Mohon tunggu...
Anike Dwi Febriyanti
Anike Dwi Febriyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Mata Kuliah Kajian Gender dan Wanita Jepang, Fakultas Ilmu Budaya

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Genderless Fashion dalam Prespektif Gender

20 Desember 2022   22:30 Diperbarui: 20 Desember 2022   22:36 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dahulu busana merupakan bagian dari kebutuhan, namun seiring perkembangan zaman mengalihfungsikan busana sebagai bagian dari gaya hidup. Istilah berbusana dalam Bahasa inggris disebut fashion dimaknai sebagai gaya berbusana yang populer. 

Fashion bukan hanya terkait pakaian, tetapi juga gaya rambut, aksesoris, serta riasan yang memiliki makna tertentu serta sebagai wujud ekspresi identitas pemakainya. 

Dalam kehidupan sosial gaya berpakaian sangat penting sebagai simbol diri maupun sebuah komunitas. Peran Gender yang di bentuk dari hasil konstruksi sosial oleh masyarakat menjadi salah satu hal yang mempengaruhi pemilihan gaya berpakaian. 

Gender dan gaya berpakaian memiliki keterkaitan satu sama lain misalnya perempuan identik dengan rok, gaun, high hells, dan warna pink sedangkan laki-laki harus mengenakan celana, jas, kemeja, dengan tujuan untuk menunjukkan sisi feminim dan maskulin. 

Perkembangan Fashion dipengaruhi oleh budaya dan selera masyarakat pada periode waktu tertentu. Sehingga dalam beberapa waktu, gaya berbusana dapat berubah dan menjadi tren.

Genderless Fashion 

Genderless dalam Bahasa Indonesia memiliki arti tidak memiliki jenis kelamin. Dan fashion merupakan gaya berpakaian yang sedang popular. Sehingga Genderless Fashion memiliki makna yang merujuk pada kebebasan untuk memilih gaya berpakaian tanpa terikat oleh gender biologis. 

Genderless Fashion memiliki dasar pemikiran bahwa pakaian tidak memiliki gender. Gaya berpakaian ini tidak menuntut pemakainya untuk menonjolkan satu sisi baik feminim maupun maskulin. 

Genderless Fashion sudah ada sejak awal abad ke-20 dan dipopulerkan oleh beberapa musisi di Amerika. Kepopuleran mereka menginspirasi berbagai merk produk pakaian untuk memproduksi pakaian unisex seperti UNIQLO, ZARA,dll. 

Pakaian unisex merupakan jenis pakaian yang modelnya bisa digunakan oleh pria maupun Wanita. Penyebaran tren pakaian unisex dari barat ini meluas hingga ke wilayah Asia termasuk Jepang dan Indonesia. 

Namun, tren Genderless Fashion ini dianggap melawan stigma yang dibentuk masyarakat dalam hal gaya berpakaian. Dalam masyarakat masih menganut bahwa pakaian yang dikenakan akan mencerminkan karakter pemakainya.

Genderless Fashion di Jepang 

Genderless Fashion di Jepang mulai populer setelah beberapa Top Model Jepang tampil di peragaan busana Tokyo Girls 2015 Autumn Fashion Show. Beberapa Idol dan Selebriti Jepang juga mengadaptasi gaya berpakaian genderless dan membuat tren ini menjadi semakin popular. 

Di Jepang, Gaya berpakaian ini lebih terkenal dikalangan para pria yang disebut Genderless Danshi (laki-laki), dapat diartikan sebagai laki-laki yang bergaya feminim seperti menggunakan make up, mewarnai kuku, mengenakan rok, dan pakaian dengan warna yang menonjolkan sisi feminim.

Masyarakat Jepang saat ini masih dipengaruhi oleh budaya tradisional dan patriarkis.  Mereka masih menganut sistem kelompok, sehingga akan mengutamakan formalitas dalam kelompok daripada ekpresi individu. Jepang memiliki beauty standard serta berbagai macam aturan untuk pemilihan pakaian dari pria dan wanita. 

Munculnya Genderless Fashion ini dianggap melanggar batas standar berpakaian yang sudah ada. Sebab di Jepang pria dan Wanita diharuskan untuk menunjukkan sifat feminim dan maskulin agar memiliki kesan normal dan  diterima oleh masyarakat. Dengan adanya gaya berpakaian seperti genderless danshi, mereka tidak harus menyembunyikan apa yang ingin mereka ekspresikan melalui fashion.

Genderless Fashion merupakan hal yang asing bagi masyarakat Jepang, sehingga awalnya tidak mudah mereka untuk menerima konsep berpakaian unisex. Mereka menganggap bahwa pelaku Genderless Fashion ini memiliki penyimpangan orientasi seksual dan menggunakan Genderless Fashion sebagai wujud ekspresi identitas mereka. 

Misalnya, Kepopuleran genderless juga terjadi pada remaja di Jepang yang dikaitkan pada penggunaan seragam sekolah sebagai wujud identitas diri para siswa siswi pelaku LGBT. Namun, Genderless Fashion tidak memiliki keterikatan dengan penyimpangan orientasi seksual. Mereka hanya ingin mengekspresikan diri lewat pakaian yang dikenakan tanpa Batasan jenis kelamin.

Genderless Fashion di Indonesia

Pada masyarakat Indonesia, Genderless Fashion sudah muncul sejak awal 1960-an juga akibat dari pengaruh barat. Tren wanita dengan gaya berpakaian layaknya pria mengenakan celana Panjang dan juga tampil tanpa riasan sangat popular. Tanpa disadari pengaruh barat sangat melekat pada masyarakat Indonesia pada kala itu. Sehingga Genderless Fashion dijadikan tren oleh Wanita di tahun 90-an pada saat itu.

Dengan kemajuan teknologi internet saat ini, memudahkan untuk melihat tren apa saja yang sedang populer menyebar di media sosial. Sehingga tren penggunaan pakaian unisex juga Genderless Fashion ini Sebagian besar bisa diterima oleh Masyarakat di Indonesia namun masih terikat dengan Batasan tertentu. Misalnya pada penggunaan jas, kemeja flannel, celana oleh Wanita serta penggunaan pakaian dengan warna yang memiliki kesan feminim oleh pria.

Mayoritas masyarakat Indonesia masih menjunjung adat timur serta nilai-nilai tradisional, sehingga keberadaan genderless fashion masih menuai pro dan kontra. 

Banyak anggapan bahwa Wanita dilarang untuk menyerupai gaya dari seorang pria dan sebaliknya. Misalnya seorang pria akan dianggap normal Ketika ia mengenakan sarung, dan akan dianggap tidak lazim Ketika ia mengenakan rok Panjang. Orang lain dapat menganggap bahwa sip ria ini memiliki kelainan dalam orientasi seksualnya. 

Mengacu pada prespektif yang dibentuk masyarakat tersebut, menimbulkan anggapan lain bahwa seseorang yang memiliki gaya berpakaian tidak lazim sesuai gender biologisnya akan dianggap memiliki penyimpangan orientasi seksual.

 Dengan adanya tren Genderless Fashion dan banyaknya produksi pakaian unisex yang populer, tidak sedikit juga masyarakat Indonesia yang sudah menormalisasi hal tersebut. Masyarakat Indonesia lebih bebas mengekspresikan diri dan menunjukkan identitas melalui gaya berpakaian. hal ini terwujud dengan adanya banyak brand yang menggunakan tema unisex pada pakaian mereka.

Kesimpulan

Revolusi fashion sebenarnya tidak untuk memfeminisasi pria dan memaskulinisasi Wanita berdasarkan dengan apa yang mereka pakai. Hal ini berdasar pada pakaian tidak memiliki jenis kelamin. Tujuan dari Genderless Fashion adalah memberikan kebebasan untuk menggabungkan perbedaan antara maskulin dan feminim serta menghilangkan stigma di masyarakat bahwa pria dan Wanita harus mengekspresikan dirinya sesuai dengan gender biologis mereka.

Refrensi 

Deanda, T. R. (2021). ANALISIS POST-STRUKTURALISME PADA GENDERLESS FASHION DI JEPANG SEBAGAI REPRESENTASI AKTUALISASI DIRI OLEH GENERASI MUDA DI JEPANG.

Nuria, Prihantini. (2022). FENOMENA GENDERLESS STYLE PADA FASHION AND BEAUTY DI JEPANG. Other thesis, Unsada

Pambudi, N. S. H., Haldani, A., & Adhitama, G. P. (2019). Studi preferensi masyarakat Jakarta terhadap Genderless Fashion. Jurnal Rupa, 4(1), 54-63.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun