Yang terpikir memang dia, namun untuk kecepatan langkah, saya menghubungi Kades setempat. Nihil, tak ada respon tindakan cepat untuk mendirikan rumah itu lagi, yang dalam pikiran saya tidak terlalu makan biaya.Â
Cukup belikan kondek beberapa meter sebagai atap, juga gedek atau triplek sambil memanfaatkan sisa kayu yang ada untuk penyangga. Dirikan, kerja bakti, ajak warga dan tagana atau anggota Koramil setempat, tak sampai sehari saya yakin bisa berdiri lagi rumah itu.
"Mohon maaf bu, saya kordinasi dulu sama perangkat saya, jadi saya gak bisa jawab," kata kades setempat merespon pertanyaan saya tentang apa yang akan dilakukan pemdes untuk segera membantu pak Abdul Rohim atas rumah robohnya.
Makin pilu rasa hati ini. Ingin segera terjun ke lokasi, menghubungi pribadi orang-orang kaya di desa itu, untuk ikut urunan, menyumbang rumah korban agar segera didirikan, paling tidak tempat berteduh sementara yang tak terbuat dari terpal.
Belum bisa hari ini, tanggungan  pekerjaan mengerjakan proposal sebuah desa harus selesai, mungkin besok baru bisa menengok. Bayangannya harus tidur di bawah tenda muncul lagi, menyiksa pikiran.Â
Membuat saya mengiyakan ajakan Dewan Zaini yang mengatakan akan segera ke lokasi saat saya kirimi beritanya. Padahal, senin biasanya saya ada jadwal penimbangan bank sampah, tunda. Saya ingin segera melihat langsung kondisi Abdul Rohim.
"Apa yang urgen diberikan pada pak Abdul Rohim itu?" tanya saya pada Ojin.
"Dipan, usahakan bantuan itu dulu untuknya kalau datang, saya sendiri akan ikut nyumbang kalau pak Dewan nanti datang dan tidak membawa uang yang cukup. Kita urunan yuk. Sakno, meski dapat kasur lantainya tanah. Nanti kalau ada tikus bagaimana," usulnya.
"Berapa harganya."
"Tujuh ratus ribuan sudah boleh paling. Yang penting bisa dipakai tidur bertiga."
"Sama beras ya, dia butuh bantuan pangan sekarang."