Sehingga peristiwa sosial dalam novel tersebut sejalan dengan kenyataan yang ada pada saat itu. Baik Aminuddin maupun Mariamin adalah anak-anak dari keluarga bangsawan, sehingga tidak heran bila pada saat itu mereka bisa mengenyam pendidikan dan belajar sedangkan anak-anak lain yang seumuran langsung bertempur di medan perang, ada juga yang dipekerjakan secara paksa dan dianiaya oleh penjajah.
Karakter lain dalam novel roman dan novel tahun 20-an adalah kawin paksa, di mana anak-anak harus menikah dengan seorang wanita atau pria pilihan orang tua mereka.Â
Hal tersebut masih terjadi dalam novel Azab dan Sengsara, ketika Aminuddin hendak melamar Mariamin, namun Baginda atas tidak setuju karena Mariamin berasal dari keluarga miskin, riwayat buruk ayahnya dianggap memalukan, dan mempercayai ramalan dukun jika Mariamin pembawa petaka buruk.Â
Peristiwa tersebut mencerminkan kelas sosial, kedudukan, gelar, dan menjadi sesuatu hal yang penting dalam menentukan jodoh anak-anak pada masa itu. Sistem kepercayaan pada waktu itu dipenuhi dengan kepercayaan pada kekuatan yang awalnya di luar Sang Pencipta.
Tema dari kedua novel yang menjadi objek penelitian ini mempunyai tema yang sama, yaitu tentang perjuangan seorang perempuan untuk membuktikan aktualitas dirinya sebagai makhluk sosial di tengah tradisi yang condong pada patriarki.Â
Kedua novel tersebut juga banyak memiliki persamaan diantaranya pada penggunaan bahasa Melayu, latar belakang masalah membahas tentang budaya dan tradisi, topik cerita sama-sama membahas tentang perempuan dan pernikahan. Perbedaan antara keduanya terlihat pada cara mereka dalam menghadapi tantangan dan masalah dalam menjalani hidup masing-masing yang sesuai dengan keadaan yang mereka hadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H