Analisis perbandingan dilakukan untuk membandingkan budaya Patrilinier dan Diskriminasi Budaya dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan budaya Patriarki dalam Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Sistem patrilineal menganggap bahwa keturunan laki-laki dari pihak ayah memiliki status dan hak yang lebih tinggi.Â
Novel Salah Asuhan bercerita tentang bagaimana pola asuh yang dilakukan ibu Maryam terhadap anaknya Hanafi, dengan menyekolahkan anak tunggalnya dan berharap Hanafi memiliki derajat yang lebih dari keluargannya dikampung.
Hanafi menempuh pendidikan disekolah Belanda yang berada di Betawi. Dalam kesehariannya, Hanafi bebas berinteraksi dengan bangsa asing, sehingga saat Hanafi beranjak dewasa akan kembali tinggal bersama ibunya.
Secara keseluruhan, novel Salah Asuhan membahas tentang kisah paradoks perkawinan campuran Timur-Barat. Dalam novel ini, kisah dua pernikahan antar ras ditemukan, yaitu hubungan perkawinan antara Tuan du Busse dengan istrinya dan hubungan Hanafi dengan Corrie. Yang pertama adalah hubungan Tuan du Busse dan istrinya.
Tuan du Busse adalah laki laki bangsa Eropa yang menikah dengan wanita pribumi. Pernikahan mereka tidak mendapatkan restu dari keluarga. Namun, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki Eropa yang berhasil menikah dengan wanita pribumi sangat berjasa karena menurut mereka hal tersebut menguntungkan bagi mereka untuk memperbaiki darah turunannya.
Terbukti dengan kehadiran sosok Corrie dalam cerita. Corrie merupakan anak hasil pernikahan antara laki-laki Eropa dengan wanita pribumi, Corrie memperoleh hak sebagai bangsa Eropa. Pribumi dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan bangsa Barat.
Maka dari itu, bangsa Barat diperlakukan istimewa oleh pribumi, meski tidak dari golongan bangsawan. Kedua, hubungan antara Corrie dan Hanafi, seorang laki laki pribumi yang menikahi wanita Eropa. Pernikahan mereka tidak mendapatkan restu dari keluarga dan tidak diterima oleh masyarakat.Â
Hal tersebut terjadi karena pandangan masyarakat jika wanita Eropa menikah dengan laki-laki pribumi sama halnya memilih untuk membuang dirinya sendiri.Â
Dari kedua peristiwa yang sudah dijelaskan, diketahui bahwa bangsa Eropa mengedepankan status sosial dan menimbulkan polemik antar bangsa karena berlakunya sistem patrilinier. Ringkasnya, kita dapat melihat dampak penerapan sistem patrilineal dalam hubungan perkawinan antara Timur dan Barat.
Diskriminasi Budaya pada novel Salah Asuhan banyak membahas tentang bagaimana Belanda menyisipkan hegemoni dari budaya, baik sikap maupun materi dari budaya tersebut. Salah satu wujud intelektual kolonialisme dan budaya yang dilakukan oleh Belanda adalah melalui tokoh utama Hanafi.Â
Dengan menjajah idologi negara negara lain termasuk kedalam hal yang dianggap lumrah oleh bangsa Belanda. Â Salah satu hal yang menarik dari Abdoel Moies dalam menceritakan novel Salah Asuhan adalah menggunakan tokoh Hanafi dengan perilakunya yang kebarat baratan.
Penulis mengartikan dari perspektif poskolonial seperti yang dijelaskan oleh tokoh poskolonial Edwar Said bahwa diskriminasi budaya dilakukan Belanda secara tidak langsung.Â
Dapat diketahui dalam novel tersebut bahwa tokoh Hanafi memiliki sikap kebarat-baratan dengan menolak kebudayaan, tradisi, norma, dan adat istiadat bangsa kerbau, istilah bangsa kerbau yang diucapkan Hanafi adalah seperti bangsa binatang dan dikuatkan lagi dengan ucapannya dengan mengatakan Si Minangkabau.Â
Semua itu termasuk kedalam penghinaan yang besar dan kelewat batas dalam memandang bangsa Indonesia seperti yang dikatakan Hanafi. Dengan artian yang lebih dalam Hanafi mengatakan jika bangsa Indonesia tidak sebanding dengan bangsa Belanda.
Menurut peneliti cerita novel ini sebenarnya bisa dibilang happy ending, seperti judul novelnya "Salah Asuhan". Penulis novel Abdoel Moeis menceritakan tokoh Hanafi sebagai anak yang keliru dalam pola pengasuhan telah bertobat dan kembali ke asuhan yang benar.Â
Namun, dari segi percintaan Hanafi tidak bahagia dengan berpisah dari wanita wanita yang telah mengisi hidupnya yaitu, ibunya, istri pribuminya yang bisa sibilang seperti emas yang belom digosok, ataupun istri baratnya yang seperti permata.Â
Membaca novel ini, peneliti tidak dapat mengutarakan dari sisi mana yang dimenangkan oleh penulis novel Abdoel Moeis di dalamnya, adat kebudayaan atau kemajuan? Sebab pada akhirnta tokoh Hanafi sebagai tokoh utama dalam novel memilih untuk menyerah dalam hidup, namun tidak dengan keinginannya.
Dalam novel Azab dan Sengsara kehadiran budaya patriarki terlihat dari tingginya status sosial seorang laki-laki dalam lingkungan masyarakat dan menjadi yang utama di dunia. Sikap Sutan Baringin terhadap Nuria (ibu Mariamin) mencerminkan budaya patriarki di mana laki-laki bertindak sebagai pengambil keputusan dan membatasi kemandirian perempuan.Â
Dia melakukan hal-hal buruk pada istrinya. Sutan Baringin berpendapat bahwa pengetahuan perempuan yang rendah seharusnya tidak ikut campur masalah suaminya, atau bahkan memberi saran, karena perempuan hanya tahu tentang dapur.Â
Novel Azab dan Sengsara memperlihatkan adat istiadat yang kurang baik dan sempurna. Novel tersebut juga membuktikan bahwa sastra generasi Balai Pustaka mengangkat tema konflik pemahaman antara tua dan muda.
Seperti yang diceritakan dalam novel, ayah Aminudin menginginkan menantu yang setara dengan keluarga, dan Aminudin ingin menikahi wanita yang dicintainya tanpa memandang kekayaan dan kekuasaan.Â
Konflik ini terjadi karena kelompok yang lebih tua menjunjung tinggi adat tradisi, sedangkan kelompok yang lebih muda percaya bahwa tidak semua adat itu benar dan membawa itikad baik. Dikatakan bahwa Aminuddin dan Mariamin pergi ke sekolah bersama hampir setiap hari. Â
Sehingga peristiwa sosial dalam novel tersebut sejalan dengan kenyataan yang ada pada saat itu. Baik Aminuddin maupun Mariamin adalah anak-anak dari keluarga bangsawan, sehingga tidak heran bila pada saat itu mereka bisa mengenyam pendidikan dan belajar sedangkan anak-anak lain yang seumuran langsung bertempur di medan perang, ada juga yang dipekerjakan secara paksa dan dianiaya oleh penjajah.
Karakter lain dalam novel roman dan novel tahun 20-an adalah kawin paksa, di mana anak-anak harus menikah dengan seorang wanita atau pria pilihan orang tua mereka.Â
Hal tersebut masih terjadi dalam novel Azab dan Sengsara, ketika Aminuddin hendak melamar Mariamin, namun Baginda atas tidak setuju karena Mariamin berasal dari keluarga miskin, riwayat buruk ayahnya dianggap memalukan, dan mempercayai ramalan dukun jika Mariamin pembawa petaka buruk.Â
Peristiwa tersebut mencerminkan kelas sosial, kedudukan, gelar, dan menjadi sesuatu hal yang penting dalam menentukan jodoh anak-anak pada masa itu. Sistem kepercayaan pada waktu itu dipenuhi dengan kepercayaan pada kekuatan yang awalnya di luar Sang Pencipta.
Tema dari kedua novel yang menjadi objek penelitian ini mempunyai tema yang sama, yaitu tentang perjuangan seorang perempuan untuk membuktikan aktualitas dirinya sebagai makhluk sosial di tengah tradisi yang condong pada patriarki.Â
Kedua novel tersebut juga banyak memiliki persamaan diantaranya pada penggunaan bahasa Melayu, latar belakang masalah membahas tentang budaya dan tradisi, topik cerita sama-sama membahas tentang perempuan dan pernikahan. Perbedaan antara keduanya terlihat pada cara mereka dalam menghadapi tantangan dan masalah dalam menjalani hidup masing-masing yang sesuai dengan keadaan yang mereka hadapi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI