Mohon tunggu...
D4U
D4U Mohon Tunggu... Mahasiswa - In Neverland With The Elf

Hanya sebuah pena yang sedan mencari tintanya. selamat datang, terima kasih sudah meluangkan waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diam Menghilang Lalu Meninggal: Siapa yang Salah?

5 November 2021   09:06 Diperbarui: 5 November 2021   09:10 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku Tjahja. Seorang seniman kaca dari sebuah desa terpencil didekat hutan Pulau Jawa. Sangat jauh dari ibu kota provinsi. Tidak ada secuilpun dipikiranku untuk pergi kesana. Aku terlalu betah di kampung kelahiran ini. Nyaman. 

Tentang orang tuaku, bapak sama sepertiku. Seorang seniman kaca. Seorang turunan jagal paling kuat di tanah Jawa. Maka dari itu, banyak orang yang segan dengan keluargaku.

 Walaupun banyak juga orang yang enggan berurusan dengan kami. Kalau tentang ibu, semua terlihat spesial darinya. Ramah, anggun, cantik. Belum lagi masakannya. Sangat lezat. Jika ada hajatan desa, hampir semua warga mempercayakan masakan kepada ibuku. Bahkan kepopuleran masakannya sudah terdengar sampai kampung seberang sungai. Bangganya aku memiliki ibu pandai masak.

Pagi ini, seperti biasa. Aku menuntun Ulil-sapi kesayanganku-berkeliling mengantar seni kaca buatanku yang aku masukkan dalam karung goni dan ku gantungkan di punggung Ulil. Ada pesanan cukyup banyak dari kampung seberang. 

Dan hari ini, aku mengantar pesanan kaca untuk Tuan Samad. Aku dengar beliau seorang yang kaya raya. Jika itu benar, akan aku berikan pelayanan terbaikku. 

Memberinya tambahan. Apa lagi kalau bukan masakan ibu. Orang kaya biasanya sering mengadakan hajatan besar. Entah hanya berniat untuk membagi kebahagiaan atau memang untuk pamer kekayaan. Dan ketika Tuan Samad mengadakan hajatan besar, beliau akan menggunakan jasa ibukku untuk urusan hidangan. Bukannya mata duitan. Hanya berusaha agar tungku tetap menyala dan dapur tetap berasap.

Jalanan terlihat semakin menurun dan banyak kerikil tajam. Membuatku harus mengawasi Ulil agar tidak salah langkah. Jika Ulil terjatuh, habis sudah kisah hidupku. Tenaga yang ku gunakan untuk membuat kaca-kaca indah ini menjadi sia-sia. 

Padahal, aku harus merelakan tubuhku kepanasan saat membentuk pecahan kaca menjadi bentuk yang sangat indah memiliki nilai jual tinggi. Jalanan yang semakin menurun ini menandakan dengan jelas bahwa sungai pembatas antara kampungku dengan kampung seberang sudah mulai dekat. 

Namun, ketajaman telingaku membuat metraku sedikit beralih dari jalan. Menuju sebuah keributan yang ditimbulkan oleh tiga orang laki-laki bertubuh gempal dan seorang pemuda yang terlihat tak berdaya. Tiga laki-laki bertubuh gempal itu terlihat murka. Dua diantara mereka menahan gerak dari seorang pemuda tak berdaya. 

Lusuh dan kotor. Terlihat jelas bahwa pemuda itu bukan dari masyarakat kalangan berada. Dan Satu diantara pemuda gempal itu siap meluncurkan kepalan tangannya. Sudah tidak ada lagi tenaga untuk melawan. Pria lusuh itu sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa ku prediksi bahwa pemuda itu mengalami patah kaki kanan. Bisa dilihat dari caranya berdiri. Tidak bertenaga, menahan sakit dan hanya kaki kirinya saja yang is jadikan tumpuan. Jangankan berjalan, aku yakin berbicara saja pemuda itu sudah tidak mampu.

Mooooo.....

Belum sampai pria gempal itu menghabisi nyawa pemuda dihadapannya, suara Ulil membuat pandangan mereka teralih padaku. Ku lihat sejenak Ulil. Mencari tahu apa yang membuatnya bersuara. Lalu ku lihat lagi Sumber keributan yang mendadak hening. Ku tunjukkan seulas senyum kepada mereka. Hanya sebagai formalitas jika dua orang atau lebih tidak sengaja bertemu di jalan. Jika kalian bertanya apakah aku takut? Jawabannya sangat sederhana. Tidak. Kalian tau kenapa? Karena, Aku mengenal salah satu dari tiga pria gempal itu. Namanya Djapar. Salah satu murid kakek - ketika kakek Masih hidup tentunya. Usianya lima tahun lebih tua dariku. Dan ku tahu sekarang dia bekerja kepada Tuan Samad. Sebagai jagal kepercayaan Tuan Samad. Tangan kanan yang memiliki anak buah. Dia juga yang memberitahukan Tuan Samad tentang karya kacaku. Aku harus berterima kasih kepada Djapar.

"Tjahja!" Sapanya. Benar saja, aku tidak salah lihat. Djapar menyapaku.

"Hai." Balasku ramah.

"Mau kemana?"

"Kediaman keluarga Samad. Antar barang."

"Tunggu sebentar. Biar ku antar."

Ku jelaskan pada kalian. Ini bukan hanya sekedar basa-basi. Menurutku, ini sebuah paksaan. Karena, semakin kuat aku menolak untuk ia antar, semakin kuat pula tekatnya untuk mengantar. 

Minggu lepas kutanyakan alasan dia untuk selalu mengantarku pergi ketika berpapasan. Tidak hanya itu. Ketika aku sedang ada didalam sebuah masalah Djapar selalu ada untuk membantu. Dia juga selalu tidak enak hati jika dia tidak dapat membantuku. Jawabannya singkat saja. Untuk rasa terima kasih pada mendiang kakekku, katanya.

Djapar terlihat berbincang sejenak dengan dua orang temannya. Membiarkan mereka menyeret pemuda tak berdaya itu. Mungkin akan dibebaskan. Atau, bahkan di bumi hanguskan. Kasihan. Bau anyir tercium saat posisiku kurang dari dua meter dengan Djapar. Sepertinya dia tidak mandi dengan air pagi ini. Melainkan dengan darah segar milik pemuda tadi.

"Berapa banyak kaca yang Tuan Samad pesan?" Djapar membuka suara. Nadanya seolah tidak terjadi apapun dan seolah aku tidak melihat apapun. Padahal, adegan menyeramkan baru saja terjadi.

"Cukup banyak. Hari ini kubawakan empat. Masing-masing dua di setiap karung goni ini. Masih ada hampir satu lusin setengah di rumah. Mungkin esok akan ku antar."

"Banyak sekali!" Mata Djapar terbuka lebar. Wajahnya heran juga terkejut. "Besok akan ku bawakan bendi milik Tuan Samad."

"Tidak usah. Aku dan Ulil bisa mengangkutnya sendiri."

"Mau sampai kapan? Lebaran monyet? Rumahmu dan rumah Tuan Samad jaraknya cukup jauh. Sedangkan sekali perjalanan kamu hanya mampu membawa empat. Sudah! Jangan banyak membantah. Apa salahnya jika ku bawakan bendi? Jangan siksa kedua kakimu ini. " Ada kekehan kecil di sana. Tangan kanannya memeluk leherku kuat. Menarikku memberi tanda agar aku berjalan lebih cepat sedikit.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Tuan Samad. Apalagi jika berbincang dengan Dajapar. Waktu terbilang sangat singkat. Kami berdua seolah tidak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Mulai dari hal sepele sampai hal yang rumit sekalipun. Terkadang, manusia serumit Djapar juga memiliki pertanyaan yang sulit dinalar oleh manusia berpendidikan di kota sana. Apalagi jika manusia kampung tak berpendidikan seperti aku yang ia beri pertanyaan. Bisa rontok rambut ini.

"Tunggu sebentar. Ku panggilkan Tuan Samad." Djapar berlari kedalam. Meninggalkan aku yang masih sibuk menurunkan dua karung goni berisi seni kaca buatanku. Ku biarkan Ulil memakan rumput liar yang terdapat di pekarangan rumah Tuan Samad. Rasa-rasanya, beliau tidak akan marah jika Ulil sedikit membantu merapihkan pekarangan.

***

Derap langkahku menyusuri  jalan. Sedikit terburu-buru karena bangun kesiangan. Badanku terasa lelah. Belum lagi ada urusan mendadak yang harus aku selesaikan tadi malam. 

Tubuhku seperti remuk. Untung saja Djapar menunaikan janjinya. Membawakan ku sebuah bendi milik keluarga Tuan Samad pagi buta tadi. Tepat saat matahari berada diujung tombak. 

Lengkap dengan kudanya pula. Jadi, Ulil bisa bersantai ria hari ini. Menikmati rumput segar di ladang milik juragan Dahlan. Bukan hanya seni kacaku yang dapat diangkut. Akupun juga diangkutnya.

Seperti biasa, aku melewati pasar desa. Hiruk-pikuk keramaian pasar bisa ku rasakan. Mulai dari penjual yang menawarkan dagangannya kepada semua orang yang melintas, perdebatan antara penjual dan pembeli. Bahkan ada juga ibu-ibu yang memilih sayur sembari bergosip. Belum lagi bau-bauan yang campur aduk. Mulai dari bau buah-buahan segar sampai ikan laut yang amis. Semua berbaur menjadi satu. Dan ramainya pasar membuat bendi yang kunaiki harus berhenti sejenak untuk mengantri.

Dapat ku dengar pembicaraan ibu-ibu di sampingku. Membicarakan ditemukannya mayat pemuda di dekat sungai perbatasan desa. Sangat mengenaskan katanya. Kakinya hilang satu dan bagian otaknya juga hilang. Karena pemuda itu bukan dari keturunan orang berada, masyarakat sekitar melaksanakan proses pemakaman dengan keikhlasan. Kejadian ini sering terjadi. Bukan dalam kurun waktu setiap hari atau setiap bulan. Penemuan mayat ini terjadi setelah aku melihat Djapar dan anak buahnya melaksanakan tugas sebagai seorang jagal.

***

"Tjahya!"

Sapaan ramah itu yang pertama kali ku dengar saat kakiku menginjak pekarangan rumah Tuan Samad. Siapa lagi kalau bukan Djapar yang sedang mengelap motornya. Ku perlihatkan seulas senyum padanya.

"Sudah dengar berita?" Djapar meninggalkan motornya. Menghampiriku dan membantuku menurunkan seni-seni kaca yang ku bawa.

"Berita?" Hari ini banyak sekali berita. Mulai dari kelangkaan bahan bakar sampai mahalnya bahan pangan. Jadi, berita mana yang Djapar tanyakan?

"Penemuan mayat pemuda dari desamu." Pertanyaan itu berhasil membuatku menghentikan kegiatanku. Berpikir sejenak sebelum akhirnya mengingat bahwa berita itu menjadi berita utama di pasar desa tadi.

"Aku sudah dengar tadi saat melintas di pasar desa." Jawabku ringan dan kembali menurunkan seni kaca dari bendi.

"Mengenaskan. Aku heran. Siapa yang bersikap sesadis itu?"

"Bukannya itu...." Belum selesai aku melanjutkan kalimatku, aku melihat Djapar terkekeh pelan.

"Jangan bodoh! Jaga mulutmu itu. Aku ini memang jagal. Tapi tidak pernah membunuh orang. Hanya membuat sekarat. Lagi pula, aku yakin bahwa pembunuhnya kali ini sama dengan pembunuh-pembunuh sebelumnya."

"Bagaimana kamu yakin?"

"Pembunuhnya selalu mengambil otak korban. Kira-kira untuk apa, ya?"

Aku menghendikkan bahu acuh. Enggan membahas lagi kasus ini. Ku langkahkan kakiku kedalam rumah Tuan Samad. Menata seni kacaku didalam. Dan tepat saat aku keluar ada keributan dihalaman rumah Tuan Samad. Ku dengar mereka mencari ku.

"Ada apa?" Ku lihat satu-persatu raut wajah mereka. Semua terlihat sama. Ada amarah di sorot mata mereka.

"Tjahya! Manusia biadab! Keji! Tidak manusiawi!" Kalimat macam apa ini? Aku?

"Kami sudah tau. Selama ini kaulah pembunuh keji yang mengambil otak korban." Sahut salah satu dari mereka.

Aku tersenyum tenang. "Atas dasar apa kalian menuduh saya seperti ini?"

"Ini!"  Salah satu dari mereka mengacungkan tangan. Menunjukkan sebuah kalung dengan seni kaca kecil berbentuk lingkaran dengan huruf TJ ditengah sebagai gantungan.

Aku meraba leherku sejenak. Benar. Kalung itu milikku.

"Tjahya. Itu benar kalungmu. Apa benar kau yang melakukannya?" Djapar menatapku tajam. Mencari sebuah kebenaran. Aku yakin ada harapan bahwa aku berkata tidak di sorot matanya. Membuatku tersenyum sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala membenarkan. Memang benar. Selama ini akulah yang melakukannya.

"Benar. Memang aku yang melakukannya." Jelas pengakuan ini membuat mereka terkejut.

"Bedebah!" Hujat mereka kepadaku. Kulihat Djapar. Ada sorot kecewa di sana.

"Untuk apa kau melakukan ini? Ada masalah dengan mereka? Aku kira kau pemuda lugu. Ternyata sekeji ini." Djapar menunjukkan rasa kecewanya.

"Aku hanya tidak suka melihat manusia lemah seperti mereka. Disiksa oleh jagal sepertimu. Bukannya melawan malah pasrah. Menurutku, otak mereka tidak berguna. Maka dari itu ku ambil dan kubuang ke sungai. Untuk apa dia memiliki otak jika tidak pernah digunakan. Lagi pula, dari pada seumur hidupnya hanya mendapat siksaan dari jagal-jagal sepertimu, lebih baik ku antar saja mereka ke surga jadi dia tidak akan merasakan sakit lagi. Aku juga bermaksud agar sahabatku Djapar berhenti menjadi seorang jagal. Ilmu yang kakekku berikan bukan untuk menindas orang yang lemah. Apa aku salah?"

Ku tunjukkan satu persatu maksud dari kelakuanku. Jelas membuat mereka semua terkejut dan berpikir. Salah karena aku berbuat keji atau benar karena aku menyelamatkan pemuda itu dari siksaan jagal-jagal. 

Siapa yang dapat disalahkan? Djapar yang terus menyiksa, pemuda yang terlalu lemah dan selalu pasrah, atau aku yang berniat meringankan siksanya? Semua masalah tidak akan terasa adil jika hanya dilihat dari satu sisi saja. Jadi, siapa yang salah?

***TAMAT***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun