Mohon tunggu...
Anisa Dwi Ustadiyah
Anisa Dwi Ustadiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang anak dari salah satu desa diujung timur kota wonogiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan" karya Prof.Dr.Amir Syarifuddin

8 Maret 2023   14:32 Diperbarui: 21 Maret 2023   11:40 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Perpustakaan Nasional

Sebab yang lain adalah ila' yaitu summpah yang diucapkan oleh suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu lebih dari 4 bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya. Sebagian ulama memberikan pendapat bahwa dalam jangka waktu 4 bulan itu suami tidak kembali campur maka akan otomatis jatuh kepada istrinya talaq bain. Hikmah adanya li'an adalah agar suami tidak menyalahgunakan kekuasaan di depan istrinya dengan tidak melaksanakan perintah agama untuk menggauli istri dengan baik.

Selanjutnya adalah li'an dalam bahasa arab artinya adalah saling melaknat. Dapat juga diartikan sebagai sumpah suami yang telah melakukan tuduhan kepada istrinya bahwa istrinya telah berzina akan tetapi tentang tuduhannya itu ia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi. Dengan adanya atau diucapkannya li'an ini dapat memberi beberapa akibat hukum, diantaranya adalah pertama suami yang mengucapkan li'an terbebas dari ancaman qadzaf dalam arti bahwa tuduhan yang telah diucapkan itu adalah benar. Kedua, perzinaan yang dituduhkan suami berarti benar terjadi. Ketiga hubungan nasab antara suami yang meli'an dengan anak yang dikandung istri yang di li'an menjadi terputus untuk selanjutnya nasab anaknya diberikan kepada ibunya. Keempat istri yang dili'an terbebas dari ancaman had zina, artinya secara hukum dia tidak benar melakukan zina. Dan yang terakhir adalah perkawinan antara suami dan istri yang meli'an dan dili'an menjadi putus selamanya. Mengenai li'an ini tidak diatur dalam UU Perkawinan, akan tetapi disebutkan dalam UU PA dalam pasal 87 sampai pasal 88. Sedangkan dalam KHI li'an diatur dalam pasal 125 sampai pasal 128.

Beranjak dari sebab sebab puutusnya perkawinan, selanjutnya mengenai akibat dari putusnya perkawinan. Tentu dengan pustusnya perkawinan akan membawa beberapa dampak bukan hanya pada dua pihak suami istri yang telah putus hubungannya akan tetapi juga pada anak. Mengenai hal ini akibat dari putusnya perkawinan ada beberapa, diantaranya adalah timbulnya masa iddah. Yang dimaksud dengan iddah adalah masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya agar bisa kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya dan untuk melaksanakan perintah Allah. Pada dasarnya hukum menjalani masa iddah adalah wajib sebagaimana telah diperintahkan Allah dalam Al Qu'an Surat Al Baqarah ayat 228. Tujuan dari adanya masa iddah adalah untuk memastikan bersihnya rahim seorang perempuan dari bibit mantan suaminya dan untuk memenuhi kehendak dari Allah (ta'abud).

Berkaitan dengan bentuk bentuk iddah ada beberapa yaitu kematian suami, belum dicampuri, sudah dicampuri tapi dalam keadaan hamil, sudah dicampuri tapi tidak dalam keadaan hamil dan telah berhenti haidnya, sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid. Istri yang bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak dari mantan suami selama masih dalam masa iddah akan tetapi hak itu tidak sempurna sebgaimana dalam masa perkawinan. Hak yang diterima istri tergantung bentuk perceraiannya. Istri yang dicerai dengan talaq raj'iy mendapatkan hak penuh sebagaimana sebelum dicerai baik dalam bentuk tempat tinggal, pangan dan pakaian. Istri yang dicerai dengan talaq bain baik sughra ataupun kubra berhak atas nafkah tempat tinggal. Dan istri yang ditinggal meninggal suaminya jika dalam keadaan hamil maka berhak atas tempat tinggal dan nafkah, tapi jika tidak dalam keadaan hamil maka berhak atas tempat tinggal.

Berkaitan dengan iddah UU perkawinan mengaturnya dengan menggunakan istilah "masa tunggu" yang mana diatur dalam pasal 11. Ada pula PP yang menjelaskan tentang waktu tunggu yaitu PP No. 9 Tahun 1975 yang diatur dalam pasal 39. Dalam KHI diatur juga mengenai masa iddah atau masa tunggu termuat dalam pasal 153 sampai 155. Tentang masa berkabung pada pasal 170, tentang hak dan kewajiban masa iddah dalam pasal 150 sampai pasal 152.

Akibat putusnya perkawinan yang kedua adalah hadhanah  atau hak asuh anak. Maksudnya adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan diantara kedua orangtuanya. Pada dasarnya hukum dari hadhanah adalah wajib sebagaimana wajib memelihara anak dalam pasa perkawinan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al Baqarah ayat 233. Rukun hadhanah adalah bagi pengasuh (ayah / ibu) haruslah sudah dewasa, berpikiran sehat, beragama islam, adil dalam arti dapat menjalankan agama dengan baik. Dan syarat untuk anak yang diasuh adalah masih berada dalam usia anak anak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurusi hidupnya dan berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri meski usianya telah dewasa seperti orang yang berkebutuhan kusus.

 Jika kedua orang tua anak masih lengkap dan sama sama memenuhi rukun syarat maka yang paling diutamakan adalah ibunya dengan biaya anaka dalam tanggungan ayah. Jika anak laki laki setelah mencapai tujuh tahun dan kedua orang tuanya berselisih tentang hadhanah maka anak ini bisa memutuskan untuk memilih bersama siapa. UU tidak mengatur mengenai pemeliharaan anak setelah putusnya perkawinan, tapi UU secara umum mengatur hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dalam pasal 45-49. Dalam KHI diatur pada pasal 156 sampai pasal 160.

Bab terakhir dalam buku ini berkaitan dengan ruju' atau dalam bahasa hukum disebut dengan raj'ah yang berarti kembali. Ruju' adalah kembalinya suami kepada istrinya yang telah ditalak berupa talak satu atau talak dua ketika istri masih dalam masa iddah. Hukum mengenai rujuk ada beberapa perbedaan diantara kalangan ulama ada yang mengatakan sunah hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam Q.S Al Baqarah ayat 229 dan 228. Rukun dan syarat rujuk adalah sebagai berikut pertama laki laki yang merujuk, perempuan yang dirujuk, ucapan rujuk, kesaksian dalam rujuk. Mengenai rujuk pun tak jarang ada yang namanya perselisihan yang biasanya berkaitan tentang berakhirnya masa iddah. Misalnya suami mengatakan bahwa ia telah merujuk istrinya tapi istrinhya mengatakan bahwa iddahnya telah habis saat suaminya mengatakan rujuk. Dengan ini maka yang dibenarkan adalah ucapan istri selama yang demikian adalah hal yang memungkinkan benar. Pendapat ini berdasarkan pada firman Allah dalam Q.S Al Baqarah ayat 228.

Tentang rujuk baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 ataupun UU No. 7 Tahun 1989 dsn PP No. 9 Tahun 1975 secara spesifik yidak mengatur. Akan tetapi dalam KHI mengatur tentang rujuk dan tatacara pelaksanaanya dengan lengkap yang mana secara materiil semuanya berasal dari kitab fiqih. Hal ini diatur dalam pasal 163 samapi pasal 166. Meski dalam pasal 164 dan 165 tidak sejalan dengan aturan fiqih karena dalam pandangan fikih rujuk tidak memerlukan persetujuan istri. mengenai tata cara pelaksanaan rujuk diatur dalam KHI pasal 167 sampai pasal 169.

Terkait dengan buku ini bagi saya selaku pembaca sangat membantu dalam memahami hal hal yang berkaitan dengan perkawinan terutama di Indonesia baik itu dalam pandangan fikih munakahat, UU Perkawinan ataupun dalam kompilasi hukum islam dan peraturan lainnya. Sangat menarik pada walnya dijelaskan terlebih dhulu tentang apa sih fikih mubakahat, UU Perkawinan dan KHI sehingga dengan ini akan lebih memudahkan pembaca untuk memahami istilah istilah itu yang akan banyak digunakan dalam setiap pembahasan per babnya. Terlepas dari itu materi yang disampaikan dalam buku lengkap mulai dari proses sebelum perkawinan hingga berakhirnya perkawinan dan akibat dari putusnya perkawinan sampai dengan ruju'.  Berkaitan dengan hal tersebut setiap materi termuat dengan lengkap, jelas dan rinci.

Terlepas dari itu mungkin ada beberapa bahasa yang sedikit sulit untuk dipahami dan terkesan bertele tele sehingga agak membuat pembaca mengerutkan dahi selain itu ada juga beberapa istilah yang mungkin tidak dimengerti oleh pembaca terutama istilah dalam bahasa arab, mungkin untuk kedepannya  untuk cetakan selanjutnya bisa disertakan terjemah atau arti istilah istilah dalam bahasa arab itu dengan bahasa Indonesia sehingga pembaca bisa memahami materi dengan lebih baik lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun