"Tenang, Melia. Kau harus tenang," hibur Ardi memelukku dari belakang.
"Kita pulang, Ardi," ucapku penuh emosi.
Aku beranjak dari tempat untuk berdiri. Rasanya percuma aku berada di sini. Yang ada hanya membuat sesak dada.
"Kau tidak ingin menemuinya sebentar, Melia?"
Menemuinya? Tentu saja, aku harus menemuinya. Aku harus melampiaskan seluruh amarahku padanya.
Setelah meninggalkan rumah itu, aku menuju pemakaman. Mencari nisan bernama Maria, wanita keparat yang tega mengabaikanku.
"Seharusnya kakak tidak seperti ini. Seharusnya kakak bicara padaku. Seharusnya kakak tak melukai diri kakak sendiri!"
Amarahku membuncah. Aku memukuli dada, kemudian mengorek-orek tanah merah di hadapanku.
"Kau tidak boleh seperti ini, Melia," hibur Ardi.
Dia berusaha menghentikan apa yang tengah kulakukan.
"Doakan kakakmu, Melia,"ucapnya memelukku.
"Pelacur itu, dia bukan kakakku," balasku terisak.