau tidak masuk?" tanya Ardi, suamiku yang melihatku hanya diam saat pintu sudah terbuka.
Aku memang meminta Ardi untuk menemani. Sekaligus ingin kukenalkan padanya seorang kakak yang sekian lama tak kujumpa. Meski jelas saja akan nihil hasilnya.
Aku menggandeng lengannya, mengajaknya memasuki ruangan megah itu. Yang terlihat pertama adalah sebuah lukisan besar yang terpasang di dinding. Sebuah lukisan yang teramat kukenal. Itu aku, ketika waktu masih berusia 11 tahun. Menggandeng seorang wanita berusia 20 tahunan, tersenyum ke arah kamera. Ya, jarak usiaku dengannya memang terpaut jauh.
Kupikir wanita keparat itu tak akan mengingatku, ternyata dia bahkan memasang lukisannya bersamaku di ruang utama. Tapi mengapa? Mengapa sekian tahun ini ia enggan menemuiku?
Dadaku berguncang. Sebuah tangis pecah. Tangis yang semenjak tadi berusaha kuredam agar tak keluar. Sebab untuk apa? Untuk apa aku menangisi seseorang yang bahkan tak sudi menemuiku? Wanita keparat itu, dia pikir aku hanya butuh uangnya saja. Selalu mengirimiku uang setiap bulan dengan jumlah yang luar biasa. Aku muak!
Ardi merangkulku. Mengelus punggung. Setelahnya, aku berusaha mengokohkan diri untuk menyusuri setiap ruangan yang ada.
Aku mencari sebuah kamar. Kunaiki tangga, menyusuri ruangan baru setelah tak berhasil menemukan sebuah kamar pribadi di lantai dasar.
Di setiap sisinya, terpasang beberapa poto lamaku. Ardi tak berhenti merangkul dan menguatkanku yang kalut oleh suasana di rumah besar ini. Rumah ini penuh dengan kenangan yang sengaja wanita itu pajang.
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah kamar. Sebuah lukisan wanita bertubuh sensual terpasang di dindingnya. Itu dia si wanita keparat. Aku melepaskan tanganku dari lengan Ardi, mendekati lukisan, merabanya penuh emosi.
"Kau benar-benar wanita keparat!" ucapku meninju gambar yang terpampang di hadapan.
Aku merasakan Ardi memelukku dari belakang. Menarikku, meminta untuk tak hanya fokus dengan lukisan itu.
Aku mengobrak-abrik isi kamar. Berharap ada suatu pesan yang dia tinggalkan untukku. Tapi nihil. Aku tak menemukan apa pun, kecuali barang-barang pribadi miliknya.
Dan, tatapku terhenti ketika kudapati sebuah laptop di bawah bantal. Aku membukanya perlahan. Membuka file yang ada. Ada banyak, banyak sekali curahan isi wanita keparat itu di dalamnya. Aku kemudian memutuskan duduk di sebuah kursi di samping ranjang, meletakkan laptop di meja dan fokus membaca yang tertulis di sana.
Setiap kata, setiap kalimat, setiap paragraf membuat air mataku tak berhenti mengalir. Wanita keparat itu bodoh sekali. Mengapa hanya berpikir tentang kesuksesanku? Rela bertahun-tahun memendam rindu yang tak mampu ia tuntaskan.
Aku memilih mengabaikanmu agar tak merasakan perihnya sayatan rindu yang semakin hari semakin melukai hatiku.
Sebuah kalimat bodoh yang pernah kubaca. Apa dia pikir aku pun tidak tersiksa? Bukankah akan lebih baik jika kita saling menuntaskan rindu? Tapi mengapa? Mengapa ia justru memilih memporakporandakan hatinya, juga hatiku hingga senahas ini?
"Wanita itu, dia benar-benar sudah gila," ucapku memukuli dada.
Tangisku semakin menjadi. Aku tak kuat lagi membendungnya.
"Tenang, Melia. Kau harus tenang," hibur Ardi memelukku dari belakang.
"Kita pulang, Ardi," ucapku penuh emosi.
Aku beranjak dari tempat untuk berdiri. Rasanya percuma aku berada di sini. Yang ada hanya membuat sesak dada.
"Kau tidak ingin menemuinya sebentar, Melia?"
Menemuinya? Tentu saja, aku harus menemuinya. Aku harus melampiaskan seluruh amarahku padanya.
Setelah meninggalkan rumah itu, aku menuju pemakaman. Mencari nisan bernama Maria, wanita keparat yang tega mengabaikanku.
"Seharusnya kakak tidak seperti ini. Seharusnya kakak bicara padaku. Seharusnya kakak tak melukai diri kakak sendiri!"
Amarahku membuncah. Aku memukuli dada, kemudian mengorek-orek tanah merah di hadapanku.
"Kau tidak boleh seperti ini, Melia," hibur Ardi.
Dia berusaha menghentikan apa yang tengah kulakukan.
"Doakan kakakmu, Melia,"ucapnya memelukku.
"Pelacur itu, dia bukan kakakku," balasku terisak.
"Dia kakakmu, dia akan tetap menjadi kakakmu," tegas Ardi.
Aku mengigit kerah kemeja suamiku. Memukul-mukul punggungnya. Pada siapa lagi aku bisa melampiaskan amarahku ini? Maria tak ada di sini. Dia pengecut! Jika saja dia ada di hadapanku kini, aku pasti sudah memukulinya hingga mati. Tapi Maria, dia lebih memilih mati terlebih dahulu sebelum aku menemukannya. Dia gantung diri. Sebuah cara konyol untuk mati. Dia benar-benar pengecut!
Setelah sekian lama menyakiti perasaan adiknya, kemudian menjadi seorang pelacur, dia menambahkan dosa lagi dengan melakukan bunuh diri. Lalu berapa banyak dosa yang harus dia tanggung?
***
Maria adalah kakakku. Selamanya akan menjadi kakakku. Meski tak pernah ia menampakkan diri di hadapanku semenjak kepergiannya beberapa tahun yang lalu.
Semua yang dilakukannya adalah sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk melunasi hutang yang ditinggalkan ibu, juga pengorbanan untuk menjadikan aku seorang wanita seperti sekarang ini.
Jika saja Maria tak memiliki tekad untuk melakukan hal bodoh itu, mungkin aku takkan menjadi sedemikian ini. Selain tersohor di seantero kota tempatku dilahirkan, aku pun kini memiliki suami hebat yang mendampingi.
"Kita pulang dulu, Sayang," ucapku pada Andini.
Dia anakku. Seorang bocah kecil berusia 6 tahun yang lahir dari adik seorang pelacur.
"Anak-anak semuanya, Andini sama Tante harus pulang sekarang," seruku pada beberapa anak yang tengah berkumpul bermain di halaman.
"Yah ...," seru  mereka tanda kecewa.
Mereka adalah anak-anak Maria. Anak-anak yang kuharap kelak akan membantu mengirimkannya ke surga.
Ya, rumah Maria di Bandung kujual. Beserta tabungan dengan jumlah sangat besar yang dia kirimkan padaku sebelum melakukan tindakan bunuh diri, semua kugunakan untuk membangun panti asuhan. Sebuah panti bernama Rumah Maria. Berharap kelak mampu menjadi rumah untuk Maria, di surga.
Kaohsiung, 1 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H