Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Karya: Dr. Mardani
Anisa Fitri Rohimah_HKI 4A_222121029
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Judul: Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Penulis: Dr. Mardani
Penerbit: Prenamedia Group
Tahun terbit: 2016
Cetakan ke 2 tahun 2017
Halaman: 310
Abstrak:Â
Buku berjudul" Hukum Keluarga Islam di Indonesia" yang ditulis Dr. Mardani menjelaskan secara rinci dan lengkap dimulai dari pengertian, urgensi, manfaat mempelajari hukum keluarga. Ruang lingkup keluarga meliputi Perkawinan (munakahat) dan hal-hal yang bertalian dengannya (wal washiyah), Perwalian dan wasiat (al-walayat), dan Kewarisan (al-mawarits). Dipaparkan mengenai Dasar-dasar Hukum Perkawinan, Larangan Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Poligami, Pencegahan Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Istri, Pemeliharaan Anak, Putusnya Hubungan Perkawinan, Rujuk. Terdapat 19 bab yang menjelaskan secara rinci yang termasuk dalam Hukum Keluarga Islam. Buku ini bukan hanya bersumber dari kitab-kitab Fikih dan Al-Qur'an, melainkan juga dari hukum positif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991. Buku ini juga dilengkapi Kompilasi Hukum Islam dan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan hukum keluarga yang terangkum dalam buku ini.
Kata Kunci : perkawinan; keluarga; hukum; indonesia
Pendahuluan
Hukum secara definitive yaitu ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf. Pengertian keluarga secara operasional yaitu suatu struktur yang bersifat khusus, satu sama lain dalam keluarga itu mempunyai Ikatan apakah lewat hubungan darah atau pernikahan. Perikatan itu membawa pengaruh adanya rasa "saling berharap" (mutual expectation) yang sesuai dengan ajaran agama, dikukuhkan dengan kekuatan hukum serta secara individa saling mempunyai ikatan batin. Untuk sekadar perbandingan perlu dituliskan bahwa pengertian keluarga pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Keluarga kecil, Keluarga besar ada juga yang menyebutnya royal family. Adapun anggota keluarga kecil terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga kecil disebut juga keluarga inti. Sementara anggota keluarga besar adalah seluruh anggota keluarga yang bertambah sebagai akibat dari hubungan perkawinan. Maka masuk anggota keluarga besar adalah bapak dan ibu bapak dan ibu mertua. Dari pengertian kata per kata di atas, maka secara ringkas dapat disimpulkan, bahwa hukum keluarga adalah ketentuan Allah SWT yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah tentang ikatan kekeluargaan baik yang terjadi karena hubungan darah maupun karena hubungan pernikahan yang harus ditaati oleh setiap orang mukalaf. hukum keluarga adalah hukum yang mengatur tentang: Pembentukan suatu keluarga melalui sebuah akad pernikahan yang bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia lahir dan batin (sakinah, mawaddah wa rahmah), Hak dan kewajiban antara suami terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya, Hak dan kewajiban antara orangtua terhadap anaknya dan anak terhadap orangtuanya, Putusnya hubungan perkawinan, Nasab (keturunan), Kewarisan. Dalam buku karya Dr. Mardani akan dijelaskan secara rinci dimulai dari bagaimana suatu perkawinan itu diatur yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ruang lingkup perkawinan meliputi
- Peminangan(khitbah), menurut KHI khitbah adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita. Hikmah disyariatkannya peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak saling mengenal.
- Rukun dan syarat perkawinanÂ
- Rukun perkawinan :Calon mempelai laki-laki, calon mempelai wanita, wali dari mempelai wanita yang akan mengakadkan perkawinan, dua orang saksi, Ijab yang dilakukan oleh wali dan kabul yang dilakukan oleh suami. Syarat perkawinan: Syarat mempelai laki-laki: Bukan mahram dari calon istri, tidak terpaksa/atas kemauan sendiri, jelas orangnya, tidak sedang menjalankan ihram/haji. Syarat mempelai wanita: Tidak ada halangan hukum( tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah), merdeka atas kemauan sendiri Syarat wali: Laki-laki, baligh, berakal, tidak dipaksa, adil, tidak sedang ihram haji
- Mahar (maskawin) pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah, atau pada waktu berlangsungnya akad nikah sebagai pemberian wajib. Atau sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri dalam rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon istri untuk menjadi istrinya.
- Larangan perkawinan, Larangan dalam perkawinan dalam bahasa agama disebut dengan mahram. Larangan perkawinan ada dua jenis, pertama, larangan abadi (muabbad), dan kedua larangan pada waktu tertentu (muaqqat).
- Perjanjian perkawinan adalah akad yang dibuat oleh pasangan calon pengantin sebelum perkawinan dilangsungkan, yang isinya mengikat hubungan perkawinan keduanya (pasangan pengantin).
- Poligami, Poligami dalam istilah fikih disebut dengan ta'addud al-zawaj (seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu orang).
- Pencegahan perkawinan, pencegahan perkawinan adalah upaya menghalangi berlangsungnya perkawinan yang akan dilaksanakan, hal ini disebabkan oleh adanya larangan perkawinan dalam perundang- undangan maupun dalam hukum Islam. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
- Pembatalan perkawinan, Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah apabila tidak memenuhi rukunya. Hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 22 menegaskan, "Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan."
- Hak dan Kewajiban Suami dan Istri, Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami mempunyai hak begitu pula istri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula istri mempunyai beberapa kewajiban.
- Harta kekayaan dalam perkawinan, harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
- Pemeliharaan anak (hadanah) secara terminologis hadanah, yaitu merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayiz, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.
- Perwalian, Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, yang disebut wali adalah orang yang diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak yang tidak memiliki kedua orang tua. Atau karena kedua orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
- Putusnya hubungan perkawinan, talak yaitu melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.
- Rujuk, Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj'i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
- Waktu Tunggu (massa iddah), masa menunggu bagi wanita dengan jangka waktu tertentu menurut ketentuan syariat dan menahan diri untuk tidak kawin setelah bercerai dengan suaminya.
Dalam buku ini menjelaskan Hukum keluarga mempunyai urgensi yang sangat penting, karena sesuai dengan fitrahnya, manusia tidak dapat hidup menyendiri dalam art ia memiliki sifat ketergantungan dan saling membutuhkan, demikian halnya antara pria dan wanita. Agar hubungan antara pria dan wanita dapat hidup rukun, maka islam mengatut melalui ketentuan-ketentuan hukum tata cara hidup berkeluarga atau rumah tangga, melalui pernikahan yang sah. Ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang hukum keluarga yaitu dalam ayat-ayat hukum tentang perkawinan yaitu dalam surah :
- QS. al-Mujaadilah (58): 1-4.
- QS. al-Baqarah (2): 143, 187, 213, 221, 226, 227, 228, 229, 230,235
- QS. an-Nisaa (4): 1, 3, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 34 dan 35.
- QS. ar-Ruum (30): 21
Buku ini juga dilengkapi perkembangan peraturan perundang-undangan tentang hukum keluarga islam di Indonesia yaitu:
- UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.
- UU No. 32 Tahun 1954. Undang-undang ini memberlakukan UU No. 22 Tahun 1946 di seluruh wilayah Indonesia.
- UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun 1975, diganti dengan PMA No. 2 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pencatatan Perkawinan dan Perceraian.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 tentang Izin dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
- UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan PP No. 10 Tahun 1983.
- Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Penyebar- luasan Kompilasi Hukum Islam.
- UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
- UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada bagian bab Tinjauan umum tentang Hukum Keluarga Islam dipaparkan  Pengertian Hukum Keluarga, urgensi hukum keluarga., ruang lingkup hukum keluarga islam, sifat dan hakikat hukum keluarga islam, hukum keluarga islam merupakan kompetensi absolut peradilan agama, manfaat mempelajari hukum keluarga islam, hukum mempelajari hukum keluarga islam, perkembangan regulasi hukum keluarga islam di Indonesia. Sifat dan hakikat hukum keluarga yaitu: Sifat Bidimensional, dikatakan bidimensional, karena hukum Islam mencakup dua hubungan dalam makna vertikal (ibadah) dan horizontal (kemasyarakatan atau muamalah), Sifat Adil, Sifat adil yang berkaitan erat dengan prinsip keadilan dalam hu- kum keluarga Islam misalnya tercermin dalam persamaan kedudukan pria dan Wanita. Sifat individualistic, Sifat individualistik dan kemasyarakatan dilihat dari sudut hukum keluarga memberikan posisi kepada manusia baik perorangan (individu) maupun sebagai kelompok keluarga yang membentuk suatu masyarakat.
Bagian bab Dasar-dasar Hukum Perkawinan, dituliskan asas-asas perkawinan yang  Terdapat dalam UU N0. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang Bahagia dan kekal, suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya, suatu perkawinan harus dicatat, asas monogami, cukup umur, mempersulit terjadinya pereraian, kewajiban suami istri adalah seimbang. Dijelaskan juga mengebai hikmah melakukan perkawinan yaitu:
- Menghindari terjadinya perzinaan.
- Menikah dapat merendahkan pandangan mata dari melihat perempuan yang diharamkan.
- Menghindari terjadinya penyakit kelamin yang diakibatkan oleh perzinaan seperti AIDS.
- Lebih menumbuh kembangkan kemantapan jiwa dan kedewasaan serta tanggung jawab kepada keluarga.
- Nikah merupakan setengah dari agama.
- Menikah dapat menumbuhkan kesungguhan, keberanian, dan rasa tanggung jawab kepada keluaraga, masyarakat dan Negara.
- Perkawinan dapat memperhubungkan silaturahmi, persaudaraan, dan kegembiraan dalam  menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupan masyarakat dan sosial.
Bagian bab Peminangan(khitbah), khitbah mempunyai kriteria sebagai berikut:
- Khitbah dimulai dengan suatu permintaan (penyampaian kehendak).
- Khitbah bisa dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang pe- rempuan secara langsung atau diwakilkan.
- Khitbah bisa juga dilakukan oleh pihak wanita kepada seorang laki-laki melalui seorang perantara.
- Khitbah dilakukan dengan cara yang baik
Bagian bab Pencatatan Perkawinan dituliskan dampak negative dari perkawinan yang tidak tercatat yaitu Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum apa pun dalam melindungi hak dan pemenuhan kewajiban masing-masing pihak, baik suami maupun istri. Jika di kemudian hari terjadi pelanggaran yang dilakukan oleli salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut hak apa pun secara hukum. Pelaku yang mangkir dari kewajibannya, secara hukum tidak berkewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan terhadap pasangannya. Sebab ikatan yang dibangun dalam perkawinan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia dan perkawinan tersebut dianggap ilegal di mata hukum. Dengan demikian. perkawinan yang dilangsungkan tanpa didaftarkan dan dicatatkan oleh Pejabat Pencatat Nikah, maka perkawinan tersebut berpotensi menimbulkan kemudaratan dan pengingkaran kewajiban dalam ikatan perkawinan.
Bagian bab Larangan Perkawinan. Larangan muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya, yaitu: Ibu, Anak, Saudara, Saudara ayah, Saudara ibu, Â Anak dari saudara laki-laki, Anak dari saudara perempuan. Larangan muaqqat (ghairu muabbad), yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin sementara ini berlaku dalam hal-hal berikut: Mengawini dua saudara dalam satu masa, Poligami di luar batas, Larangan karena ikatan perkawinan, Larangan karena talak tiga, Larangan karena ihram, Larangan karena perzinaan, Larangan karena beda agama.
Jenis- jenis perkawinan yang dilarang:
- Nikah Mut'ah, Secara etimologis mutah berarti bersenang-senang atau menik- mati. Nikah mut'ah kadang-kadang disebut nikah muaqqat (nikah yang dibatasi oleh waktu/kawin temporer/kawin kontrak), kadang- kadang disebut juga nikah al-munqati (nikah yang terputus). Disebut nikah al-munqati', karena nikah seorang laki-laki menikahi seorang Wanita untuk masa satu hari, satu minggu atau satu bulan.
- Nikah Muhalil (Tahlil) Secara etimologis, tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya adalah haram. Kalau dikaitkan dengan perkawinan akan berarti perbuatan yang menyebabkan seseorang yang semula melangsungkan perkawinan menjadi boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain melakukan perkawinan itu disebut muhalil, sedangkan orang yang telah halal melakukan perkawinan disebabkan oleh perkawinan yang dilakukan muhalil dinamai muhallal lah. Nikah tahlil dengan demikian adalah perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada isterinya dengan nikah baru.
- Nikah Syighar Secara etimologis, kata syighar mempunyai arti mengangkat kaki dalam konotasi yang tidak baik, seperti anjing mengangkat kakinya ketika kencing. Bila dihubungkan dengan kata "nikah dan disebut nikah syighar mengandung arti yang tidak baik, sebagaimana tidak baiknya pandangan terhadap anjing yang mengangkat kakinya waktu kencing itu. Secara terminologis, nikah sylghar yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan ketentuan laki-laki lain itu mengawinkan pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada di antara keduanya mahar.
Bagian bab Kawin Hamil, dijelaskan pengertian kawin hamil (at-tazawuz bi al-hamil) yaitu perkawinan seorang pria dengan seorang yang sedang hamil; yaitu dihamili dahulu baru dikawini, atau dihamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya. Faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak di luar kawin, antara lain:
- Karena usia pelaku masih di bawah batas usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan
- Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan.
- Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan.
- Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan).
- Karena tidak mendapat restu orang tua.
- Karena laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat izin untuk melakukan poligami.
- Karena pergaulan seks bebas (free sex)
- Karena prostitusi
Bagian bab Poligami, poligami diatur dalam KHI yaitu maksimal empat istri, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, suami yang kehendak beristri lebih dari satu orang harus mndapat izin dari pengadilan agama, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,c. Istri tidak bisa melahirkan keturunan, Untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: a. adanya persetujuan istri, b. adanya kepastian bahwa suami mampu meniamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama, Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim, Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang tersebut di atas, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Bagian bab Pencegahan Perkawinan dituliskan kapan perkawinan dapat dicegah. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur tentang kapan perkawinan dapat dicegah, yaitu perkawinan dapat dicegah. apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud di atas mengacu kepada dua hal syarat; syarat administratif dan syarat materil. Syarat administratif berhubungan dengan administrasi perkawinan. Adapun syarat materil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan. Adapun menurut KHI, pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya menarik untuk dicermati adalah dalam KHI memandang perlu untuk menjelaskan sekufu yang tidak dapat dijadikan alasan pencegahan seperti yang terdapat dalam Pasal 61.
Bagian bab Harta Kekayaan dalam Perkawinan, Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. Dalam kitab-kitab fikih tidak dikenal adanya pembauran harta suami istri setelah berlangsungnya perkawinan. Suami memiliki hartanya sendiri dan istri memiliki hartanya sendiri. Sebagai kewajibannya, suami memberika sebagian hartanya itu kepada isterinya atas nama nafaqah, yang untuk selanjutnya digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan harta, kecuali dalam bentuk syrkah, yang untuk itu dilakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.
Bagian bab Pemeliharaan Anak, secara etimologis hadanah berarti di samping atau berada di bawah ketiak. Adapun secara terminologis hadanah, yaitu merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri. Menurut Ash-Shan'ani hadanah adalah memelihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madlarat kepadanya. Menurut Amir Syarifuddin hadanah atau disebut juga kaffalah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.
Bagian bab Putusnya Hubungan Perkawinan dijelaskan mengenai talak, Secara etimologis, talak mempunyai arti membuka ikatan, melepaskannya, dan menceraikan. Secara terminologis, menurut Abdul Rahman al-Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata kata yang telah ditentukan. Menurut Sayid Sabiq, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talak adalah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa mendatang oleh pihak suami dengan menggunakan kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut. Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukan talak. Menurut pendapat yang paling shahih (mazhab Hanafi dan Hambali), bahwa talak itu hukumnya dilarang (makruh), kecuali darurat. Menurut mazhab Hambali, bahwa hukum talak itu bisa menjadi wajib, haram, mubah, dan sunah. Talak hukumnya wajib, jika terjadi peselisihan yang terus-menerus antara suami istri dan tidak bisa didamaikan. Talak hukumnya menjadi haram, yaitu talak yang tidak mempunyai alasan, talak seperti itu tidak ada kemaslahatannya baik bagi dirinya, isterinya maupun anaknya. Nabi SAW bersabda: "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dalam hadits lain: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak". Talak hukumnya mubah, jika adanya kebutuhan, misalnya isterinya berakhlak (karaktar) buruk yang tidak bisa disembuhkan, tidak menjalankan ajaran agama, misalnya tidak menjalankan shalat padahal sudah dinasehati.
Bagian bab Rujuk, rujuk diatur dalam Pasal 163 s/d 166 KHI, Pasal 163 (1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal
- Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kal. atau ta'ak yang dijatuhkan qobla al dukhul.
- Putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk
Pasal 164" Seorang wanita dalam iddah talak raji berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suamnya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi"
Pasal 165" Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama"
Pasal 166" Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat di pergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instans yang mengeluarkannya semula"
Kesimpulan
Buku yang berjudul Hukum Keluarga Islam di Indonesia yang ditulis oleh Dr. Mardani ini diterbitkan tahun 2016 oleh Prenadamedia Group dengan jumlah 310 halaman ini tidak hanya membahas tentang hukum keluarga secara islam, melainkan juga merujuk pada Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Buku ini mencantumkan penjelasan pasal-pasal secara lengkap. Jadi bukan hanya mengetahui dari kitab, hadits, maupun Al-Qur'an tetapi juga dapat mempelajari tentang pasal-pasal undang-undang yang terkait materi. Dapat disimpulkan bahwa mempelajari hukum keluarga islam itu penting. Tanpa mengetahui hukum keluarga Islam secara benar dan baik, hampir mustahil sebuah keluarga terutama keluarga Muslim akan mampu mewujudkan impian atau tepatnya idaman yang di- dambakannya, yakni keluarga sakinah (sejahtera) yang dibangun atas dasar hubungan mawaddah dan rahmah." Tentu saja yang dimaksud dengan pengetahuan di sini bukan sekadar mengetahui hukum yang berkenaan dengan konsep sebuah keluarga Muslim yang ideal, akan tetapi lebih penting dari itu keluarga yang bersangkutan benar-benar menaati hukum keluarga Islam itu sendiri dalam praktik. Satu hal yang mutlak penting diingatkan di sini ialah bila keluarga Muslim dengan para anggotanya benar-benar mengetahui dan sekaligus mengamalkan hukum keluarga Islam secara benar dan baik, niscaya keluarga yang bersangkutan akan menjadi keluarga yang benar- benar sakinah. Hanya keluarga-keluarga sakinah inilah sesungguhnya yang akan dapat membangun sebuah bangunan masyarakat, bangsa, dan negara yang tangguh dan kuat. Keluarga sakinah itu tentu akan dapat dibangun dengan baik manakala setiap anggota keluarga benar- benar mengetahui dengan baik keberadaan hukum keluarga dalam hal ini hukum keluarga Islam bagi keluarga Muslim.
Keunggulan dari buku ini yaitu penjelasannya tidak rumit, simple, sehingga mudah untuk dibaca dan dipahami. Lampiran pasal-pasal Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam menambah wawasan dan pengetahuan. Dengan mempelajari buku ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam setiap keluarga harus mengetahui dan mengamalkan hukum keluarga islam secara baik dan benar, sehingga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Dan juga dalam agama islam telah diatur bagaimana cara hukum berkeluarga atau membentuk rumah tangga yang baik. Kita sebagai umat muslim perlu mempelajari dan menerapkan dalam kehidupan masing-masing. Buku ini sudah memberikan penjelasan yang lengkap beserta sumber-sumber yang jelas. Kelemahan dari buku ini yaitu dari desain cover kurang menarik, dan dalam pembahasan ayat -ayat al-qur'an tidak dicantumkan arabnya namun hanya menuliskan nama surah dan menyebutkan ayat saja.
Daftar Pustaka
Dr. Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H