Di dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer (Shihab, 2004) Shihab tidak menyatakan bahwa jilbab tidak wajib bagi Muslimah, akan tetapi beliau hanya membeberkan soal ragam pendapat pakar terhadap persoalan hijab dan tidak menetapkan pada satu pilihan tertentu.
Sedangkan Profesor Musdah Mulia mengatakan bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam.
Apakah berkaitan dengan open minded. Ini yang membuat saya sangat tidak sepakat. Muslimah mengenakan hijab memang tidak serta merta suci dari dosa, misal pada suatu kasus ada perempuan berhijab kedapatan berbuat maksiat bahkan berzina, ini hal yang berbeda.
Semua wanita muslimah memakai hijab, ada yang memakai cadar atau melakukan kewajiban, itu di prilaku. Akan tetapi, apakah semua wanita itu menghidari zina, riba, dan sejenisnya, itu sikap!
Open minded tidak berhubungan pula dengan pemakaian hijab. Sama dengan perempuan berhijab yang tidak suci dari maksiat. Hijab ya hijab, bagian dari fashion memenuhi kewajiban menutup aurat.
Bahwa kemudian muncul pandangan bahwa perempuan berhijab itu begini begini itu stereotipe.Â
Pandangan saja, prasangka yang bukan fakta. Misal perempuan berhijab tidak mau salaman, ya tidak semua, pelaku teroris perempuan berhijab, iya tapi yang tidak berhijab juga banyak yang bukan pelaku,Â
perempuan berhijab fanatik, ada tapi banyak pula yang bolong sholatnya bahkan tuduhan perempuan berhijab bukan golongan open minded tidak mau berkawan dengan seide merebak, ini yang miris bikin saya teriris.
Seperti yang saya katakan pada pembukaan, saya berhijab tapi saya open minded. Tidak merasa sebagai fashion manusia gurun tapi fashion Indonesia, karena saya orang Indonesia. Berkebaya pun memakai hijab. Artinya hijab tidak menghalangi saya berfashion Indonesia juga berpikir dan bertindak.
Saya berkawan dengan multi etnis, multi agama, multi suku tetap dengan gaya busana sesuai keyakinan saya. Tidak ada yang risih dengan kehadiran dan pakaian saya ini. Bahkan mereka menghormati. Seorang kawan etnis Cina penganut Katolik bahkan memberi sebuah ruang di rumahnya lengkap dengan peralatan sholat untuk saya menunaikan kewajiban.
Begitupun acara, kami menghormati yang sedang melaksanakan kebaktian menanti mereka tunai untuk ikut kembali bergabung dengan kami.