BAB 6 Madzhab Pemikiran Hukum (Living Law dan Utilitarianism)
Madzhab pemikiran hukum living law dan utilitarianism memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum. Living law, menekankan bahwa hukum bukan hanya aturan tertulis, tetapi juga norma yang hidup dalam masyarakat, yang berkembang melalui kebiasaan dan praktik sosial sehari-hari. Sedangkan, Utilitarianism berfokus pada prinsip bahwa hukum harus bertujuan untuk menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak-banyaknya orang. Hukum disusun dengan mempertimbangkan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Keduanya memandang hukum sebagai alat yang berkembang dan bertujuan untuk kesejahteraan sosial.
BAB 7 Pemikiran Emile Durkheim dan Ibnu Khaldun
Emile Durkheim dan Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang berbeda terhadap sosiologi hukum. Emile Durkheim melihat hukum sebagai refleksi solidaritas sosial. Ia membedakan dua jenis solidaritas, yaitu solidaritas mekanik (di masyarakat tradisional) dan organik (di masyarakat modern). Durkheim berpendapat bahwa hukum berkembang seiring perubahan struktur sosial untuk menjaga keseimbangan sosial. Sedangkan, Ibnu Khaldun menekankan teori asabiyyah sebagai kunci stabilitas masyarakat, di mana hukum harus mencerminkan nilai-nilai sosial dan pemimpin yang adil dapat menciptakan masyarakat yang stabil. Kedua pemikir ini sepakat bahwa hukum tidak terpisah dari kondisi sosial dan berfungsi untuk menjaga keharmonisan masyarakat.
BAB 8 Pemikiran Hukum Max Weber dan H.L.A Hart
Max Weber melihat hukum sebagai refleksi dari struktur sosial dan nilai-nilai masyarakat. Ia membedakan hukum berdasarkan rasionalitas, tradisi, dan otoritas karismatik. Menurut Weber, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial tetapi juga terkait dengan moralitas dan nilai yang ada dalam masyarakat.Â
Sedangkan, H.L.A. Hart, seorang tokoh positivisme hukum, berfokus pada sistem aturan yang jelas dan terstruktur. Ia membedakan aturan hukum menjadi aturan primer dan aturan sekunder. Hart menekankan pentingnya pengakuan masyarakat terhadap hukum agar hukum dapat berlaku efektif, tanpa terikat pada moralitas atau etika. Dengan demikian, Weber melihat hukum dalam konteks sosial dan budaya, sedangkan Hart memandang hukum sebagai seperangkat aturan yang diterima secara formal oleh masyarakat.
BAB 9 Efektivitas Hukum (Effectiveness of Law)
Efektivitas hukum dalam konteks sosiologis hukum merujuk pada sejauh mana hukum dapat diterapkan dan dipatuhi oleh masyarakat. Hukum berfungsi sebagai alat untuk menciptakan keadilan, kepastian, dan ketentraman sosial. Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas diukur dari tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum yang berlaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas meliputi kualitas hukum, penegakan hukum, kesadaran masyarakat, dan dukungan sarana prasarana. Hubungan antara hukum sosiologis dan efektivitas hukum sangat erat, karena kajian sosiologi hukum tidak terlepas dari penilaian terhadap keberhasilan penerapan hukum di masyarakat.
BAB 10 Law and Social Control
Law and Social Control mengacu pada peran hukum dan mekanisme sosial dalam mengatur dan mempengaruhi perilaku individu untuk memastikan ketertiban dan keselarasan dalam masyarakat. Hukum berfungsi sebagai alat formal untuk mengontrol perilaku, sementara kontrol sosial mencakup norma dan tekanan sosial yang ada dalam masyarakat. Keduanya bekerja bersama untuk menyeimbangkan kebebasan individu dan kepentingan bersama.