Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibuku, Surgaku

26 Maret 2019   12:19 Diperbarui: 26 Maret 2019   12:29 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Aku menjalani hariku dengan kehampaan, tanpa bincang tanpa tatapan kepada ibu. Meski tetap kulalui hari-hari seperti biasa dengan membantu ibu membuat kue juga menjualnya, sekolah, belajar, makan, minum. Kaku, hanya itu perbedaannya.

Aku hanya ingin sebuah kejujuran. Jika kenyataannya aku memang anak haram, jika kenyataannya ibu dulu memang pelacur, aku ingin mendengar itu langsung dari mulutnya. Namun hingga kini, ibu selalu membantah tentang semua itu.

"Uhuk, uhuk ... bisa tolong Ibu ambilkan air, Nak?" suruhnya sambil terbatuk.

"Ibu kan bisa ambil sendiri!" balasku kasar.

Kulihat ibu tak keberatan dengan penolakanku. Ia bangkit dari duduknya yang memang tengah membungkus kue putri ayu bersamaku, melangkah untuk mengambil air minum.

Beberapa hari ini memang kudengar ibu sering sekali batuk-batuk, tapi aku tak peduli. Setiap kali rasa belas kasih muncul semuanya akan terganti oleh kebencian akan kenyataan yang tak pernah mampu ia utarakan. Aku benci perasaan seperti ini.

Kudengar ibu masih saja terbatuk. Ia belum kembali, justru kulihat pergi ke kamar mandi. Mungkin batuknya sudah sedikit parah, seharusnya ia bergegas memeriksakan diri, bukannya hanya membeli obat warung setiap hari. Ingin aku memperingatkannya, tapi rasanya semua kata tercekat di tenggorokan. Salahkah Tuhan, jika aku begitu membenci ibuku seperti ini?

Sudah lebih dari satu jam, tapi ibu masih belum keluar dari kamar mandi. Dengan berat hati, aku berniat melihatnya. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Dan apa yang kulihat?

"Ibu ...!" teriakku.

Ibu tak sadarkan diri. Darah berceceran di lantai. Aku gugup, takut. Aku berusaha mengangkat tubuhnya. Membersihkan darah dari mulutnya. Aku membopongnya kemudian membaringkannya di sofa. Sementara ibu berbaring tak sadarkan diri, aku memanggil pak Karim, tetangga kami yang berprofesi sebagai tukang becak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun