Banyak anggapan bahwa Wanita dilarang untuk menyerupai gaya dari seorang pria dan sebaliknya. Misalnya seorang pria akan dianggap normal Ketika ia mengenakan sarung, dan akan dianggap tidak lazim Ketika ia mengenakan rok Panjang. Orang lain dapat menganggap bahwa sip ria ini memiliki kelainan dalam orientasi seksualnya.Â
Mengacu pada prespektif yang dibentuk masyarakat tersebut, menimbulkan anggapan lain bahwa seseorang yang memiliki gaya berpakaian tidak lazim sesuai gender biologisnya akan dianggap memiliki penyimpangan orientasi seksual.
 Dengan adanya tren Genderless Fashion dan banyaknya produksi pakaian unisex yang populer, tidak sedikit juga masyarakat Indonesia yang sudah menormalisasi hal tersebut. Masyarakat Indonesia lebih bebas mengekspresikan diri dan menunjukkan identitas melalui gaya berpakaian. hal ini terwujud dengan adanya banyak brand yang menggunakan tema unisex pada pakaian mereka.
Kesimpulan
Revolusi fashion sebenarnya tidak untuk memfeminisasi pria dan memaskulinisasi Wanita berdasarkan dengan apa yang mereka pakai. Hal ini berdasar pada pakaian tidak memiliki jenis kelamin. Tujuan dari Genderless Fashion adalah memberikan kebebasan untuk menggabungkan perbedaan antara maskulin dan feminim serta menghilangkan stigma di masyarakat bahwa pria dan Wanita harus mengekspresikan dirinya sesuai dengan gender biologis mereka.
RefrensiÂ
Deanda, T. R. (2021). ANALISIS POST-STRUKTURALISME PADA GENDERLESS FASHION DI JEPANG SEBAGAI REPRESENTASI AKTUALISASI DIRI OLEH GENERASI MUDA DI JEPANG.
Nuria, Prihantini. (2022). FENOMENA GENDERLESS STYLE PADA FASHION AND BEAUTY DI JEPANG. Other thesis, Unsada
Pambudi, N. S. H., Haldani, A., & Adhitama, G. P. (2019). Studi preferensi masyarakat Jakarta terhadap Genderless Fashion. Jurnal Rupa, 4(1), 54-63.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H