Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hijab, Bukan Tutup Kepala Manusia Gurun dan Tidak Berkaitan dengan Open Minded

10 Mei 2022   18:39 Diperbarui: 10 Mei 2022   18:58 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya, Berhijab dengan ketua FPK Kabupaten Pasuruan dan pengurus serta warga Papua di Pasuruan. Dokpri

Pernyataan Rektor ITK, Institut Teknologi Kalimantan yang menyebut bahwa hijab adalah penutup kepala manusia gurun, serta mengatakan bahwa mahasiswa yang diwawancarai untuk program LPDP tidak memakai itu dan open minded, sungguh menyinggung keperempuanan saya.

Terutama dalam kalimat open minded. Saya pengguna, pemakai hijab yang boleh disebut fanatik. Berkaitan dengan aturan keyakinan yang saya anut, menolak keras pernyataan Pak Rektor Budi tersebut.

Penutup kepala manusia gurun ini, merujuk pada pernyataanya yang kenyataanya juga dikenakan pelacur juga biarawati saya kenakan massive.

Seperti yang pernah saya baca, penggunaan hijab telah ada sejak zaman Sumeria khususnya di wilayah Mesopotamia. Kira-kira 5000 tahun silam. Bahkan, jauh sebelum agama Islam hadir berkaitan dengan prostitusi, perempuan mengenakan hijab yang tidak sempurna ketika bekerja di prostitusi kuil-kuil untuk membedakannya dengan biarawati.

 Jadi hijab tidak melulu monopoli manusia gurun karena Mesopotamia terletak di negara yang kini disebut Irak. Sebuah lokasi yang digambarkan wikipedia sebagai tanah dari sungai-sungai terletak di antara dua sungai besar, Efrat dan Tigris.

Hijab adalah penutup kepala, titik. Tanpa embel-embel apapun yang terkait dengan demografi atau keyakinan tertentu. Karena faktanya di berbagai belahan dunia lain pun, perempuan juga mengenakan hijab ini.

Wanita Mongolia misalnya mereka menggunakan topi bulu dan kain tipis menjuntai untuk menutup kepalanya, seperti yang pernah saya lihat di serial-serial kungfu mandarin. Mereka menggunakan karena daerahnya dingin, sering bersalju sehingga menutup seluruh badan menjadi keharusan, dari ujung rambut hingga kaki agar terhindar dari cuaca dingin yang menggigit tulang.

Bahwa dalam perkembangan trend ini menjadi sebuah fashion identitas bagi muslimah, ini karena ada kewajiban menutup aurat di dalamnya. Perempuan muslimah sebagaimana dikatakan dalam surat  Ahzab ayat 59 terkena kewajiban ini.

Tafsir Kementerian Agama (Kemenag) terhadap ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan seluruh kaum wanita, termasuk mulai dari para istri Nabi hingga anak perempuan Nabi, untuk mengenakan pakaian yang sopan dengan jilbab yang menutupi tubuh. Terutama saat keluar dari rumah.

Dengan beragam bahan dan mode, jilbab kemudian berkembang sesuai keadaan zaman. Ada yang tipis, ada yang tebal. Asal essensinya menutup aurat maka muslimah telah melaksanakan kewajiban tersebut.

Lantas, apakah wanita tidak berhijab disebut melanggar perintah Tuhannya? Bagi saya, Ya. Meski hal ini belum tentu benar bagi sebagian yang lain. Seorang Quraish Shihab tidak mewajibkan, juga Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Hidayatullah.

Di dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer (Shihab, 2004) Shihab tidak menyatakan bahwa jilbab tidak wajib bagi Muslimah, akan tetapi beliau hanya membeberkan soal ragam pendapat pakar terhadap persoalan hijab dan tidak menetapkan pada satu pilihan tertentu.

Sedangkan Profesor Musdah Mulia mengatakan bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam.

Apakah berkaitan dengan open minded. Ini yang membuat saya sangat tidak sepakat. Muslimah mengenakan hijab memang tidak serta merta suci dari dosa, misal pada suatu kasus ada perempuan berhijab kedapatan berbuat maksiat bahkan berzina, ini hal yang berbeda.

Semua wanita muslimah memakai hijab, ada yang memakai cadar atau melakukan kewajiban, itu di prilaku. Akan tetapi, apakah semua wanita itu menghidari zina, riba, dan sejenisnya, itu sikap!

Open minded tidak berhubungan pula dengan pemakaian hijab. Sama dengan perempuan berhijab yang tidak suci dari maksiat. Hijab ya hijab, bagian dari fashion memenuhi kewajiban menutup aurat.

Bahwa kemudian muncul pandangan bahwa perempuan berhijab itu begini begini itu stereotipe. 

Pandangan saja, prasangka yang bukan fakta. Misal perempuan berhijab tidak mau salaman, ya tidak semua, pelaku teroris perempuan berhijab, iya tapi yang tidak berhijab juga banyak yang bukan pelaku, 

perempuan berhijab fanatik, ada tapi banyak pula yang bolong sholatnya bahkan tuduhan perempuan berhijab bukan golongan open minded tidak mau berkawan dengan seide merebak, ini yang miris bikin saya teriris.

Seperti yang saya katakan pada pembukaan, saya berhijab tapi saya open minded. Tidak merasa sebagai fashion manusia gurun tapi fashion Indonesia, karena saya orang Indonesia. Berkebaya pun memakai hijab. Artinya hijab tidak menghalangi saya berfashion Indonesia juga berpikir dan bertindak.

Saya berkawan dengan multi etnis, multi agama, multi suku tetap dengan gaya busana sesuai keyakinan saya. Tidak ada yang risih dengan kehadiran dan pakaian saya ini. Bahkan mereka menghormati. Seorang kawan etnis Cina penganut Katolik bahkan memberi sebuah ruang di rumahnya lengkap dengan peralatan sholat untuk saya menunaikan kewajiban.

Begitupun acara, kami menghormati yang sedang melaksanakan kebaktian menanti mereka tunai untuk ikut kembali bergabung dengan kami.

Lewat Forum Pembauran Kebangsaan saya dihadapkan pada sebuah perbedaan indah untuk saling menghormati. Keyakinan saya tidak bersinggungan sama sekali dengan kegiatan yang diadakan.

Saya

Ke Kampung Hindu di Gresik bersama FPK
Ke Kampung Hindu di Gresik bersama FPK
Saya bisa sholat di mana saja asal memenuhi syarat. Tempat yang suci, dan ada tempat bagi saya bersuci cukup untuk menunaikan kewajiban. Bahkan ketika saya berkunjung ke kampung Hindu di Gresik, saya sholat di Pura, darurat karena tak ada lagi pilihan, pun ketika liputan ke GKJW ada tempat khusus diberitahukan ke saya untuk menunaikan sholat. Ini mengharukan, mereka sedikit pun tidak menghalangi saya menunaikan keyakinan, bahkan support. Membuat saya lebih taat.

Dari sini saya bisa memandang perbedaan lebih indah, berkawan dengan orang yang tidak phobia terhadap sebuah keyakinan menjadi pilihan.

Justru yang saya heran kepada sesama muslim, curiga ini ada muncul. Yang tidak berhijab mengolok yang berhijab, yang full dress mencela yang setengah telanjang. Mengapakah tidak saling tegur pribadi saja dengan kesantunan?  

Bukankah Nabi kita mengajarkan menutup aib kawan, bahkan dianggap memakan bangkai bila menggunjingkan. Lalu kenapa kita jadi sok paling benar dan menghakimi yang tidak sepaham?

Ranah ini, biarlah milik Tuhan saja. Sebagai yang Maha Benar.

Anis ,Contess untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun