Aku Tjahja. Seorang seniman kaca dari sebuah desa terpencil didekat hutan Pulau Jawa. Sangat jauh dari ibu kota provinsi. Tidak ada secuilpun dipikiranku untuk pergi kesana. Aku terlalu betah di kampung kelahiran ini. Nyaman.Â
Tentang orang tuaku, bapak sama sepertiku. Seorang seniman kaca. Seorang turunan jagal paling kuat di tanah Jawa. Maka dari itu, banyak orang yang segan dengan keluargaku.
 Walaupun banyak juga orang yang enggan berurusan dengan kami. Kalau tentang ibu, semua terlihat spesial darinya. Ramah, anggun, cantik. Belum lagi masakannya. Sangat lezat. Jika ada hajatan desa, hampir semua warga mempercayakan masakan kepada ibuku. Bahkan kepopuleran masakannya sudah terdengar sampai kampung seberang sungai. Bangganya aku memiliki ibu pandai masak.
Pagi ini, seperti biasa. Aku menuntun Ulil-sapi kesayanganku-berkeliling mengantar seni kaca buatanku yang aku masukkan dalam karung goni dan ku gantungkan di punggung Ulil. Ada pesanan cukyup banyak dari kampung seberang.Â
Dan hari ini, aku mengantar pesanan kaca untuk Tuan Samad. Aku dengar beliau seorang yang kaya raya. Jika itu benar, akan aku berikan pelayanan terbaikku.Â
Memberinya tambahan. Apa lagi kalau bukan masakan ibu. Orang kaya biasanya sering mengadakan hajatan besar. Entah hanya berniat untuk membagi kebahagiaan atau memang untuk pamer kekayaan. Dan ketika Tuan Samad mengadakan hajatan besar, beliau akan menggunakan jasa ibukku untuk urusan hidangan. Bukannya mata duitan. Hanya berusaha agar tungku tetap menyala dan dapur tetap berasap.
Jalanan terlihat semakin menurun dan banyak kerikil tajam. Membuatku harus mengawasi Ulil agar tidak salah langkah. Jika Ulil terjatuh, habis sudah kisah hidupku. Tenaga yang ku gunakan untuk membuat kaca-kaca indah ini menjadi sia-sia.Â
Padahal, aku harus merelakan tubuhku kepanasan saat membentuk pecahan kaca menjadi bentuk yang sangat indah memiliki nilai jual tinggi. Jalanan yang semakin menurun ini menandakan dengan jelas bahwa sungai pembatas antara kampungku dengan kampung seberang sudah mulai dekat.Â
Namun, ketajaman telingaku membuat metraku sedikit beralih dari jalan. Menuju sebuah keributan yang ditimbulkan oleh tiga orang laki-laki bertubuh gempal dan seorang pemuda yang terlihat tak berdaya. Tiga laki-laki bertubuh gempal itu terlihat murka. Dua diantara mereka menahan gerak dari seorang pemuda tak berdaya.Â
Lusuh dan kotor. Terlihat jelas bahwa pemuda itu bukan dari masyarakat kalangan berada. Dan Satu diantara pemuda gempal itu siap meluncurkan kepalan tangannya. Sudah tidak ada lagi tenaga untuk melawan. Pria lusuh itu sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa ku prediksi bahwa pemuda itu mengalami patah kaki kanan. Bisa dilihat dari caranya berdiri. Tidak bertenaga, menahan sakit dan hanya kaki kirinya saja yang is jadikan tumpuan. Jangankan berjalan, aku yakin berbicara saja pemuda itu sudah tidak mampu.
Mooooo.....