Mohon tunggu...
Anisa NuradiaRustu
Anisa NuradiaRustu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Mahasiswi Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peluncuran Kebijakan Ekonomi Biru: Terjawabkah Kebutuhan Nelayan di Indonesia?

23 Desember 2021   23:19 Diperbarui: 23 Desember 2021   23:27 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bergulat dengan ketidakmenentuan situasi lautan, ketergantungan nelayan pada teknologi atau alatnya tentu tidak dapat terelakkan. Tanpa alat yang memadai tentu akan menjadi sulit bahkan mustahil bagi nelayan untuk bekerja menangkap ikan-ikan apalagi di lautan lepas dimana letak ikan-ikan yang kerap berpindah-pindah, sehingga kebutuhan akan alat dan teknologi menjadi tinggi. Jenis dari teknologi dan alat yang dimiliki atau digunakan oleh para nelayan juga biasanya akan menandakan sebuah identitas apakah nelayan tersebut merupakan nelayan tradisional atau modern. Identitas ini juga akan secara tidak langsung menentukan besaran tangkapan yang mungkin diperoleh. Hal ini karena, nelayan modern dengan alat dan teknologi yang cenderung lebih memadai akan memudahkan nelayan untuk bekerja di lautan lepas dengan jumlah ikan-ikan yang lebih tidak terbatas dan kemampuan eksploitatif yang lebih baik. Sedangkan, nelayan yang menggunakan alat-alat tradisional memiliki limitasi kemampuan, yaitu hanya dapat melakukan penangkapan di daerah perairan dekat dengan daratan yang tentu jumlah serta variasi ikannya menjadi lebih terbatas ditambah dengan kemampuan eksploitatif alatnya yang lebih rendah.

Sayangnya, mayoritas nelayan masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan alat-alat yang memadai. Sehingga, operasi penangkapan dan jumlah tangkapannya pun menjadi terbatas. Selain itu, alat-alat yang sederhana biasanya akan sangat bergantung kepada alam untuk kemampuan kerjanya. Akibatnya, pada suatu musim yang ekstrim beberapa bahkan mayoritas nelayan akan mengalami kesulitan untuk melakukan pekerjaannya. Hal ini berarti, pemasukan nelayan-nelayan tersebut menjadi terbatas bahkan tidak jarang tidak mendapatkan pemasukan sama sekali. Situasi ini tentu menjadi momen yang paling merugikan terutama bagi nelayan.

Keadaan yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka yang bekerja sebagai nelayan buruh atau nelayan yang tidak memiliki alat tangkap sama sekali sehingga harus bekerja di bawah nelayan juragan. Akan tetapi, nelayan juragan pun belum tentu memiliki alat-alat yang modern dan memadai. Hal ini akan berujung ke situasi yang hampir serupa dengan nelayan yang berjuang sendiri. Namun, yang menjadi makin mengkhawatirkan adalah sistem bagi hasil yang kerap kali merugikan nelayan buruh. Pada umumnya, sistem bagi hasil yang dilakukan adalah bagi sama rata atau fifty-fifty. Sepintas, sistem tersebut nampak adil. Akan tetapi sistem fifty-fifty yang diberlakukan sebenarnya tidak seadil itu. Hal ini dipicu oleh beberapa alasan, yaitu jumlah nelayan buruh yang dimiliki oleh nelayan juragan biasanya lebih dari satu orang, tetapi untuk pembagian upah tetapi dihitung menjadi satu, sehingga keuntungan yang didapat akan dibagi terlebih dahulu menjadi dua dimana nelayan juragan mendapatkan jatah 50 persen dan nelayan buruh secara kelompok akan mendapatkan sisanya. Kemudian sisanya akan dibagi lagi tergantung dari seberapa banyak nelayan buruh yang ada. Selain itu, apabila melihat dari bagaimana porsi pekerjaan nelayan buruh lebih banyak, maka sistem bagi hasil tersebut tampaknya tidak begitu adil. Akan tetapi, mereka yang bekerja sebagai nelayan buruh juga tidak memiliki alternatif lain karena belum mampu berdiri sendiri dengan alat yang dimiliki sendiri dan akhirnya nelayan buruh dan perorangan menjadi semakin terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

b)Bayang-Bayang Manipulasi dalam Interaksi di Daerah Pesisir

Dalam beberapa kasus lainnya, nelayan-nelayan yang memiliki keterbatasan dalam pemenuhan alat-alat tangkap baik itu yang tradisional maupun modern biasanya akan mencari modal pinjaman. Akan tetapi, untuk mendapatkan modal pinjaman pada lembaga-lembaga legal seperti bank merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mudah apalagi sebagai nelayan. Sehingga umumnya dana pinjaman tersebut akan hadir dari mereka yang mau meminjamkan dana nya kepada nelayan, yaitu penjual ikan. Proses pinjam-meminjam ini sayangnya tidak lepas dari praktik manipulasi yang lagi-lagi merugikan nelayan dengan ketidakberdayaannya. Pemberi modal yaitu penjual ikan akan meminta kepada nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapannya kepada mereka dengan harga yang berada jauh dibawah harga pasaran. Permintaan ini bersifat wajib yang artinya apabila ingin meminjam modal maka nelayan harus memenuhi permintaan penjual ikan tersebut. Selain itu, penentuan harga ikan yang akan dijual oleh nelayan juga biasanya akan dilakukan secara sepihak oleh penjual ikan yang berarti dapat dikatakan fenomena ini merupakan tindakan eksploitasi nelayan dengan mendorong nelayan yang tidak berdaya lebih jauh ke dalam lingkaran kemiskinan.

c)Ketimpangan Akses Fasilitas Publik dan Kerusakan Lingkungan

Fenomena peminjaman dana antara penjual ikan dan nelayan merupakan bukti adanya keterbatasan pada akses fasilitas publik seperti lembaga keuangan seperti bank, terlebih pada wilayah kepulauan yang terpencil. Selain itu, akses kesehatan dan pendidikan yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan di Indonesia juga mengakibatkan kepada rendahnya kualitas hidup nelayan dan rumah tangganya. Kemampuan untuk berdagang serta hitung-hitung keuntungan masih belum dimiliki oleh beberapa nelayan. Padahal kemampuan dasar tersebut menjadi penting agar tidak terjebak dalam manipulasi serta interaksi yang merugikan. Minim akses kesehatan juga dapat membahayakan nelayan dengan situasi iklim yang tidak menentu, sumber air bersih yang terbatas, dan perumahan kumuh dapat berujung kepada berbagai macam jenis penyakit yang apabila tidak diatasi dapat menghambat produktivitas nelayan.

Akses kepada pasar juga menjadi terbatas di beberapa wilayah, sehingga nelayan-nelayan harus mengandalkan pemasaran ikan tangkapannya kepada pedagang ikan yang kental akan manipulasi. Selain dari permasalahan sistem peminjaman dana modal, para pedagang ikan sering kali berjualan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan nelayan yang harganya terlampau mahal. Nelayan tidak memiliki pilihan karena pasar-pasar yang lain berada jauh dari tempat tinggalnya, sehingga masih bergantung kepada interaksi yang merugikan tersebut. Sebagai sebuah upaya penyediaan solusi, pemerintah telah menyediakan TPI yang akan membantu nelayan memasarkan tangkapannya dengan harga lelang yang tentu lebih menguntungkan daripada bergantung kepada pedagang ikan perorangan. Akan tetapi, pengadaan TPI ini masih belum merata serta sistem lelang sering kali dilupakan dan meskipun tidak ada pelelangan, nelayan tetap ditagih biaya retribusi yang akhirnya kembali merugikan nelayan.

Selain dari ketimpangan akses fasilitas yang begitu merugikan para nelayan, kondisi lingkungan dan utamanya lautan yang kian parah setiap hari menjadi tantangan lain yang harus dihadapi oleh nelayan. Isu polusi sampah plastik, polusi minyak, polusi batu bara, berkurangnya terumbu karang, dan krisis iklim menjadi pukulan-pukulan lain yang mengancam kehidupan nelayan.

Analisis Implementasi Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia serta Rekomendasi Kebijakan

Hal yang terus menjadi permasalahan dalam isu kebijakan adalah ketidaktepatan kebijakan dengan kebutuhan para nelayan. Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan berbagai macam respon atas diluncurkannya program prioritas yang digadangkan berlandaskan kepada prinsip ekonomi biru. Program kebijakan yang mendapatkan serangan balik penolakan dari para nelayan merupakan kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap. Penolakan ini berangkat dari adanya rasa keberatan secara ekonomi apabila PNBP dinaikkan. Hal ini diperparah dengan situasi pandemi dan cuaca ekstrim yang menurunkan produktivitas serta pendapatan para nelayan. Kenaikan PNBP dinilai hanya akan menjerumuskan nelayan lebih jauh ke dalam pusaran kemiskinan karena semakin memperkecil pendapatan nelayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun