Mohon tunggu...
Anisa Hanifah
Anisa Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Inggris

Bukan penulis andal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme: Kesetaraan atau Tindakan Melampaui Batas?

12 November 2021   10:46 Diperbarui: 12 November 2021   10:46 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam Islam, istilah feminisme dikenal ketika aktivis Iran, Ziba Mir-Hosseini, menyiarkan istilah Feminisme Islam pada dekade 1990-an, perjuangannya berkisar pada hak perempuan supaya mampu bekerja dan bersekolah di perguruan tinggi. Lain halnya di Malaysia, sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Gerakan Musawah (baca: persamaan), mereka merundingkan persamaan dan keadilan di dalam keluarga muslim. Musawah kerap kali terlibat dalam program PBB untuk perempuan, UN Woman, dengan mengelaborasi kerangka kerja bernafas keagamaan untuk mengakhiri praktik diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama, seperti sunat perempuan.

Kemudian sebagaimana yang dicurahkan oleh Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPT NU), Dr. Phil. Syafiq Hasyim, MA., dalam wawancaranya terhadap CNN Indonesia, beliau menyampaikan bahwa sebagian cendekiawan Muslim dan ulama berpandangan bahwa feminisme tidak menjadi masalah bagi Islam. Pasalnya, prinsip yang diupayakan oleh feminisme mengantongi titik temu dengan teologi Islam. Terutama teologi yang ingin mewujudkan kehidupan yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan. Masalah terjadi bilamana feminisme berkehendak untuk melancarkan supremasi dan eksploitasi terhadap lawan jenis kelamin, yang dalam hal ini adalah kaum laki-laki.

Feminisme sering ditafsirkan aksi yang berlebihan, namun dapat kita jumpai bahwa Aisyah ra., istri Nabi Muhammad saw., adalah seorang feminis yang membela hak-hak perempuan di masanya. Dinukil dari Hidayatullah.com, Aisyah ra. sempat menyangkal atas signifikansi patriarkis para sahabat atas sabda Rasulullah saw., Aisyah pun dengan gamblang beserta argumentasinya membantah pendapat para sahabat. Salah satunya adalah sanggahan Aisyah atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Hadis tersebut berkenaan dengan Qath’u al-Shalat, atau hal-hal yang dapat merecoki kekhusyuan shalat. Salah satu dari tiga hal yang mengganggu shalat adalah perempuan, lebih spesifiknya perempuan yang haid. Namun riwayat sahabat ini ditepis keras oleh Aisyah yang juga diriwayatkan oleh kedua kitab Sahih, yaitu Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Dalam kritiknya tersebut, Aisyah menyanggah dengan keras dan menuding beberapa sahabat mensejajarkan perempuan seperti Aisyah dengan himar (keledai) dan kalb (anjing). Isi hadis tersebut secara ringkas artinya, “Kalian menyamakan kami dengan keledai dan anjing? Demi Allah aku telah melihat Rasulullah saw. melakukan shalat sedangkan aku berbaring di atas tempat tidur di depan Rasulullah saw. Sehingga ketika aku ada suatu keperluan dan aku tidak ingin duduk hingga menyebabkan Nabi saw. terganggu, maka aku pun pergi diam-diam dari dekat kedua kakinya.”

Dari ketegasan Aisyah ra. dalam membela harga diri perempuan, dapat ditandaskan bahwa beliau adalah seorang feminis yang bijak dan cerdas dalam menyikapi perilaku patriarkis. Alih-alih membantah tanpa argumentasi yang kuat, atau bahkan sekadar meneriaki dan mencaci maki kaum laki-laki, beliau mengangkat derajat perempuan berlandaskan hadis Nabi lainnya yang lebih shahih.

Diutarakan oleh tulisan yang dimuat di laman Republika, sadar atau tidak, tanggapan anti-diskriminasi dan pengangkatan harkat martabat perempuan sedianya telah hadir sejak Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyampaikan risalah wahyu. Buktinya, tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang bias gender. Dalam mempertimbangkan masalah gender, Islam memandang derajat laki-laki dan wanita berdasarkan tingkat ketakwaannya. Sebagai sandingan hidup, laki-laki diibaratkan pakaian bagi wanita, dan begitu pun sebaliknya. Di tepi lain, ketika merambah kehidupan berumah tangga, laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan tanggung jawab masing-masing yang tidak bisa dicampuradukkan satu sama lain.

Feminisme sesungguhnya bukan sebuah manuver yang mengeksploitasi kaum laki-laki. Menurut Dian Andriasari dalam jurnalnya yang berjudul Membaca Ulang Teks Al-Quran dalam Perspektif Feminisme serta Pengaruhnya terhadap Akses Keadilan Sosial di Indonesia, ia mengujarkan bahwa Feminisme mewujudkan harapan kepada kesetaraan dalam ranah sosial, politik, dan ekonomi antara kedua jenis kelamin, pria dan wanita. Feminisme juga diarahkan kepada sebuah gerakan yang dikendalikan berdasarkan keyakinan bahwa kedua jenis kelamin tersebut harus tidak merupakan faktor determinan yang mencorakkan identitas sosial atau hak-hak sosio-politik dan ekonomi seseorang.

Kontroversi feminisme

Para feminis dikenal selalu menuntut kepada dunia atas perilaku patriarkis, Mary A Kasian dalam bukunya yang berjudul Feminist Mistake menyatakan beberapa desakan para feminis tersebut,

Dunia di mana laki-laki dan perempuan berada dalam kedudukan yang setara (equal) sangat mudah untuk divisualisasikan, tepatnya seperti yang di janjikan revolusi Soviet. Perempuan ditinggikan dan dilatih selayaknya lakilaki agar dapat bekerja dalam kondisi yang sama dan mendapat upah yang sama. Kebebasan erotis harus diakui oleh adat, tapi tindakan seksual tidak boleh dianggap sebagai “pelayanan” yang harus dibayar; perempuan diwajibkan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kehidupannya. Pernikahan harus berdasarkan perjanjian bebas bahwa setiap pasangan dapat memutuskan untuk berpisah atas keinginan masing-masing; peran ke ibuan (maternity) harus berdasarkan kerelaan (voluntary) yang berarti bahwa alat kontrasepsi dan aborsi harus dile gal kan, di sisi lain, ibu dan anak-anak nya mendapatkan hak-hak yang sama apakah di dalam pernikahan ataupun yang di luar pernikahan. Cuti hamil harus dibayarkan oleh pemerintah dengan asumsi bahwa itu adalah bayaran atas anak-anak.”

Pemahaman akan kebebasan yang diusung feminis melalui kesetaraan gender, pelan namun pasti mulai menggerogoti nilai-nilai moral dan agama para perempuan Barat. Para Feminis juga telah menata ulang konsep seksualitas yang telah berabad-abad berlaku dalam masyarakat Barat ketika menghadirkan jenis kelamin baru, yaitu jenis kelamin sosial.

Feminisme berangsur-angsur menampakkan wajahnya sebagai kampanye radikal yang menggalakkan kebencian dan pemberontakan. Berdasarkan notulensi yang diperoleh dari situs The Guardian, rumah-rumah ibadah agama Katolik, Protestan, maupun Islam tidak terhindar dari tumpuan aksi Femen sebagai motif pemberontakan terhadap agama. Bagi para aktivis feminisme ini, agama adalah salah satu bentuk aktualisasi sistem patriarki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun