Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibuku, Surgaku

26 Maret 2019   12:19 Diperbarui: 26 Maret 2019   12:29 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terpukul. Ternyata sakit ibu parah. Ia harus di rawat di rumah sakit akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Demikian kata seorang dokter di puskesmas. Sejak kapan, sejak kapan ibu memiliki penyakit itu? Dari dulu memang ibu terlihat begitu sering batuk-batuk, tapi ibu tak pernah mencoba memperiksakannya. Ibu selalu bilang itu batuk biasa. Atau, ia memang sudah tahu dan menyembunyikannya dariku? Tangisku kian membuncah. Kutatapi wajah ibu yang tengah berbaring tak sadarkan diri di sebuah ruangan puskesmas. Suara para pesakit di sekeliling membuat gaduh ruangan. Tapi di telingaku hanya terdengar samar, sebab pikirku hanya tertuju pada ibu.

***

Hari ini hari ulang tahun ibu. Sepulang sekolah aku membeli sebuah kerudung. Akan kuberikan sebagai kado tentu saja. Aku harap dengan ini ibu akan segera sembuh. Sebab ia akan mengetahui anaknya, kini telah kembali menyayanginya.

Rumah sakit sudah terlihat. Ya, sudah seminggu lebih ibu di pindah ke Rumah Sakit kota. Rasanya, ingin sekali segera sampai. Memberi kejutan pada ibu, melihat senyum semringah ibu. Aku begitu merindukan semua itu. Maafkan jika selama ini aku berlaku kurang ajar padamu, Ibu. Sekarang aku tak peduli, apakah aku anak haram, apakah dulu ibu seorang pelacur. Yang paling penting adalah aku memiliki seorang ibu yang baik hati, yang mampu mendidikku menjadi anak yang baik.

"Hilda," ujar dokter padaku yang telihat baru keluar bersama dua orang suster dari ruangan ibu.

"Ya, Dok," balasku dengan sebuah simpul senyum di sudut bibir.

"Ini ada surat untukmu," balasnya sambil menyodorkan sebuah kertas.

"Dari ibumu," lanjutnya.

"Ibu?" tanyaku, tak mengerti dengan semua ini.

Firasat buruk menyergapku. Tidak, aku tidak boleh berpikir yang tidak-tidak.

"Ibumu sudah tidak ada, Hilda," ucap dokter sambil menepuk punggungku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun