"Aku suka bertani mbak. Bukan hasil yang kunantikan, meski harus kuakui dapat uang dari hasil panen itu juga sangat menyenangkan."
"Trus, apa dong kalau bukan uang."
"Prosesnya. Menyemai benih, merawat, menatap jagung tumbuh dengan tongkol kekar, ini lebih menggairahkan dari pekerjaan apapun. Begitupula kalau aku sedang menanam padi, pergi ke sawah menunggui, menatap tumbuhnya setiap hari di sanalah sensasi. Tak bosan kudatangi dari fajar hingga redup mentari."
"Lalu kenapa kau kemari?" Tanya Mbak Day pada Shadeeq yang mendatanginya lepas duhur, di bibir sungai Dam Licin.
"Karena aku akan mengajakmu ke sawah. Di sana ada gubuk kecil kuundang Mbak k makan siang di sana."
Seperti menyenangkan. Menatap sawah, menikmati makan di tengah hamparan padi. Ini yang dibayangkan Mbak Day. Tak ada alasan menolak, apalagi ditemani bujang yang selama ini rajin menyapa sunyi hatinya.
Menyeberang sungai, bergandeng tangan, lewat pematang, Mbak Day dan Shadeeq sampai di gubuk tengah sawah. Sungai Dam Licin berada tepat di atas sawah Shadeeq.
Terlihat padi yang berdiri tegak menghijau, sehat. Tak nampak ada penyakit atau hama menggerogoti. Rupanya perawatan yang dilakukan Shadeeq cukup berhasil.
"Tumbuhan padimu bagus gitu,"celetuk Mbak Day pada Shadeeq yang mulai membuka bekal makanan dari rumah.
"Ya mbak Alhamdulillah. Semoga terus begini sampai panen tiba."
"Apa nih rahasianya, beda lo sama yang di sana," telunjuk Mbak Day mengarah pada kondisi sawah agak jauh dari tempat Shadeeq.