Mohon tunggu...
Anisa Hanifah
Anisa Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Inggris

Bukan penulis andal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme: Kesetaraan atau Tindakan Melampaui Batas?

12 November 2021   10:46 Diperbarui: 12 November 2021   10:46 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kita tahu bahwa seorang perempuan pada rentang waktu yang lama telah diidentikkan sebagai sosok insan yang lembut, penyayang, bahkan cenderung dianggap lemah. Terstigmakan oleh kisah Hawa, perempuan pertama di muka bumi, yang hadir di kehidupan Adam dari tulang rusuknya. Logikanya Hawa ada karena Adam memberikan kepingan dari dirinya, yang memberi Hawa kehidupan.

Perempuan acap kali dijadikan objek, seperti halnya Habil dan Qabil yang menjadikan Iqlima dan Labuda menjadi objek konflik mereka. Objek di sini memiliki interpretasi bahwa perempuan adalah haluan dan alasan mereka untuk bertengkar. Masa ke masa perempuan masih menjadi objek, dari objek seksual, tindakan patriarki, dan alasan mengapa lelaki lebih dominan mencari sambungan hidup. Oleh karena itu, sebagaimana yang diberitakan oleh History dan Kumparan, penulis abad ke-15 Christine de Pizan dalam bukunya yang berjudul The Book of the City of Ladies, memprotes misogini dan kedudukan wanita di Abad Pertengahan. Bertahun-tahun kemudian, sepanjang The Enlightenment (Masa Pencerahan), penulis dan filsuf perempuan seperti Margaret Cavendish, Duchess of Newcastle-upon-Tyne, dan Mary Wollstonecraft, penulis A Vindication of the Rights of Woman, berargumen dengan intens untuk kesejajaran yang lebih besar bagi perempuan. Kala itu, Wollstonecraft menyaksikan adanya keterlibatan politik yang timpang antara laki-laki dengan perempuan. Untuk itu, dia menilai, penggulingan despotisme otoriter seharusnya dapat menjadi momentum bagi perempuan untuk bergerak. “Telah tiba waktunya untuk mempengaruhi sebuah revolusi melalui cara perempuan. Telah tiba waktunya untuk mengembalikan kewibawaan perempuan yang telah lenyap,” tulis Wollstonecraft.

Feminisme di Indonesia

Tak mau tersisih dari Bangsa Barat, perempuan-perempuan di Indonesia pun sejak penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, mulai mengutarakan hak untuk diri mereka. Mereka adalah Cut Meutia, Roro Gusik, Martha Tiahahu, Emmy Saelan, Raden Ayu Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, dan Rasuna Said di Sumatera Barat berasa bahwa wanita-wanita Indonesia teraniaya dan terkucilkan dengan hal ihwal yang saat itu terjadi. Selain menyuarakan hak kesetaraan untuk memperoleh pendidikan yang pantas, para perempuan di atas kerap menjejaki peperangan bersama kaum lelaki. Mereka turut mengangkat senjata dan melawan para penjajah.

Setelah gunjingan yang membelit perempuan semakin marak dan menjalar, pada tahun 1920 hingga saat ini, organisasi-organisasi perempuan mulai mengemuka guna menyongsong aksi anti-poligami, mempersoalkan adat yang tidak ramah perempuan, menyuarakan peningkatan upah dan kondisi kerja yang sehat bagi kaum perempuan, menentang perkawinan anak-anak, serta perdagangan perempuan dan anak-anak.

Perubahan masa yang semakin pejal, persoalan diskriminasi berbasis gender adalah suatu perkara yang menjadi atensi para pegiat feminisme modern. Dikutip dari VOA Indonesia, Hadriani Ulitiur Ida Silalahi, Ketua Women20, menjelaskan kekerasan berbasis gender dan diskriminasi terhadap perempuan masih berlanjur sampai saat ini, di mana satu dari tiga perempuan di dunia melakoni kekerasan berbasis gender. Forum Ekonomi Dunia bahkan mencatat sekitar 33 ribu anak perempuan menikah dini setiap harinya. “Keadaan yang setara bagi perempuan dapat mempromosikan pemberdayaan perempuan. Perempuan yang berdaya dapat berkontribusi secara maksimal kepada masyarakat luas baik dengan pendidikannya dan kemampuannya,” tutur Hadriani.

Feminisme liberal dan feminisme radikal

Hadir dari berbagai kultur dunia, ideologi feminis menghasilkan banyak aliran. Salah dua dari puluhan aliran feminisme itu adalah feminisme liberal dan radikal. Berdasarkan catatan milik Jonesy dalam situs Magdalene, aliran feminis liberal lebih menumpu pada hak individu perempuan dalam ranah politik, ekonomi, dan lingkup sosial. Aliran feminisme liberal terbagi menjadi feminisme liberal klasik yang menitikberatkan pada independensi hak sipil individu seperti, hak pilih perempuan, hak memiliki tanah, dan kebebasan berekspresi. Kemudian aliran feminisme liberal egalitarian, aliran ini menekankan pada peluang yang setara dan adil untuk perempuan dalam mengakses sumber daya.

Berbanding terbalik dengan feminis liberal, aliran feminisme radikal berpusat pada hal-hal berfundamen atas disparitas yang diderita oleh perempuan. Seperti halnya feminisme liberal, aliran feminisme ini juga terurai menjadi dua sudut pandang, di antaranya aliran feminisme radikal libertarian yang beritikad bahwa personalitas gender feminin membelenggu perempuan untuk berkembang sebagai manusia seutuhnya, dan memandang rival utama perempuan adalah patriarki. Berbeda dengan feminisme radikal libertarian, feminisme radikal kultural membenarkan bahwa selain patriarki, laki-laki juga merupakan bagian dari munculnya opresi terhadap perempuan. Mereka menganggap bahwa laki-laki mengendalikan seksualitas perempuan untuk kepuasan si laki-laki.

Salah satu tokoh feminis radikal yang tersohor di Indonesia adalah Syarifah Sabaroedin. Syarifah adalah salah satu penggagas organisasi Kalyanamitra. Perkataan Ifa (sebutan dari feminis radikal tersebut) pada Debora Yatim, rekan sesama pendiri Kalyanamitra, sudah cukup mengindikasikan bahwa sosok Ifa ini adalah perempuan yang tidak ingin dikekang laki-laki, “Ketika lo mengikatkan diri ke pernikahan, lo lagi menggembok diri, memasung diri.” Kalyanamitra kerap mempermasalahkan kebijakan Soeharto tentang penekanan kuantitas pertumbuhan populasi melalui BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) dengan dua anak cukup. Perempuan diibaratkan barang, tidak pernah ditanya terlebih dahulu. Mereka menganggap kebijakan tersebut adalah pola pemaksaan. Melihat ibu itu sebagai mesin, demi mendepak laju pertumbuhan penduduk.

Feminisme dalam perspektif Islam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun