Dia menunduk. Barangkali, menyetujui apa yang kuucap.
"Maafkan aku," lirihnya.
"Maaf? Semudah itu, heh?"
Sakit. Bagaimana tidak. Hari pernikahan sudah tepat di hadapan, tetapi dia seolah itu hanya sebuah permainan. Berusaha membatalkan dengan alasan yang tak masuk akal. Takut aku menderita? Takut aku tak bahagia? Alasan macam apa itu!
Dadaku berguncang. Tangis yang sengaja kutahan sejak tadi akhirnya pecah. Sementara ia, ia hanya menunduk tak berani menatapku walau sejenak.
"Kau tahu, kau bukan saja menyakitiku, Al!" ucapku menatap dirinya yang masih tertunduk.
"Kau menyakitiku, kau menyakiti keluargaku, kau juga menyakiti keluargamu. Kau tahu itu bukan!"
Aku kian berteriak hebat. Meluapkan segala emosi. Mungkin dengan cara ini, perasaanku akan sedikit melega. Tetapi ia, ia masih tetap bungkam tak mampu memberi balasan.
"Pergi!" usirku dengan suara lantang.
Akhirnya dia memberi tanggapan. Dia menatap mataku, menelan ludah mencoba mengucap sebuah kata.
"Maafkan, aku." Dan lagi, hanya itu kata yang mampu terucap dari bibirnya.
"Pergi!" bentakku lagi.