Mohon tunggu...
Anike Dwi Febriyanti
Anike Dwi Febriyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Mata Kuliah Kajian Gender dan Wanita Jepang, Fakultas Ilmu Budaya

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Genderless Fashion dalam Prespektif Gender

20 Desember 2022   22:30 Diperbarui: 20 Desember 2022   22:36 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Genderless Fashion di Jepang 

Genderless Fashion di Jepang mulai populer setelah beberapa Top Model Jepang tampil di peragaan busana Tokyo Girls 2015 Autumn Fashion Show. Beberapa Idol dan Selebriti Jepang juga mengadaptasi gaya berpakaian genderless dan membuat tren ini menjadi semakin popular. 

Di Jepang, Gaya berpakaian ini lebih terkenal dikalangan para pria yang disebut Genderless Danshi (laki-laki), dapat diartikan sebagai laki-laki yang bergaya feminim seperti menggunakan make up, mewarnai kuku, mengenakan rok, dan pakaian dengan warna yang menonjolkan sisi feminim.

Masyarakat Jepang saat ini masih dipengaruhi oleh budaya tradisional dan patriarkis.  Mereka masih menganut sistem kelompok, sehingga akan mengutamakan formalitas dalam kelompok daripada ekpresi individu. Jepang memiliki beauty standard serta berbagai macam aturan untuk pemilihan pakaian dari pria dan wanita. 

Munculnya Genderless Fashion ini dianggap melanggar batas standar berpakaian yang sudah ada. Sebab di Jepang pria dan Wanita diharuskan untuk menunjukkan sifat feminim dan maskulin agar memiliki kesan normal dan  diterima oleh masyarakat. Dengan adanya gaya berpakaian seperti genderless danshi, mereka tidak harus menyembunyikan apa yang ingin mereka ekspresikan melalui fashion.

Genderless Fashion merupakan hal yang asing bagi masyarakat Jepang, sehingga awalnya tidak mudah mereka untuk menerima konsep berpakaian unisex. Mereka menganggap bahwa pelaku Genderless Fashion ini memiliki penyimpangan orientasi seksual dan menggunakan Genderless Fashion sebagai wujud ekspresi identitas mereka. 

Misalnya, Kepopuleran genderless juga terjadi pada remaja di Jepang yang dikaitkan pada penggunaan seragam sekolah sebagai wujud identitas diri para siswa siswi pelaku LGBT. Namun, Genderless Fashion tidak memiliki keterikatan dengan penyimpangan orientasi seksual. Mereka hanya ingin mengekspresikan diri lewat pakaian yang dikenakan tanpa Batasan jenis kelamin.

Genderless Fashion di Indonesia

Pada masyarakat Indonesia, Genderless Fashion sudah muncul sejak awal 1960-an juga akibat dari pengaruh barat. Tren wanita dengan gaya berpakaian layaknya pria mengenakan celana Panjang dan juga tampil tanpa riasan sangat popular. Tanpa disadari pengaruh barat sangat melekat pada masyarakat Indonesia pada kala itu. Sehingga Genderless Fashion dijadikan tren oleh Wanita di tahun 90-an pada saat itu.

Dengan kemajuan teknologi internet saat ini, memudahkan untuk melihat tren apa saja yang sedang populer menyebar di media sosial. Sehingga tren penggunaan pakaian unisex juga Genderless Fashion ini Sebagian besar bisa diterima oleh Masyarakat di Indonesia namun masih terikat dengan Batasan tertentu. Misalnya pada penggunaan jas, kemeja flannel, celana oleh Wanita serta penggunaan pakaian dengan warna yang memiliki kesan feminim oleh pria.

Mayoritas masyarakat Indonesia masih menjunjung adat timur serta nilai-nilai tradisional, sehingga keberadaan genderless fashion masih menuai pro dan kontra. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun