Mohon tunggu...
Anisa Fitri
Anisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Book

Book Review "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" karya Dr. Mardani

12 Maret 2024   08:51 Diperbarui: 12 Maret 2024   16:04 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Dalam buku ini menjelaskan Hukum keluarga mempunyai urgensi yang sangat penting, karena sesuai dengan fitrahnya, manusia tidak dapat hidup menyendiri dalam art ia memiliki sifat ketergantungan dan saling membutuhkan, demikian halnya antara pria dan wanita. Agar hubungan antara pria dan wanita dapat hidup rukun, maka islam mengatut melalui ketentuan-ketentuan hukum tata cara hidup berkeluarga atau rumah tangga, melalui pernikahan yang sah. Ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang hukum keluarga yaitu dalam ayat-ayat hukum tentang perkawinan yaitu dalam surah :

  • QS. al-Mujaadilah (58): 1-4.
  • QS. al-Baqarah (2): 143, 187, 213, 221, 226, 227, 228, 229, 230,235
  • QS. an-Nisaa (4): 1, 3, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 34 dan 35.
  • QS. ar-Ruum (30): 21

Buku ini juga dilengkapi perkembangan peraturan perundang-undangan tentang hukum keluarga islam di Indonesia yaitu:

  • UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.
  • UU No. 32 Tahun 1954. Undang-undang ini memberlakukan UU No. 22 Tahun 1946 di seluruh wilayah Indonesia.
  • UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  • Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  • Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun 1975, diganti dengan PMA No. 2 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pencatatan Perkawinan dan Perceraian.
  • Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 tentang Izin dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
  • UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
  • Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan PP No. 10 Tahun 1983.
  • Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Penyebar- luasan Kompilasi Hukum Islam.
  • UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
  • UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pada bagian bab Tinjauan umum tentang Hukum Keluarga Islam dipaparkan  Pengertian Hukum Keluarga, urgensi hukum keluarga., ruang lingkup hukum keluarga islam, sifat dan hakikat hukum keluarga islam, hukum keluarga islam merupakan kompetensi absolut peradilan agama, manfaat mempelajari hukum keluarga islam, hukum mempelajari hukum keluarga islam, perkembangan regulasi hukum keluarga islam di Indonesia. Sifat dan hakikat hukum keluarga yaitu: Sifat Bidimensional, dikatakan bidimensional, karena hukum Islam mencakup dua hubungan dalam makna vertikal (ibadah) dan horizontal (kemasyarakatan atau muamalah), Sifat Adil, Sifat adil yang berkaitan erat dengan prinsip keadilan dalam hu- kum keluarga Islam misalnya tercermin dalam persamaan kedudukan pria dan Wanita. Sifat individualistic, Sifat individualistik dan kemasyarakatan dilihat dari sudut hukum keluarga memberikan posisi kepada manusia baik perorangan (individu) maupun sebagai kelompok keluarga yang membentuk suatu masyarakat.

Bagian bab Dasar-dasar Hukum Perkawinan, dituliskan asas-asas perkawinan yang  Terdapat dalam UU N0. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang Bahagia dan kekal, suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya, suatu perkawinan harus dicatat, asas monogami, cukup umur, mempersulit terjadinya pereraian, kewajiban suami istri adalah seimbang. Dijelaskan juga mengebai hikmah melakukan perkawinan yaitu:

  • Menghindari terjadinya perzinaan.
  • Menikah dapat merendahkan pandangan mata dari melihat perempuan yang diharamkan.
  • Menghindari terjadinya penyakit kelamin yang diakibatkan oleh perzinaan seperti AIDS.
  • Lebih menumbuh kembangkan kemantapan jiwa dan kedewasaan serta tanggung jawab kepada keluarga.
  • Nikah merupakan setengah dari agama.
  • Menikah dapat menumbuhkan kesungguhan, keberanian, dan rasa tanggung jawab kepada keluaraga, masyarakat dan Negara.
  • Perkawinan dapat memperhubungkan silaturahmi, persaudaraan, dan kegembiraan dalam   menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupan masyarakat dan sosial.

Bagian bab Peminangan(khitbah), khitbah mempunyai kriteria sebagai berikut:

  • Khitbah dimulai dengan suatu permintaan (penyampaian kehendak).
  • Khitbah bisa dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang pe- rempuan secara langsung atau diwakilkan.
  • Khitbah bisa juga dilakukan oleh pihak wanita kepada seorang laki-laki melalui seorang perantara.
  • Khitbah dilakukan dengan cara yang baik

Bagian bab Pencatatan Perkawinan dituliskan dampak negative dari perkawinan yang tidak tercatat yaitu Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum apa pun dalam melindungi hak dan pemenuhan kewajiban masing-masing pihak, baik suami maupun istri. Jika di kemudian hari terjadi pelanggaran yang dilakukan oleli salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut hak apa pun secara hukum. Pelaku yang mangkir dari kewajibannya, secara hukum tidak berkewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan terhadap pasangannya. Sebab ikatan yang dibangun dalam perkawinan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia dan perkawinan tersebut dianggap ilegal di mata hukum. Dengan demikian. perkawinan yang dilangsungkan tanpa didaftarkan dan dicatatkan oleh Pejabat Pencatat Nikah, maka perkawinan tersebut berpotensi menimbulkan kemudaratan dan pengingkaran kewajiban dalam ikatan perkawinan.

Bagian bab Larangan Perkawinan. Larangan muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya, yaitu: Ibu, Anak, Saudara, Saudara ayah, Saudara ibu,  Anak dari saudara laki-laki, Anak dari saudara perempuan. Larangan muaqqat (ghairu muabbad), yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin sementara ini berlaku dalam hal-hal berikut: Mengawini dua saudara dalam satu masa, Poligami di luar batas, Larangan karena ikatan perkawinan, Larangan karena talak tiga, Larangan karena ihram, Larangan karena perzinaan, Larangan karena beda agama.

Jenis- jenis perkawinan yang dilarang:

  • Nikah Mut'ah, Secara etimologis mutah berarti bersenang-senang atau menik- mati. Nikah mut'ah kadang-kadang disebut nikah muaqqat (nikah yang dibatasi oleh waktu/kawin temporer/kawin kontrak), kadang- kadang disebut juga nikah al-munqati (nikah yang terputus). Disebut nikah al-munqati', karena nikah seorang laki-laki menikahi seorang Wanita untuk masa satu hari, satu minggu atau satu bulan.
  • Nikah Muhalil (Tahlil) Secara etimologis, tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya adalah haram. Kalau dikaitkan dengan perkawinan akan berarti perbuatan yang menyebabkan seseorang yang semula melangsungkan perkawinan menjadi boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain melakukan perkawinan itu disebut muhalil, sedangkan orang yang telah halal melakukan perkawinan disebabkan oleh perkawinan yang dilakukan muhalil dinamai muhallal lah. Nikah tahlil dengan demikian adalah perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada isterinya dengan nikah baru.
  • Nikah Syighar Secara etimologis, kata syighar mempunyai arti mengangkat kaki dalam konotasi yang tidak baik, seperti anjing mengangkat kakinya ketika kencing. Bila dihubungkan dengan kata "nikah dan disebut nikah syighar mengandung arti yang tidak baik, sebagaimana tidak baiknya pandangan terhadap anjing yang mengangkat kakinya waktu kencing itu. Secara terminologis, nikah sylghar yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan ketentuan laki-laki lain itu mengawinkan pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada di antara keduanya mahar.

Bagian bab Kawin Hamil, dijelaskan pengertian kawin hamil (at-tazawuz bi al-hamil) yaitu perkawinan seorang pria dengan seorang yang sedang hamil; yaitu dihamili dahulu baru dikawini, atau dihamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya. Faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak di luar kawin, antara lain:

  • Karena usia pelaku masih di bawah batas usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan
  • Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan.
  • Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan.
  • Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan).
  • Karena tidak mendapat restu orang tua.
  • Karena laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat izin untuk melakukan poligami.
  • Karena pergaulan seks bebas (free sex)
  • Karena prostitusi

Bagian bab Poligami, poligami diatur dalam KHI yaitu maksimal empat istri, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, suami yang kehendak beristri lebih dari satu orang harus mndapat izin dari pengadilan agama, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,c. Istri tidak bisa melahirkan keturunan, Untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: a. adanya persetujuan istri, b. adanya kepastian bahwa suami mampu meniamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama, Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim, Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang tersebut di atas, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Bagian bab Pencegahan Perkawinan dituliskan kapan perkawinan dapat dicegah. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur tentang kapan perkawinan dapat dicegah, yaitu perkawinan dapat dicegah. apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud di atas mengacu kepada dua hal syarat; syarat administratif dan syarat materil. Syarat administratif berhubungan dengan administrasi perkawinan. Adapun syarat materil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan. Adapun menurut KHI, pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya menarik untuk dicermati adalah dalam KHI memandang perlu untuk menjelaskan sekufu yang tidak dapat dijadikan alasan pencegahan seperti yang terdapat dalam Pasal 61.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun