1. Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail a'mal, maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib dan lain-lain) dengan syarat dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadits tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadits tersebut.
Imam Ibnu Mandah juga berkata: imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad yang dhaif jika tidak ada dalil lain selain hadits tersebut, karena menurut Abu Dawud hadits dhaif lebih kuat dari pada (ra'yu)
2. Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud, nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadits tersebut bukan hadits maudhu' (palsu).
Ini adalah mazhab jumhur ulama dari muhadditsin, fuqaha dan ulama yang lain. Diantara ulama yang berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu alMubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-Nawawi menyatakan kesepakatan ulama hadits, ulama fuqoha dan ulama-ulama yang lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud, kisah-kisah dan hal hal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan hukum syariat dan akidah.
3. Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam hal fadhail a'mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam Abu Bakar Ibnu alArabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani.
Meski demikian, ulama sepakat boleh mengamalkan hadits dhaif untuk fadhailul A'mal.
Berikut hadist mengenai tidur dalam bulan puasa:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيحُ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفُ
"Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do'anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya."
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu'abul Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha'ifah (4696).