Mohon tunggu...
anisavitri
anisavitri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lukisan Masa Lalu

26 November 2024   16:00 Diperbarui: 26 November 2024   16:14 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota kecil yang menyimpan keheningan diantara jalan-jalan yang berliku dan rumah-rumah tua dengan dinding yang terkelupas, berdirilah sebuah galeri seni. Galeri itu seperti perwujudan masalalu yang enggan dilupakan, dengan aroma cat minyak tua yang samar menguar diudara, dan lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang melangkah. Meski sebagian orang tidak pernah berpikir untuk masuk kedalamnya, ada satu lukisan yang seolah memanggil jiwa-jiwa tertentu, mengundang mereka ke dunia yang tersembunyi di dalam kanvasnya. 

Lukisan itu menggambarkan seorang gadis muda yang duduk di tepi sebuah danau. Dia mengenakan gaun putih sederhana, dengan rambut hitam panjang yang tergerai ditiup angin. Wajahnya memancarkan ketenangan, tetapi matanya menyimpan cerita yang tak terucap, mata yang menatap jauh ke cakrawala, seolah mencari sesuatu yang tak akan pernah kembali.

Namanya adalah Aluna. Dia sering datang ke galeri itu, berdiri diam di depan lukisan itu selama berjam-jam. Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya mengapa dia begitu terpikat oleh karya seni tersebut. Bagi penjaga galeri, Aluna hanyalah seorang pengunjung biasa yang terlalu senang melamun. Tetapi bagi Aluna sendiri, lukisan itu bukan sekadar seni. Itu adalah cerminan hidupnya, sebuah pintu menuju masa lalu yang terlalu indah untuk dilupakan, sekaligus terlalu menyakitkan untuk diingat.

Hari itu hujan rintik-rintik mengguyur kota. Aluna memasuki galeri dengan langkah tenang, menggenggam payung lipat yang basah. Sepi seperti biasa, hanya suara kakinya yang bergema di ruangan. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Di sudut galeri, seorang pria tua berdiri, memandang lukisan yang sama dengan tatapan mendalam.

"Indah, bukan?" kata pria tua itu, suaranya serak namun hangat.

Aluna mengangguk perlahan, sedikit terkejut karena ada orang lain yang memperhatikan lukisan itu. "Lebih dari sekadar indah," jawabnya. "Ini terlihat bukan sekedar lukisan, tapi seolah juga ada perjalanan jiwa yang terukir dalam warna."

Pria tua itu tersenyum tipis. "Apakah kau tahu kisah di baliknya?"

Aluna menggeleng. Selama ini dia hanya terpaku pada perasaan yang ditimbulkan lukisan itu, tanpa pernah memikirkan cerita yang mungkin tersembunyi di balik kanvas. Aluna pun bertanya pada pria tua itu, “ Apakah kau tau cerita dibalik lukisan itu?”

Pria tua itu menjawab "Pelukisnya adalah seorang wanita muda yang tinggal di kota ini puluhan tahun yang lalu. Namanya Samara. Dia melukis ini sebagai kenangan terakhir sebelum meninggalkan tempat ini untuk selamanya."

Mata Aluna membelalak. Nama itu terdengar asing, namun anehnya terasa akrab. "Mengapa dia pergi?"

Pria tua itu menghela napas panjang, seolah menimbang apakah dia harus melanjutkan cerita atau tidak. Namun pada akhirnya pria tua itu memilih melanjutkan ceritanya, "Dia jatuh cinta pada seorang pria. mereka biasa bertemu di tepi danau yang kau lihat di lukisan itu. Namun, cinta mereka dilarang oleh keluarga pria itu. Samara adalah seorang pelukis sederhana, sementara pria itu berasal dari keluarga kaya yang penuh aturan."

Aluna merasa dadanya sesak. Kisah itu entah bagaimana terasa seperti bayangan hidupnya sendiri.

Pria tua itu melanjutkan, "Pada suatu malam, pria itu berjanji akan melarikan diri bersama Samara. Mereka merencanakan segalanya dengan cermat. Tapi, di saat-saat terakhir, pria itu tidak datang. Dia memilih keluarganya daripada cintanya."

Aluna memalingkan wajahnya dari pria tua itu, menatap kembali lukisan tersebut. Sekarang, dia merasa melihat sesuatu yang baru di dalamnya kesedihan yang mendalam, sebuah pengorbanan yang tak pernah terbayar.

"Apakah dia melupakannya?" tanya Aluna dengan suara pelan.

"Samara?" pria tua itu tersenyum tipis. "Tidak. Dia tidak pernah melupakannya. Itulah mengapa dia melukis ini. Ini adalah caranya untuk mengabadikan perasaan itu, meskipun dia tahu, dia tidak akan pernah bisa memilikinya kembali."

Malam itu, Aluna pulang dengan pikiran yang kacau. Kisah Samara terus berputar di benaknya. Dia merasa seolah-olah ada hubungan tak kasat mata antara dirinya dan pelukis itu. Aluna sendiri memiliki luka yang serupa kenangan akan seseorang yang pernah berjanji untuk selalu bersamanya, namun menghilang begitu saja tanpa penjelasan.

Keesokan harinya, Aluna kembali ke galeri. Kali ini, dia membawa buku catatan kecil yang sudah lama tidak dia gunakan. Dia ingin mencatat apa pun yang dia rasakan saat berdiri di depan lukisan itu, seolah mencoba merangkai puzzle yang tersembunyi di dalamnya.

Namun, pria tua itu sudah tidak ada lagi. Aluna bertanya pada penjaga galeri, tetapi tidak ada yang tahu siapa dia. "Mungkin hanya seorang pengunjung biasa," jawab penjaga itu acuh tak acuh.

Hari-hari berlalu, tetapi Aluna semakin terobsesi dengan lukisan itu. Dia mulai mencari tahu tentang Samara. Dia menggali arsip-arsip lama, membaca buku-buku sejarah tentang kota itu, bahkan mengunjungi perpustakaan untuk menemukan petunjuk. Namun, yang dia temukan hanya serpihan-serpihan cerita yang tidak pernah benar-benar utuh.

Hingga suatu hari, Aluna menemukan sesuatu fakta yang mengejutkan. Dalam sebuah artikel lama yang tersimpan di perpustakaan kota, dia membaca bahwa Samara bukan hanya seorang pelukis biasa. Ternyata dia adalah nenek buyutnya. 

Penemuan itu mengubah segalanya. Aluna menyadari bahwa lukisan itu bukan sekadar pengingat masa lalu Samara, tetapi juga warisan yang ditinggalkan untuknya. Warisan tentang kekuatan cinta, kehilangan, dan keberanian untuk terus melangkah meskipun hati terluka.

Aluna memutuskan untuk pergi ke danau yang ada di dalam lukisan itu. Dia ingin melihat sendiri tempat yang pernah menjadi saksi bisu dari kisah cinta Samara. Saat dia tiba di sana, semuanya terasa seperti dejavu. Angin yang berembus, riak air yang tenang, bahkan suara burung-burung di kejauhan, semuanya persis seperti yang tergambar dalam lukisan.

Di tepi danau, Aluna duduk diam, membiarkan kenangan mengalir. Dia membayangkan Samara dan pria itu duduk di tempat yang sama, berbagi tawa dan harapan. Dia membayangkan janji-janji yang terucap, serta air mata yang mungkin jatuh ketika segalanya berakhir.

Namun, kali ini, Aluna tidak merasa sedih. Sebaliknya, dia merasa damai. Dia menyadari bahwa meskipun masa lalu penuh dengan luka, itu adalah bagian dari siapa dirinya sekarang.

Beberapa hari kemudian ketika Aluna kembali ke galeri, penjaga itu memberitahunya sesuatu yang mengejutkan. "Lukisan itu telah terjual," katanya.

Aluna terdiam. Sebagian dari dirinya merasa kehilangan, tetapi sebagian lagi merasa lega. Lukisan itu telah menemukan rumah baru, dan dia tahu bahwa kenangan Samara akan terus hidup, tidak hanya dalam lukisan itu, tetapi juga dalam hatinya.

Bagi Aluna, itu adalah awal dari babak baru dalam hidupnya. Dia tidak lagi takut pada masa lalu. Sebaliknya, dia merangkulnya dengan penuh cinta, mengetahui bahwa setiap kenangan, baik manis maupun pahit, adalah bagian dari perjalanan yang membentuk dirinya.

Dan seperti Samara, dia pun belajar untuk melukis kehidupannya sendiri dengan warna-warna yang penuh makna, meskipun tidak selalu sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun