Perkembangan tarekat syattariyah dibeberapa daerah mulai menjadi lebih modern dan makin maju. Namun di Kamang mereka mempertahankan purinitas (kemurnian) ajarannya. Tuanku (Syekh) memiliki kemampuan kajian ilmu rahasia yang hanya bisa dipahami oleh kelompoknya saja, dalam bahasa ilmiah disebut pengetahuan esoteris". Kajian ilmu itu bisa tentang usaha pertahanan diri. Bahkan ada juga ilmu beladiri yang bisa membuat diri kebal dalam menghadapi senjata. Hal inilah yang dalam perkembangan sejarah berikutnya di Kamang pada masa Paderi melahirkan tahap reformasi dengan cara yang lebih sensasional dan menggemparkan sejarah Minangkabau. Perubahan dari cara memahami agama melalui ajaran tarekat, jauh berbeda dengan cara pemahaman kelompok Paderi dalam mengaplikasikan agama. Kami menilai ini adalah sebuah episode penting juga dalam perubahan cara ber Islam masyarakat Kamang dan Agam umumnya.
Paderi dengan gerakan anti Takhayul, Bid'ah dan Churafat akan berbeda jauh dengan pemahaman pengikut tarekat dan sufi. Takhayul, Bid'ah, dan Churafat (TBC) adalah "tiga sekawan kebatilan" yang masih hidup di kalangan umat Islam.
Dua bentuk keberadaan gerakan keagamaan yang berjalan di Kamang ini tentu melahirkan sebuah gejolak yang mempengaruhi jalan sejarah. Gerakan tarekat dengan segala ajaran, guru/syekh/tuanku dan ajaran Paderi dengan usaha pemurnian ajaran Islam yang terus bergerak maju.
Tuanku/guru agama/ulama di Minangkabau pada masa itu mengikuti kecenderungan umum di seluruh dunia Melayu yang gemar berdagang. Mereka aktif melakukan perdagangan kayu manis dan kopi yang banyak di daerah Kamang, Agam. Sebagai contoh yaitu Tuanku Nan Tuo guru besar dari Ampek Angkek merupakan seorang pedagang yang sukses dimasa Paderi. Demikianlah gambaran perkembangan sosial dan keadaan nilai-nilai keberagamaan masyarakat Agam umumnya dan Kamang khususnya.
Sebuah deskripsi menarik tentang kehidupan para murid yang menuntut ilmu agama di wilayah darek Minangkabau, digambarkan oleh seorang Belanda yang pernah berkunjung pada akhir abad XIX. la menceritakan bahwa telah melihat bangunan sederhana dari papan kayu dengan ukuran kecil.
"Kira-kira di bagian tengah kompleks tersebut berdiri dua surau besar. Disekelilingnya terdapat surau kecil. Pada bagian surau kecil juga terlihat adanya gubuk sebagai dapur. Sementara itu di pekarangannya terdapat sejumlah pohon kelapa yang sangat sarat buahnya. Pada surau kecil juga ada bangunan yang tampak persis seperti lapau (toko). Di jendelanya tergantung tandan pisang dan buah lainnya untuk dijual".
Melirik pada keadaan sosial dan watak masyaraka Kamang dalam perjalanan sejarah, Rusli Marzul Syaria memaparkan bahwa masyarakat Kamang adalah kelompok orang yang emosional dan terbuka Maksudnya adalah bahwa mereka cukup terbuka dalam menanggapi adanya perubahan positif. Bila sesuai dengan hati maka akan cepat direspon dengan positif Bisa dilihat bagaimana kemunculan tokoh Abdullah Tuanku Nan Renceh pada zaman Paderi yang terkenal dengan sikap keras dan teguh pendiriannya terhadap ajaran Islam. Beliau diikuti oleh banyak orang Kamang bahkan daerah lainnya. Kemudian Kamang dijadikan sebagai basis dan benteng pertahanan Paderi. Orang Kamang menerima dengan terbuka keberadaan surmu Mejan Tuanku Nan Renceh sebagai tempat menimba ilmu keagamaan dan menempa diri para pengikut Pengikut Paderi yang berasal dari berbagai daerah itu diterima dengan baik di Bukit Kamang.
Kamang adalah salah satu wilayah Agam yang sangat sesuai dengan julukannya Luhak Agam-Luhak Nan Tangah, buminyo angek, aia nyo karuah, ikannyo lia, bendera sirah (Daerah Agam-buminya panas, airnya keruh, ikannya liar, benderanya merah). Daerah Kamang dan masyarakatnya selalu bergejolak dan sulit untuk bisa ditenangkan. Mereka berani mengambil resiko melakukan perlawanan terhadap hal yang dinilainya tidak sesuai dengan idealisme mereka.
Menurut analisa Christine Dobbin, munculnya Kamang sebagai daerah sentral dalam beberapa kali perlawanan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
1. Semangat keagamaan yang begitu kental.
2. Budaya dengan sikap terbuka yang telah memberi peluang bagi masyarakat untuk mudah berkumpul atau berhimpun ketika menemukan hal baru.
3. Faktor keadaan geografis, dimana daerahnya berbentuk benteng alami yang dapat dijadikan sebagai sebuah sentral pertahanan.
Inilah diantara faktor yang sangat memungkinkan munculnya peristiwa besar di daerah Kamang, bahkan muncul berkali-kali.
Masyarakat Kamang juga memiliki jiwa perantau sejak dahulu. Berbagai motif dan alasan sebagai penyebabnya, seperti: merantau akibat peperangan yang membuat kehidupan menjadi susah dan penuh tekanan. Inisiatif dan usaha memajukan kehidupan ekonomi. Usaha untuk menuntut ilmu lebih tinggi. Hal itu menjadi dasar sehingga para pemuda dan masyarakat Kamang banyak yang memilih hidup di perantauan. Demikianlah dinamika kehidupan masyarakat Kamang yang selalu bergerakÂ
dan penuh dengan gejolak.
D. Ekonomi Menggeliat Minangkabau Yang Terus
Sejak akhir abad ke XVIII dan abad XIX perdagangan kopi di Sumatera makin maju. Hal ini dapat dilihat dari catatan perdagangan kopi di Padang. Pada tahun 1803 tercatat bahwa penjualan kopi ke dua kapal dagang yang berlabuh di Padang, satu kapal membawa 10.460 pon kopi, dan kapal dagang lainnya membawa 425.000 pon" kopi. Sementara itu harga kopi ditahun 1800 untuk 1 pikul adalah f.7 (gulden), terus naik ke fig bahkan mencapai 1.20. Pada tahun 1820 sampai 182 harga kopi per pikulnya bahkan menembus (30 da 40. Inilah dampak dari digemarinya kopi di Eropa, mereka menyatakan "tidak ada harga yang tinggi bag mereka untuk mendapatkan kopi".
Ekspor kopi dari Padang tahun 1821 tercatat 16.000 pikul, dan ditahun 1825 sebanyak 33.000 pikul, bahkam ditahun 1826 mencapai 49.000 pikul". Harga per pikal mencapai f.40 (gulden), maka kita akan menemukan harga yang fantastis dengan nominal mencapai 1.1.960.000,- untuk perdagangan di pantai haras, khususnya Padang Dan ada lagi jalur rahasia yang digunakan pedagang yang tak mau berurusan dengan Belanda yaitu ke pantai timur dan Singapura. Hal ini tentu membawa peningkatan ekonomi bagi masyarakat Minangkabau, termasuk Kamang Hal itu karena Kamang yang juga merupakan daerah penghasil kopi terpenting di daerah darek Minangkabau. Ekonomi Minangkabau terus menggeliat dan semakin maju.
Hasil kopi Luhak Agam ada yang diangkut melahi jalan utara, yaitu jalur Tiagan dan Tiku. Dan ada juga yang melewati jalan lain ke pantai timur Sumatera Kedua jalan ini cukup aman dari pengaruh Belanda yang memang lebih terpusat di Padang Jalur penjualan kopi biasanya dari petani penghasil kopi, kemudian dibawa ke pasar-pasar lokal. Mata rantai pasar ke pasar ini lah yang awalnya membawa hasil kopi sampai ke wilayah pantai. Baik pantai timur maupun pantai barat Sumatera.
Awalnya jalur-jalur perjalanan para pedagang diawasi oleh Kerajaan Pagaruyung dan aparatnya. Namun sejak abad ke XIX, petani penghasil kopi telah mampu berkuasa penuh atas hasil kopi mereka dan berdagang langsung ke pelabuhan. Mereka bisa menempuh jalan-jalan yang aman sehingga bisa sampai ke Tiku, Tiagan, Sasak, Air Bangis dan Natal yang merupakan pelabuhan-pelabuhan penting dimasa itu. Penduduk pun bisa berdagang langsung dengan para pembeli seperti orang Aceh, China, Gujarat dan Inggris.
Kawasan Agam dan Lima Puluh Kota merasakan keuntungan langsung dari dampak sistem perdagangan kopi yang terjadi di awal abad 19. Lereng gunung Marapi, Singgalang dan Sago telah menjadi kawasan yang subur bagi tanaman kopi. Kawasan Ampek Angkek, dan Canduang yang lebih mengutamakan pertanian padi, pun mendapat untung. Disini masyarakatnya juga terampil mengembangkan kerajinan besi membuat alat- alat pertanian, pembuatan mesiu.
Pandai Sikek sebagai penghasil beras dan memiliki kebun kopi yang luas. Masyarakatnya juga aktif dalam perdagangan. Dan daerah ini juga penghasil alat pertanian seperti sabit, bajak, ladiang (parang), senjata tajam dan alat berburu lainnya. Bukit Batabuah, Sungai Pua, Enam Koto, Koto Laweh mendapat untung dari komoditi kopi, kayu manis, beras dan industri rumah tangga. Pusat-pusat industri pengolahan besi Jugg dimanfaatkan oleh kelompok Paderi untuk membua senjata perang, hal itu sudah berlangsuang sejal sebelum keterlibatan Belanda masuk kepedalaman Minangkabau.
Sementara itu di Kamang, daerah perkebunan kopi ada di sekitar Bukit Tarapuang, Bukit Batu Biaro, daerah Lereng Babukik, Limau Kambiang, Bukit Panjang Tarusan sampai ke Bukit Panjang daerah Pauah-Sungai Bawak. Tanaman kopi yang ada di daerah ini subur dengan buah yang banyak. Kopi menjadi primadona perdagangan di zaman itu. Namun pasca Paderi karena dalam tekanan pihak penjajah urang awak (orang Minangkabau) jarang yang meminum kopi. masyarakat umumnya hanya meminum air dari daun kopi yang disangrai, dinamai dengan kopi daun (kawa daun).
Kamang adalah daerah yang mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri. Hal itu didapat karena mereka mempertahankan persawahan untuk bertanam padi. Sebagian penduduk Kamang juga aktif berdagang dengan komoditas kayu manis dan kopi. Daerah ini memiliki ketinggian dan topografi yang cocok untuk komoditas tersebut. Keberadaan sawah, kebun dan tradisi dagang serta majunya perkebunan kopi dan kulit kayu manis membuat pertumbuhan ekonomi masyarakat Kamang berkembang pesat.
Kawasan Bukit Barisan Kamang bagian selatan juga terdapat jalur perdagangan kopi yang aman. Jalan-jalan dagang di perbukitan Kamang ini masih aktif sampai kurun waktu 1960-an. Kamang, Suayan, Suliki, Palembayan terhubung dengan jalan-jalan yang menembus hutan Bukit Barisan. Di Kamang terdapat bukit-bukit kecil yang kuning kemerahan oleh warna daun kayu manis. Dipekarangan rumah pohon-pohon merunduk karena sarat akan buahnya. Demianlah gambaran tentang keadaan dan kemakmuran Nagari Kamang di periode awal Paderi itu.
Di Luhak Lima Puluh Kota, daerah Mungkar, Situjuah, dan Halaban terlibat aktif dalam pertanian dan perdagangan kopi. Mahat, Pangkalan juga telah menjadi sentra perdagangan di daerah itu. Hasil bumi yang menjadi komoditi yaitu kopi, lada dan kayu manis. Dengan membawa hasil bumi melalui jalur sungai, menembus Kampar, dan sampai ke Singapura.
Ketika perdagangan kopi untuk ekspor menanjak terutama untuk daerah Agam dan sekitarnya. Para petani dan pedagang kopi yang mulai hidup berdampak pada banyaknya warga yang menunaikan rukun Islam ke lima, naik haji ke Mekkah. Dan sekembalinya membawa berbagai informasi dan ilmu yang didapat dari jazirah Arab. Salah satunya adalah adanya gerakan kembali ke syariat Islam. Jadi maraknya api keagamaan di Minangkabau sedikit banyaknya telah dipengaruhi oleh kondisi sosial dan perubahan ekonomi. makmur
Hasil pertanian kopi, kayu manis yang melimpah memberi pengaruh juga terhadap munculnya kelompok para perampok atau penyamun yang berkeliaran di daerah yang lengang. Mereka biasanya memilih lokasi di kawasan perbatasan antar nagari bahkan di perbukitan. Keributan, perkelahian sering terjadi antara pedagang dan perampok. Mereka merampas barang dagangan, menculik pedagangnya dan dijual untuk menjadi budak di pantai timur. Adapula perselisihan antar pedagang yang bisa berakibat kepada terjadinya keributan bahkan pembunuhan. Masalah ini biasanya diselesaikan oleh para ulama sehingga kekuatan dan pengaruh ulama bersifat lintas nagari.
Hal lain yang juga merupakan dampak kemajuan perdagangan adalah adanya orang-orang yang berkesempatan hidup mewah, berfoya-foya. Ada juga yang larut dalam sabung ayam, judi, tuak dan candu yang beredar luas. Berbagai bentuk kemaksiatan mulai merajalela, nyaris tanpa kendali, sebab tidak adanya kekuasaan dan kekuatan yang mengikat. Sehingga semua nyaris tanpa aturan.
Sementara itu prilaku para pejabat dan penguasa adatpun ada yang memanfaatkan posisinya untuk melakukan pemerasan terhadap pedagang. Ada yang menerapkan pajak, pengamanan dan pengawasan jalan. Serta berbagai motif dan modus digunakan untuk mengambil bagian dari kekayaan pedagang. Berbagai bentuk maksiat tumbuh dengan subur. Para haji yang makin banyak. Dua hal yang kontradiksi terjadi di masa itu.
Surau yang telah memiliki kedudukan khusus dengan keberadaan pengikut dan murid-murid setia telah memperlihatkan keunggulannya. Surau memiliki peran strategis sebagai basis pergerakan pembaruan Islam. Dengan melihat keadaan masyarakat yang makin jauh dari syariat Islam. Peran sentral untuk surau-surau di wilayah Agam saat itu dipegang oleh seorang tokoh Tuanku Nan Tuo (1750-1824) dengan ribuan murid yang pernah belajar kepadanya. Slogan kembali ke syariat Islam adalah sebuah hal yang popular di periode pergantian abad 18 ke abad 19.
Terjemahan:
The development of the Syattariyah tarekat in several regions has become more modern and advanced. However, in Kamang, they maintain the purity of its teachings. The Tuanku (Sheikh) possesses the ability to study secret knowledge that can only be understood by his group, which is scientifically known as "esoteric knowledge." This knowledge may include methods of self-defense. There is even martial knowledge that can make one invulnerable when facing weapons. This is what, in subsequent historical developments in Kamang during the Paderi period, gave birth to a reform phase that was more sensational and shook the history of Minangkabau. The shift in understanding religion through the teachings of the order was vastly different from the way the Paderi group understood and applied religion. We consider this an important episode in the changing way of practicing Islam in Kamang and Agam in general.
The Paderi, with their movement against superstition, heresy, and religious innovation, held a view that was vastly different from the followers of the Sufi orders. Superstition, heresy, and religious innovation are the "three comrades of falsehood" that still exist among Muslims.
These two forms of religious movements in Kamang naturally gave rise to turbulence that influenced the course of history. The order's movement with all its teachings, masters/sheikhs/tuanku, and the Paderi movement with its efforts to purify Islamic teachings continued to advance.
Religious leaders/teachers/scholars in Minangkabau at that time followed the general trend in the Malay world, which had a passion for trade. They were actively involved in the trade of cinnamon and coffee, which were abundant in the Kamang region of Agam. For example, Tuanku Nan Tuo, a great teacher from Ampek Angkek, was a successful trader during the Paderi period. This reflects the social development and religious values of the Agam community in general and Kamang in particular.
An interesting description of the lives of students seeking religious knowledge in the Minangkabau hinterlands was given by a Dutchman who visited in the late 19th century. He described seeing simple wooden buildings of small size.
"Approximately in the middle of the complex stood two large suraus (prayer halls). Around them were smaller suraus. At the small suraus, there were also huts serving as kitchens. Meanwhile, in the yard, there were numerous coconut trees laden with fruit. In the small suraus, there were buildings that looked just like small shops. From the windows hung bunches of bananas and other fruits for sale."
Reflecting on the social conditions and character of the Kamang community throughout history, Rusli Marzul Syaria explained that the Kamang people are an emotional and open group. This means they are quite open to responding positively to change. If it aligns with their hearts, they quickly respond positively. This can be seen in the emergence of figures like Abdullah Tuanku Nan Renceh during the Paderi era, who was known for his strict and firm stance on Islamic teachings. He was followed by many Kamang people and others from different areas. Kamang was then used as a base and fortress of the Paderi movement. The Kamang people openly accepted the existence of Surau Mejan Tuanku Nan Renceh as a place for religious learning and self-discipline for followers. Followers of the Paderi from various regions were welcomed in Bukit Kamang.
Kamang is one of the Agam regions that fits its nickname, Luhak Agam-Luhak Nan Tangah, with its hot land, muddy water, wild fish, and red flags. Kamang and its people are always turbulent and difficult to calm. They dare to take risks to resist things they deem inconsistent with their ideals.
According to Christine Dobbin's analysis, the emergence of Kamang as a central area in several uprisings was influenced by several factors, such as:
1. A deeply ingrained religious spirit.
2. A culture of openness, which provided opportunities for the community to easily gather or unite when encountering new things.
3. The geographical factor, where the area is naturally fortified, making it a central point of defense.
These are among the factors that made it possible for major events to occur repeatedly in Kamang.
The Kamang community has also had a spirit of migration since ancient times. Various motives and reasons caused this, such as migrating due to wars that made life difficult and full of pressure, the initiative to improve economic conditions, and the desire to pursue higher education. These reasons formed the basis for many young people and the Kamang community to choose a life of migration. Such is the dynamic life of the Kamang people, which is always in motion and full of turmoil.
D. Economic Revival in the Ever-Advancing Minangkabau
Since the late 18th and 19th centuries, the coffee trade in Sumatra has continued to grow. This is evident from the records of coffee trade in Padang. In 1803, it was noted that coffee sales to two trading ships docked in Padang included one ship carrying 10,460 pounds of coffee, while the other carried 425,000 pounds. Meanwhile, the price of coffee in 1800 was 7 guilders per picul (a traditional unit of weight), which continued to rise and even reached 120 guilders. In 1820, the price per picul reached between 30 to 40 guilders. This was due to the popularity of coffee in Europe, where people declared, "no price is too high to get coffee."
In 1821, coffee exports from Padang reached 16,000 piculs, and in 1825, 33,000 piculs, even reaching 49,000 piculs in 1826. With a price of 40 guilders per picul, the total trade value on the western coast, especially Padang, could reach a staggering figure of 1,960,000 guilders. Additionally, there were secret routes used by traders who did not want to deal with the Dutch, leading to the eastern coast and Singapore. This undoubtedly led to economic growth for the Minangkabau people, including those in Kamang, an important coffee-producing area in the Minangkabau highlands. The Minangkabau economy continued to thrive and grow.
The coffee produced in Luhak Agam was transported along the northern route, via Tiagan and Tiku, and also through other routes to the eastern coast of Sumatra. Both routes were relatively safe from Dutch influence, which was primarily concentrated in Padang. Coffee was typically sold by farmers to local markets, creating a chain of trade that carried the coffee to coastal areas, both on the eastern and western coasts of Sumatra.
Initially, the trading routes of the merchants were monitored by the Kingdom of Pagaruyung and its officials. However, by the 19th century, coffee farmers were able to take full control of their coffee production and trade directly at the ports. They could use safe routes to reach Tiku, Tiagan, Sasak, Air Bangis, and Natal, which were important ports at the time. The local people could trade directly with buyers from Aceh, China, Gujarat, and England.
The regions of Agam and Lima Puluh Kota benefited directly from the coffee trading system in the early 19th century. The slopes of Mount Marapi, Singgalang, and Sago became fertile grounds for coffee plantations. Even areas like Ampek Angkek and Canduang, which focused more on rice farming, also benefited. These communities were skilled in ironwork, producing farming tools and gunpowder.
Pandai Sikek, a rice producer with vast coffee plantations, also had active traders. The area was known for producing agricultural tools like sickles, plows, and machetes, as well as weapons and hunting tools. Bukit Batabuah, Sungai Pua, Enam Koto, and Koto Laweh profited from commodities such as coffee, cinnamon, rice, and cottage industries. Iron processing centers were also utilized by the Paderi groups to make weapons, a practice that had been ongoing before the Dutch entered the Minangkabau interior.
In Kamang, coffee plantations were located around Bukit Tarapuang, Bukit Batu Biaro, Lereng Babukik, Limau Kambiang, Bukit Panjang Tarusan, and Bukit Panjang near Pauah-Sungai Bawak. The coffee in these areas grew abundantly, becoming a trading favorite at the time. However, after the Paderi War, due to the pressure from the colonizers, Minangkabau people rarely drank coffee. The community mostly drank a beverage made from roasted coffee leaves, called "kawa daun."
Kamang was an area that could meet its own rice needs, thanks to the rice fields maintained for paddy farming. Many Kamang residents were also active in trading, particularly in commodities like cinnamon and coffee. The area's altitude and topography were suitable for these commodities. The combination of rice fields, plantations, and a strong trading tradition, along with the thriving coffee and cinnamon bark industries, led to rapid economic growth in Kamang.
In the southern part of Kamang, within the Bukit Barisan range, there were safe coffee trading routes. These trading paths remained active until the 1960s. Kamang, Suayan, Suliki, and Palembayan were connected by routes that cut through the Bukit Barisan forest. In Kamang, small hills appeared red-yellow from the cinnamon leaves. In the home gardens, trees bent low under the weight of their fruit. Such was the depiction of the state and prosperity of Nagari Kamang in the early Paderi period.
In Luhak Lima Puluh Kota, regions such as Mungkar, Situjuah, and Halaban were actively involved in coffee farming and trade. Mahat and Pangkalan had also become trading centers in the area. The main commodities were coffee, pepper, and cinnamon bark. These products were transported via river routes, passing through Kampar and eventually reaching Singapore.
When coffee exports were booming, particularly from Agam and surrounding areas, coffee farmers and traders began to prosper, which resulted in an increasing number of people fulfilling the fifth pillar of Islam, performing the Hajj pilgrimage to Mecca. Upon their return, they brought back information and knowledge from the Arabian Peninsula, including a movement to return to Islamic law. Thus, the rise of religious fervor in Minangkabau was somewhat influenced by social conditions and economic changes.
The abundance of coffee and cinnamon production also led to the emergence of groups of robbers or bandits who roamed in remote areas. They usually chose locations in border areas between nagari (villages) or in the hills. Fights and clashes frequently occurred between traders and bandits. The bandits would seize goods, kidnap traders, and sell them as slaves on the eastern coast. Disputes among traders could also lead to conflicts or even killings. These issues were often resolved by the ulama (religious scholars), whose influence extended across nagari boundaries.
Another impact of the booming trade was that some people lived lavishly, indulging in gambling, cockfighting, alcohol, and widespread opium addiction. Various forms of vice began to flourish with little to no control, as there was no authority or power to enforce rules.
Meanwhile, some officials and traditional leaders exploited their positions to extort traders, imposing taxes, security fees, and monitoring charges. Various methods were used to take a share of the traders' wealth. Vice thrived, and the number of Hajj pilgrims increased, creating two contradictory trends at that time.
The surau (traditional Islamic boarding schools or community centers) had established a special place in the community, with loyal followers and students, demonstrating their superiority. The surau played a strategic role as a base for Islamic reform movements, especially given the society's growing deviation from Islamic law. The central role of surau in the Agam region was held by Tuanku Nan Tuo (1750-1824), who had thousands of students. The slogan "return to Islamic law" became popular during the transition from the 18th to the 19th century.
Ket: Assisted 100% by AI
Annisa Tul Khair 21019029 22 JD I-E Trans JM9-10 NKall21 LMÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H