Mohon tunggu...
Anisa NuradiaRustu
Anisa NuradiaRustu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Mahasiswi Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peluncuran Kebijakan Ekonomi Biru: Terjawabkah Kebutuhan Nelayan di Indonesia?

23 Desember 2021   23:19 Diperbarui: 23 Desember 2021   23:27 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 2017, sebuah data riset dari Survei Sosial Ekonomi Nasional menyatakan bahwa nelayan merupakan salah satu profesi dengan pendapatan terminim atau memiliki kondisi termiskin di Indonesia. Nelayan sendiri merupakan profesi yang bergantung langsung kepada komoditas lautan. Hal ini tentu menjadi ironi, mengingat Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 70% total luas wilayahnya merupakan lautan. Dengan begitu luasnya lautan yang dimiliki oleh Indonesia maka seharusnya potensi sumber daya kelautannya juga menjadi tidak tertandingi serta kesejahteraan para nelayan menjadi terjamin. Indonesia memiliki potensi lestari sumber daya ikan sebanyak 6,5 juta ton per tahun. Angka yang seharusnya menghasilkan pendapatan fantastis tetapi ternyata memiliki realita yang miris karena nyatanya ada begitu banyak tantangan yang mengakibatkan kesejahteraan para penopang ekonomi negara yaitu nelayan menjadi terancam dan terkesan ditelantarkan nasibnya oleh negara.

Sama halnya dengan dunia keprofesian yang bergulat di daratan, nelayan memiliki sistem pengelompokkan yang didasarkan kepada kepemilikan alat dan modal. Nelayan yang memiliki alat dan modal disebut sebagai nelayan juragan. Nelayan juragan biasanya tidak miskin dan mereka juga biasanya hanya menyediakan alat serta modal yang dapat digunakan oleh nelayan buruh untuk bekerja dengan kontrak tertentu. Selain itu, terdapat juga nelayan yang memiliki alat seadanya tetapi memilih untuk bekerja sendiri secara langsung. Nelayan dengan kondisi seperti ini disebut dengan nelayan perorangan. Secara populasi, nelayan perorangan dan nelayan buruh memiliki jumlah yang jauh melampaui nelayan juragan. Hal ini akhirnya memperkuat citra kemiskinan serta ketidaksejahteraan nelayan.

Meskipun terdapat segelintir faktor yang menyebabkan situasi ironi dimana nelayan mengalami kemiskinan di negara bahari, kehadiran kebijakan publik yang belum menjawab kebutuhan sebenarnya dari para nelayan tidak dapat terelakkan. Kebanyakan dari kebijakan pemerintah adalah memberikan paket bantuan kepada para nelayan. Akan tetapi, paket bantuan ini terkadang diambil berdasarkan narasi dari perwakilan yang tidak berprofesi sebagai nelayan langsung, sehingga terdapat ketidakcocokan antara bantuan yang diberikan serta kebutuhan yang sebenarnya dibutuhkan oleh para nelayan. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya manipulasi dan eksploitasi dari pemilik modal yang biasanya menyudutkan nelayan secara tidak langsung untuk menjual hasil tangkapannya dengan harga yang jauh berada di bawah pasaran. Kompleksitas permasalahan dan kesulitan menjadi nelayan memberikan sinyal dibutuhkan kebijakan yang melindungi lautan dan hak mereka sebagai nelayan.

Tepat pada hari ulang tahun ke-22 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia merilis kerangka acuan ekonomi biru yang akan melandasi setiap program pengelolaan laut Indonesia. Istilah "blue economy" merupakan sebuah paradigma (konsep) baru yang bertujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan, sekaligus menjamin kelestarian sumberdaya serta lingkungan pesisir dan lautan (Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, 2012). Dalam proses implementasi yang ideal, pembentukan kebijakan dengan pendekatan ekonomi biru seharusnya akan banyak berikatan dengan triple track strategy yang meliputi program pengentasan kemiskinan, pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja, dan pelestarian lingkungan.

Dengan diluncurkannya ekonomi biru di Indonesia pada Oktober 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan membawa beberapa rancangan program prioritas yang akan dilaksanakan dan menjadi fokus tiga tahun kedepan, yaitu peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan melalui Kebijakan Penangkapan Terukur di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI), pengembangan perikanan budidaya untuk peningkatan ekspor yang didukung riset kelautan dan perikanan, serta pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal (Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti W. Trenggono, 2021). Namun, kembali lagi apakah keempat kebijakan tersebut merupakan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh para nelayan saat ini? dan apakah rancangan kebijakan tersebut dapat meningkatkan kesehatan lautan secara keseluruhan?

Konsep Kemiskinan dan Sudut Pandang Pembuat Kebijakan

Dalam pembentukkan kebijakan, kemiskinan menjadi salah satu isu yang krusial untuk dibahas dan dijawab melalui program inovasi negara untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya, sehingga meskipun cukup sulit menentukan kondisi kemiskinan individu atau kelompok tertentu, penentuan definisi yang dapat dijadikan landasan atau standar pengukuran kebijakan menjadi penting perannya. International Committee for Peace and Reconciliation atau ICPR mendefinisikan kemiskinan sebagai sebuah situasi dimana seorang individu atau kelompok mengalami kesulitan untuk memenuhi standar minimum kebutuhannya. Definisi ini dapat dikatakan menjadi definisi yang subjektif karena mengukur kemiskinan berdasarkan sulit atau tidaknya individu dan kelompok memenuhi standar kebutuhan minimalnya yang mana tentu standar minimum dapat berbeda-beda dari setiap individu maupun kelompok. Pengukuran kemiskinan subjektif sebenarnya merupakan hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan sebelum merumuskan kebijakan, tetapi pengukuran objektif dirasa akan lebih mudah dan praktis, maka dari itu tidak heran bila negara-negara lebih senang menggunakan garis kemiskinan sebagai standar kondisi warga negaranya. Hal ini seperti konsep kemiskinan yang didefinisikan oleh World Bank yaitu sebagai 'kekurangan dalam kesejahteraan'. Kesejahteraan sendiri dapat didefinisikan dengan kuasa atas komoditas.

Lebih lanjut, World Bank menambahkan bahwa adanya dimensi-dimensi spesifik tersendiri apabila membicarakan kemiskinan. Dimensi tersebut antara lain, miskin makin, miskin kesehatan, miskin edukasi, dan sebagainya. Pengelompokkan kondisi tersebut dapat memudahkan pengambil kebijakan untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat nya. Hal ini tidak terkecuali dengan isu permasalahan kemiskinan yang dialami oleh nelayan. Mustahil rasanya apabila dari dua juta lebih nelayan memiliki kebutuhan yang sama, sehingga sudah sepatutnya pengkajian langsung terkait kebutuhan nelayan baik itu secara objektif maupun subjektif menjadi kajian penting pembentuk kebijakan untuk menyelesaikan isu ini secara total.

Realita dan Dimensi Faktor Kemiskinan Nelayan

Sejuta potensi yang dimiliki oleh laut Indonesia dengan kemungkinan potensi pendapatan Indonesia dapat meningkat menjadi US$ 71,8 miliar per tahunnya hanya dari sumber perikanan, seolah membangun sebuah asumsi yaitu mana mungkin nelayan menjadi miskin dengan hamparan laut yang begitu luas dan potensi alam yang terlampau kaya. Kenyataannya, nelayan menjadi profesi dengan pendapatan terendah di Indonesia. Hal ini berdasarkan dengan data survei oleh Survey Sosio Ekonomi Nasional yang menunjukkan 11,34 persen masyarakat miskin di Indonesia merupakan seorang nelayan. Data lainnya juga menunjukkan rata-rata pendapatan nelayan di daerah Muncar, Jawa Timur hanya sekitar Rp 250.000 sampai dengan Rp 400.000 per bulan. Bahkan, sejumlah nelayan mengaku mereka memiliki pendapatan dibawah rata-rata yang sebelumnya disebutkan. Selain itu, secara kualitas hidup para nelayan juga mengalami kesulitan. Perumahan yang cenderung kumuh, perabotan-perabotan yang sangat sederhana, kesulitan mengakses pendidikan yang menjadi hak mereka, serta kesulitan pemenuhan kebutuhan sandang dan kesehatan menjadi saksi kemiskinan nelayan. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya kompleksitas penyebab dan akibat dalam kehidupan sebagai nelayan hingga terjebak dalam pusaran kemiskinan. Interaksi dengan pemegang posisi tertentu, keterbatasan kemampuan, ketidakberdayaan, serta kerusakan lingkungan menjadi isu-isu yang harus dialami oleh para nelayan setiap harinya.

a)Keterbatasan Kemampuan serta Pusaran Ketidakberdayaan

Bergulat dengan ketidakmenentuan situasi lautan, ketergantungan nelayan pada teknologi atau alatnya tentu tidak dapat terelakkan. Tanpa alat yang memadai tentu akan menjadi sulit bahkan mustahil bagi nelayan untuk bekerja menangkap ikan-ikan apalagi di lautan lepas dimana letak ikan-ikan yang kerap berpindah-pindah, sehingga kebutuhan akan alat dan teknologi menjadi tinggi. Jenis dari teknologi dan alat yang dimiliki atau digunakan oleh para nelayan juga biasanya akan menandakan sebuah identitas apakah nelayan tersebut merupakan nelayan tradisional atau modern. Identitas ini juga akan secara tidak langsung menentukan besaran tangkapan yang mungkin diperoleh. Hal ini karena, nelayan modern dengan alat dan teknologi yang cenderung lebih memadai akan memudahkan nelayan untuk bekerja di lautan lepas dengan jumlah ikan-ikan yang lebih tidak terbatas dan kemampuan eksploitatif yang lebih baik. Sedangkan, nelayan yang menggunakan alat-alat tradisional memiliki limitasi kemampuan, yaitu hanya dapat melakukan penangkapan di daerah perairan dekat dengan daratan yang tentu jumlah serta variasi ikannya menjadi lebih terbatas ditambah dengan kemampuan eksploitatif alatnya yang lebih rendah.

Sayangnya, mayoritas nelayan masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan alat-alat yang memadai. Sehingga, operasi penangkapan dan jumlah tangkapannya pun menjadi terbatas. Selain itu, alat-alat yang sederhana biasanya akan sangat bergantung kepada alam untuk kemampuan kerjanya. Akibatnya, pada suatu musim yang ekstrim beberapa bahkan mayoritas nelayan akan mengalami kesulitan untuk melakukan pekerjaannya. Hal ini berarti, pemasukan nelayan-nelayan tersebut menjadi terbatas bahkan tidak jarang tidak mendapatkan pemasukan sama sekali. Situasi ini tentu menjadi momen yang paling merugikan terutama bagi nelayan.

Keadaan yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka yang bekerja sebagai nelayan buruh atau nelayan yang tidak memiliki alat tangkap sama sekali sehingga harus bekerja di bawah nelayan juragan. Akan tetapi, nelayan juragan pun belum tentu memiliki alat-alat yang modern dan memadai. Hal ini akan berujung ke situasi yang hampir serupa dengan nelayan yang berjuang sendiri. Namun, yang menjadi makin mengkhawatirkan adalah sistem bagi hasil yang kerap kali merugikan nelayan buruh. Pada umumnya, sistem bagi hasil yang dilakukan adalah bagi sama rata atau fifty-fifty. Sepintas, sistem tersebut nampak adil. Akan tetapi sistem fifty-fifty yang diberlakukan sebenarnya tidak seadil itu. Hal ini dipicu oleh beberapa alasan, yaitu jumlah nelayan buruh yang dimiliki oleh nelayan juragan biasanya lebih dari satu orang, tetapi untuk pembagian upah tetapi dihitung menjadi satu, sehingga keuntungan yang didapat akan dibagi terlebih dahulu menjadi dua dimana nelayan juragan mendapatkan jatah 50 persen dan nelayan buruh secara kelompok akan mendapatkan sisanya. Kemudian sisanya akan dibagi lagi tergantung dari seberapa banyak nelayan buruh yang ada. Selain itu, apabila melihat dari bagaimana porsi pekerjaan nelayan buruh lebih banyak, maka sistem bagi hasil tersebut tampaknya tidak begitu adil. Akan tetapi, mereka yang bekerja sebagai nelayan buruh juga tidak memiliki alternatif lain karena belum mampu berdiri sendiri dengan alat yang dimiliki sendiri dan akhirnya nelayan buruh dan perorangan menjadi semakin terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

b)Bayang-Bayang Manipulasi dalam Interaksi di Daerah Pesisir

Dalam beberapa kasus lainnya, nelayan-nelayan yang memiliki keterbatasan dalam pemenuhan alat-alat tangkap baik itu yang tradisional maupun modern biasanya akan mencari modal pinjaman. Akan tetapi, untuk mendapatkan modal pinjaman pada lembaga-lembaga legal seperti bank merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mudah apalagi sebagai nelayan. Sehingga umumnya dana pinjaman tersebut akan hadir dari mereka yang mau meminjamkan dana nya kepada nelayan, yaitu penjual ikan. Proses pinjam-meminjam ini sayangnya tidak lepas dari praktik manipulasi yang lagi-lagi merugikan nelayan dengan ketidakberdayaannya. Pemberi modal yaitu penjual ikan akan meminta kepada nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapannya kepada mereka dengan harga yang berada jauh dibawah harga pasaran. Permintaan ini bersifat wajib yang artinya apabila ingin meminjam modal maka nelayan harus memenuhi permintaan penjual ikan tersebut. Selain itu, penentuan harga ikan yang akan dijual oleh nelayan juga biasanya akan dilakukan secara sepihak oleh penjual ikan yang berarti dapat dikatakan fenomena ini merupakan tindakan eksploitasi nelayan dengan mendorong nelayan yang tidak berdaya lebih jauh ke dalam lingkaran kemiskinan.

c)Ketimpangan Akses Fasilitas Publik dan Kerusakan Lingkungan

Fenomena peminjaman dana antara penjual ikan dan nelayan merupakan bukti adanya keterbatasan pada akses fasilitas publik seperti lembaga keuangan seperti bank, terlebih pada wilayah kepulauan yang terpencil. Selain itu, akses kesehatan dan pendidikan yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan di Indonesia juga mengakibatkan kepada rendahnya kualitas hidup nelayan dan rumah tangganya. Kemampuan untuk berdagang serta hitung-hitung keuntungan masih belum dimiliki oleh beberapa nelayan. Padahal kemampuan dasar tersebut menjadi penting agar tidak terjebak dalam manipulasi serta interaksi yang merugikan. Minim akses kesehatan juga dapat membahayakan nelayan dengan situasi iklim yang tidak menentu, sumber air bersih yang terbatas, dan perumahan kumuh dapat berujung kepada berbagai macam jenis penyakit yang apabila tidak diatasi dapat menghambat produktivitas nelayan.

Akses kepada pasar juga menjadi terbatas di beberapa wilayah, sehingga nelayan-nelayan harus mengandalkan pemasaran ikan tangkapannya kepada pedagang ikan yang kental akan manipulasi. Selain dari permasalahan sistem peminjaman dana modal, para pedagang ikan sering kali berjualan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan nelayan yang harganya terlampau mahal. Nelayan tidak memiliki pilihan karena pasar-pasar yang lain berada jauh dari tempat tinggalnya, sehingga masih bergantung kepada interaksi yang merugikan tersebut. Sebagai sebuah upaya penyediaan solusi, pemerintah telah menyediakan TPI yang akan membantu nelayan memasarkan tangkapannya dengan harga lelang yang tentu lebih menguntungkan daripada bergantung kepada pedagang ikan perorangan. Akan tetapi, pengadaan TPI ini masih belum merata serta sistem lelang sering kali dilupakan dan meskipun tidak ada pelelangan, nelayan tetap ditagih biaya retribusi yang akhirnya kembali merugikan nelayan.

Selain dari ketimpangan akses fasilitas yang begitu merugikan para nelayan, kondisi lingkungan dan utamanya lautan yang kian parah setiap hari menjadi tantangan lain yang harus dihadapi oleh nelayan. Isu polusi sampah plastik, polusi minyak, polusi batu bara, berkurangnya terumbu karang, dan krisis iklim menjadi pukulan-pukulan lain yang mengancam kehidupan nelayan.

Analisis Implementasi Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia serta Rekomendasi Kebijakan

Hal yang terus menjadi permasalahan dalam isu kebijakan adalah ketidaktepatan kebijakan dengan kebutuhan para nelayan. Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan berbagai macam respon atas diluncurkannya program prioritas yang digadangkan berlandaskan kepada prinsip ekonomi biru. Program kebijakan yang mendapatkan serangan balik penolakan dari para nelayan merupakan kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap. Penolakan ini berangkat dari adanya rasa keberatan secara ekonomi apabila PNBP dinaikkan. Hal ini diperparah dengan situasi pandemi dan cuaca ekstrim yang menurunkan produktivitas serta pendapatan para nelayan. Kenaikan PNBP dinilai hanya akan menjerumuskan nelayan lebih jauh ke dalam pusaran kemiskinan karena semakin memperkecil pendapatan nelayan.

Kebutuhan sebenarnya oleh para nelayan kurang lebih meliputi bantuan modal dan alat yang memadai, jaminan upah minimum, konservasi nyata kelautan, pemerataan fasilitas yang berkaitan, serta pelatihan komprehensif untuk nelayan. Kelima hal tersebut nyatanya kurang banyak dibahas pada saat peluncuran program ekonomi biru Indonesia. Padahal itu lah kebutuhan sesungguhnya dari para nelayan dan begitu sesuai dengan prinsip ekonomi biru. Pemilihan program prioritas oleh KKP tentu saja memunculkan pertanyaan, benarkah Indonesia ingin mengimplementasikan ekonomi biru? Karena apabila memang menginginkan hal tersebut, setidaknya kelima program yang disebutkan sebelumnya akan masuk ke dalam list program prioritas.

Ekonomi biru yang berusaha diimplementasikan oleh Indonesia belum sepenuhnya merepresentasikan tujuan dari ekonomi biru itu sendiri apabila mengacu kepada program prioritasnya. Sebagai tahap awal seharusnya KKP lebih mengutamakan permasalahan yang sudah mengakar dan butuh untuk segera diatasi seperti polusi plastik di laut Indonesia yang mengakibatkan jumlah stok ikan tangkapan menurun dan ketimpangan akses fasilitas yang dibutuhkan seperti pasar dan lembaga keuangan. Selain itu, perlindungan dan jaminan upah untuk para nelayan kecil seharusnya menjadi sorotan utama untuk memberikan udara segar bagi para nelayan. Serta, program-program inovasi pelibatan anak muda seharusnya bisa menjadi prioritas tahap awal untuk melahirkan kebijakan yang memperkuat daya saing, melestarikan laut, serta memastikan kesejahteraan nelayan kecil.

Kesimpulan

Nelayan merupakan kelompok yang memberikan kontribusi tidak ternilai pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, kesejahteraan mereka sering kali dilupakan hingga menempatkan nelayan menjadi profesi dengan pendapatan terkecil di Indonesia. Keterbatasan dan ketidakberdayaan nelayan menempatkan mereka di posisi yang rawan ditindas oleh para pengusaha dan juragan. Kesulitan mengakses fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan seperti tempat pemasaran yang berkeadilan mengakibatkan kemiskinan nelayan semakin nyata dirasakan. Hal ini diperparah lagi dengan krisis iklim dan polusi lautan yang menurunkan jumlah stok ikan tangkap di laut. Masalah demi masalah membunyikan lonceng darurat untuk inovasi penyelamat hidup mereka. Ekonomi biru dirasa memiliki prinsip yang tepat sebagai jawaban atas kesulitan yang dirasakan para nelayan.

Namun, penerapan ekonomi biru di Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Program yang menjadi prioritas selama tiga tahun dinilai masih tidak sesuai dengan prinsip serta ekonomi biru sesungguhnya yang berfokus kepada pelestarian laut beserta peningkatan kesejahteraan nelayan. Diperlukan program inovasi yang dibentuk dengan mendengarkan nelayan secara langsung dari penjuru Indonesia agar program-program di masa mendatang dapat lebih merepresentasikan prinsip ekonomi biru dan kesejahteraan nelayan baik juragan, buruh, maupun perorangan menjadi terjamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun