Penulis mengartikan dari perspektif poskolonial seperti yang dijelaskan oleh tokoh poskolonial Edwar Said bahwa diskriminasi budaya dilakukan Belanda secara tidak langsung.Â
Dapat diketahui dalam novel tersebut bahwa tokoh Hanafi memiliki sikap kebarat-baratan dengan menolak kebudayaan, tradisi, norma, dan adat istiadat bangsa kerbau, istilah bangsa kerbau yang diucapkan Hanafi adalah seperti bangsa binatang dan dikuatkan lagi dengan ucapannya dengan mengatakan Si Minangkabau.Â
Semua itu termasuk kedalam penghinaan yang besar dan kelewat batas dalam memandang bangsa Indonesia seperti yang dikatakan Hanafi. Dengan artian yang lebih dalam Hanafi mengatakan jika bangsa Indonesia tidak sebanding dengan bangsa Belanda.
Menurut peneliti cerita novel ini sebenarnya bisa dibilang happy ending, seperti judul novelnya "Salah Asuhan". Penulis novel Abdoel Moeis menceritakan tokoh Hanafi sebagai anak yang keliru dalam pola pengasuhan telah bertobat dan kembali ke asuhan yang benar.Â
Namun, dari segi percintaan Hanafi tidak bahagia dengan berpisah dari wanita wanita yang telah mengisi hidupnya yaitu, ibunya, istri pribuminya yang bisa sibilang seperti emas yang belom digosok, ataupun istri baratnya yang seperti permata.Â
Membaca novel ini, peneliti tidak dapat mengutarakan dari sisi mana yang dimenangkan oleh penulis novel Abdoel Moeis di dalamnya, adat kebudayaan atau kemajuan? Sebab pada akhirnta tokoh Hanafi sebagai tokoh utama dalam novel memilih untuk menyerah dalam hidup, namun tidak dengan keinginannya.
Dalam novel Azab dan Sengsara kehadiran budaya patriarki terlihat dari tingginya status sosial seorang laki-laki dalam lingkungan masyarakat dan menjadi yang utama di dunia. Sikap Sutan Baringin terhadap Nuria (ibu Mariamin) mencerminkan budaya patriarki di mana laki-laki bertindak sebagai pengambil keputusan dan membatasi kemandirian perempuan.Â
Dia melakukan hal-hal buruk pada istrinya. Sutan Baringin berpendapat bahwa pengetahuan perempuan yang rendah seharusnya tidak ikut campur masalah suaminya, atau bahkan memberi saran, karena perempuan hanya tahu tentang dapur.Â
Novel Azab dan Sengsara memperlihatkan adat istiadat yang kurang baik dan sempurna. Novel tersebut juga membuktikan bahwa sastra generasi Balai Pustaka mengangkat tema konflik pemahaman antara tua dan muda.
Seperti yang diceritakan dalam novel, ayah Aminudin menginginkan menantu yang setara dengan keluarga, dan Aminudin ingin menikahi wanita yang dicintainya tanpa memandang kekayaan dan kekuasaan.Â
Konflik ini terjadi karena kelompok yang lebih tua menjunjung tinggi adat tradisi, sedangkan kelompok yang lebih muda percaya bahwa tidak semua adat itu benar dan membawa itikad baik. Dikatakan bahwa Aminuddin dan Mariamin pergi ke sekolah bersama hampir setiap hari. Â