Nasi Madura Warung Kongde Bu May tak hanya membawa identitas asal daerah pemiliknya.Â
Warung hidden gem di Surabaya ini juga membawa identitas masyarakat kita yang terkenal ramah dan suka guyon.Â
Keramahan dan jiwa suka guyon Bu May, pemilik warung Kongde asal kabupaten Sampang, Madura inilah yang membuat warung ini engga hanya enak di rasa, tapi juga di hati #eaa. Interaksi yang terjalin antara penjual dan pembeli begitu dekat.Â
Mau curhat?, cari hiburan biar engga penat? atau sambat?. Bu May dan para rewangnya siap mengatasi.
Warung Kongde terletak di kawasan Surabaya Pusat, tepatnya di daerah Bubutan. Daerah ini, Â terkenal dengan kawasan pertokoan dan pergudangan yang padat.Â
Posisi warungnya agak ndlesep alias hidden gem. Karena letaknya di dalam gang perkampungan kecil tapi lebar, tempatnya engga sempit juga engga sumpek.Â
Warung itu secara tampilan, ya warung, wkwk. Ada spanduk yang mampu menghalau panas dan hujan, ada kursi panjang terbuat dari kayu, ada kerupuk dan camilan kering yang digantung. Dan terakhir, sajian lauk pauk yang tertata rapi dalam lemari kaca.
Menu favorit sekaligus jadi brand image warung ini adalah nasi Madura. Namun, warung ini juga masih menyediakan menu makanan lain khas warung seperti nasi sayur sop atau nasi sayur asem.Â
Nasi madura di warung ini unik, karena terbagi menjadi tiga jenis antara lain; nasi selulup, nasi darat dan nasi laut. Jenis-jenis nasi madura di warung ini, mengingatkan saya pada aturan sekolah Tomoe Gakuen dalam novel Totto-Chan.Â
Di mana di sekolah itu para murid diwajibkan membawa bekal makanan dari darat dan makanan dari laut. Tiga jenis nasi madura di warung ini, mirip arahan pak kepala sekolah Tomoe Gakuen, karena terdiri atas dua jenis lauk yakni lauk yang berasal dari daratan dan lauk yang berasal dari laut.
"Nasi selulup itu gabungan antara lauk darat dan laut. Kalau kebiasaan di darat, terus masuk laut kan harus selulup (Bahasa Jawa: menyelam) mbak" jelas Bu May semangat menjelaskan walau sesekali ada pembeli yang datang. Nasi selulup jadi menu yang paling banyak di pesan di warung ini.Â
Berisi lauk yang berasal dari darat dan laut yang diletakkan apik di atas nasi putih hangat. Lauk dari darat antara lain; mie kuning, paru, babat, dan empal daging. Sedangkan dari laut, ada cumi kuah hitam, tongkol balado dan udang goreng.Â
Ciri khas nasi madura adalah serundeng kelapanya yang gurih dengan tekstur yang kasar serta pedasnya sambel pencit. Di warung ini, serundeng kelapa diberi nama yang unik, yakni Jembut Belanda. Ketika ditanya dari mana inspirasinya kok bisa memberi nama seperti itu, Bu May menjawab "Orang engga tau serundeng kadang, yaudah biar cepet pahamnya ya saya jawab aja begitu. Engga tau inspirasinya dari mana, asal nyeletuk aja karena terbiasa guyon".
Engga hanya sambal pencit yang pedesnya sadis, ada satu sambal lagi yang jadi ciri khas warung ini. Nama sambalnya adalah, Sambal Jancok. Keduanya sama-sama bikin produksi keringat di tubuh jadi double gobyos. Ya gobyos karena hawa panasnya Surabaya, ya gobyos karena kepedesan.Â
Untuk sambal jancok sendiri, perlu menunggu beberapa menit hingga nantinya disajikan di meja makan. Karena sambal ini harus diolah dan diulek dulu di atas cobek hingga nantinya disajikan beserta cobeknya.Â
Sebagai pecinta makanan pedas yang sedang meminimalisir konsumsi menu makanan ayam-ayaman, nasi madura Bu May cocok jadi alternatif. Apalagi semua lauknya engga ada yang zonk, bumbunya kerasa, tekstur babat yang kenyal-kenyal gemoy, paru yang engga berbau amis alias anyir, serta empal daging yang empuk dan engga mudah nyelilit (masuk ke sela-sela gigi).Â
Kalau masih asing dengan bentuk dan rupa jeroan, boleh request engga pakai jeroan. Nantinya diganti dengan tambahan lauk yang diinginkan
Warung Suara Hati Rakyat
Warung sederhana tapi menunya bukan nasi padang ini berasaskan demokrasi. Dari pembeli, oleh pembeli dan untuk pembeli. Awal mula warung ini terkenal dengan nasi maduranya tak lepas dari peran pembeli.
Engga hanya kabinet yang di-reshuffle, menu makanan di warung ini juga sering di-reshuffle karena adanya beberapa saran dari pembeli yang datang, sebelum akhirnya paten dengan nasi maduranya.Â
"Dulu ya warung biasa, tapi kok ada aja yang minta dimasakin paru, cumi, babat, dan sebagainya. Daripada satu-satu gitu yaudah jadi satu aja jadi nasi madura" terang Bu May.
Engga hanya karyawan pertokoan dan pergudangan sekitar warung yang jadi pembelinya, warung ini semakin dikenal bahkan bagi para pelancong dari luar kota Surabaya.Â
Walaupun sudah terkenal dan selalu ramai, Bu May tidak ingin pindah ke lokasi dan ruang yang lebih ekslusif atau lebih besar. Baginya, interaksi dengan pelanggan, kebersihan warung dan alat makan, kualitas dan rasa makanan adalah yang utama.Â
"Jam makan siang itu selalu antre, saya dan beberapa rewang biar pembeli engga sumpek ya diajak guyon, menjalin interaksi biar muncul rasa saling pengertian. Kadang ya saya kasih minum dulu atau cemilan dulu".Â
Jujur saja, saya kaget dengan jawaban Bu May tersebut, karena engga banyak orang menyadari pentingnya interaksi sebagai cara menumbuhkan rasa saling pengertian. Apalagi selama ini ada stigma, semakin ramai semakin jual mahal.Â
Interaksi dalam warung sederhana itu bentuknya beragam. Ada yang berbentuk sambat dari karyawan yang sedang kesal dengan atasannya. Ada yang berbentuk curhat bahagia karena ditraktir rekan kerjanya, sampai ada yang minta tolong dicarikan jodoh oleh Bu May.Â
Namun, Bu May tetap menanggapi dan mendengarkan segala cerita dan celetukan dari beragam pembelinya dengan pembawaan yang santai dan guyon. Saya belum satu jam di warung outdoor tersebut, tapi sudah begitu banyak cerita dari beragam orang yang saya dengarkan. Saya juga ikut menanggapi beberapa cerita karena relate, wkwk.Â
Interaksi yang terbuka inilah yang membuka ruang bagi para pembeli untuk tidak sungkan. Jika ingin emboh alias nambah nasi atau sambal, monggo saja lur. Apalagi dengan lauk yang banyak dan beragam, ada beberapa orang yang ingin menghabiskannya tanpa sisa dengan kepuasan yang maksimal, wkwk.Â
Apapun yang diinginkan pembeli di warung ini, coba komunikasikan saja dengan Bu May atau rewangnya, jangan coba-coba untuk sungkan. Tips saya, bilang aja daripada menyesal kemudian!
Walaupun semakin populer dikunjungi oleh banyak orang dari beragam latar belakang. Warung Kongde, tetaplah warung Kongde. Kalaupun berubah, harapan Bu May berubah ke arah yang lebih baik. Bersama beberapa rewangnya, beliau berusaha untuk membahagiakan para pembelinya dengan pendekatan interaktif.Â
"Saya memang bagian kasir saja sekarang, tapi semua rewang saya sudah paham harus bagaimana jika melayani pembeli. Engga ada bedanya saya dan rewang saya. Karena kita semua sama-sama di sini" ucap Ibu yang juga suka njajan kuliner ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H