"Dia kakakmu, dia akan tetap menjadi kakakmu," tegas Ardi.
Aku mengigit kerah kemeja suamiku. Memukul-mukul punggungnya. Pada siapa lagi aku bisa melampiaskan amarahku ini? Maria tak ada di sini. Dia pengecut! Jika saja dia ada di hadapanku kini, aku pasti sudah memukulinya hingga mati. Tapi Maria, dia lebih memilih mati terlebih dahulu sebelum aku menemukannya. Dia gantung diri. Sebuah cara konyol untuk mati. Dia benar-benar pengecut!
Setelah sekian lama menyakiti perasaan adiknya, kemudian menjadi seorang pelacur, dia menambahkan dosa lagi dengan melakukan bunuh diri. Lalu berapa banyak dosa yang harus dia tanggung?
***
Maria adalah kakakku. Selamanya akan menjadi kakakku. Meski tak pernah ia menampakkan diri di hadapanku semenjak kepergiannya beberapa tahun yang lalu.
Semua yang dilakukannya adalah sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk melunasi hutang yang ditinggalkan ibu, juga pengorbanan untuk menjadikan aku seorang wanita seperti sekarang ini.
Jika saja Maria tak memiliki tekad untuk melakukan hal bodoh itu, mungkin aku takkan menjadi sedemikian ini. Selain tersohor di seantero kota tempatku dilahirkan, aku pun kini memiliki suami hebat yang mendampingi.
"Kita pulang dulu, Sayang," ucapku pada Andini.
Dia anakku. Seorang bocah kecil berusia 6 tahun yang lahir dari adik seorang pelacur.
"Anak-anak semuanya, Andini sama Tante harus pulang sekarang," seruku pada beberapa anak yang tengah berkumpul bermain di halaman.
"Yah ...," seru  mereka tanda kecewa.