Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagi Menu Kambing Pada yang Bukan "Pemakan Daging"

25 Juli 2021   11:14 Diperbarui: 25 Juli 2021   11:42 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Kapan terakhir kali ibu makan daging kambing?"

"Tidak pernah bu! Ya baru sekarang ini."

Percakapan tersebut saya dapatkan saat berkunjung ke desa dusun Sumber Gentog desa Jati Gunting Kecamatan Wonorejo Kabupaten Pasuruan Jatim.

Untuk berbagi daging Aqiqah rencananya, kepada penduduk dusun Sumber Gentong. Buah dari persahabatan saya dengan Novie Purwanti, novelis Surabaya yang suka berderma. Sering sebagian honor menulis novelnya diberikan kepada saya untuk dibagikan, sekedar berbagi bahagia katanya. Menebar sedikit dari sejuta kebaikan yang direncanakan.

Seperti yang dia lakukan Sabtu, 17 juli lalu.   Novelnya yang berjudul 'Mata Batin Ning Mumtaz mendapatkan penghasilan lebih dari 10 juta di bulan Juni. Sebuah jumlah fantastis yang membuatnya berucap nadzar.


"Mbak kalau novelku bulan ini bisa tembus 10 juta, titip untuk Qurban ya. Berikan ke daerah orang tak punya yang sering mbak datangi."


"Iya, bismillah saya akan carikan daerahnya."


Tak lama notifikasi rekening berbunyi, sejumlah 2 juta lebih dia kirimkan. Langsung saya hubungi warga daerah sasaran, Dam Licin Dhompo Keraton, meminta dicarikan nomor rekening agar saya bisa transfer.

Cerita tentang daerah Dam Licin saya lanjutkan nanti. Sekarang saya akan tulis tentang dusun Sumber Gentong dulu. Bagaimana bisa saya bisa sampai ke sana dan apa yang saya lakukan ketika tiba.

Berawal dari unggahan berita saya tentang rumah mbok Jaminah, warga dusun lain di desa Jatigunting yang saya tulis untuk jatimsatunews.online di laman FB.


Salah seorang akun dewan komisi 3 DPRD Pasuruan saya tag untuk tulisan itu, secara dialah muasal ide pembedahan rumah dan menyempatkan turun ke tempat itu juga. 

Muhammad Zaini membantu rumah Mbok Jaminah

Mendapat respon bukan hanya dari sang anggota dewan tetapi juga dari warga dusun lain di desa Jatigunting. Sholihin namanya, yang belakangan baru saya tahu bahw dia juga guru SMK di Pesantren Al Yasini dekat desa Jatigunting juga bendahara di desa tersebut.

"Mohon maaf, di desa saya masih ada rumah yang tidak layak huni, daerah kecamatan Wonorejo dusun Sumbergentong."

"Ya Allah, bisa difotokankah desa mana?"

" Jatigunting, insya Allah besok."

Benar, esoknya saya dikirim foto sebuah hunian yang dipakai berdiam bu Hadijah dan suaminya, Kartono.

Miris menangis mata ini, gambar foto itu diambil saat penghuni sedang bekerja sebagai buruh pengupas Randu, untuk diambil kapukanya. Tanpa jendela, hanya sebentuk kotak berdinding triplek dan gedek ( anyaman bambu ) dengan atap kondek. Variasi tambalan kain di bawah, pada bagian lubang dan mulai lapuk.

Pintu terbuat dari triplek tebal terkunci rapat, tidak ada tanda penghuni di rumah.


"Insya Allah besok saya fotokan ketika ada penghuni bu," jelas Sholihin.

Belum sempat difotokan, mbak Novie memberi kabar yang mendorong saya datang ke dusun rumah Bu Hadijah tinggal.

"Mbak, adikku si Ima mau melahirkan, mohon doa ya. Nanti kalau sudah brojol aku titip untuk aqiqah."

"Wah kapan ini, iya insya Allah tak bantu nangani untuk Aqiqahnya."

"Senen kayaknya mbak, tanggal 12 Juli."

"Yowes nanti kalau lahiran pean hubungi aku, tak cari daerah sasaran dulu. Paling tidak di tempat yang orang-orangnya bukan pemakan daging. Biar mereka bahagia dapat sajian istimewa."

"Hiks, pemakan daging."

" Iya, Orang-0rang yang jarang atau belum pernah makan daging. Pasti lebih kena sasaran, mereka akan rasakan bahagia karena berkesempatan  makan menu istimewa."

"Ngono ta, manut wes. Kutransfer ya. Anggaran 1 juta 5 ratus ribu."

"Sebentar, kan belum tahu laki apa perempuan. Kalau laki kan 2 kambing," sergah  saya mencegah.

"Boleh kok mbak, Kan adikku tidak mampu. Aku juga tidak ada anggaran kalau 2. Supaya kalau besar tidak terlupa jadi aku niatkan sedekah untuk aqiqah lahirnya ponakanku."

Tidak ingin berdebat, saya memahami keputusannya. Memang harusnya sesuai perintah Rasul kami, Muhammad SAW Aqiqah untuk anak laki-laki adalah 1 kambing dan untuk anak perempuan 2 sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam kumpulan kitab hadistnya.

"Sesungguhnya Nabi saw memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing." (HR. Imam Tirmidzi)

Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua orang tua mampu untuk membeli jumlah kambing yang disyaratkan tersebut. Sehingga banyak kasus di tengah masyarakat, seorang anak sudah dewasa namun belum diakikahkan.

Tentang hal ini, di kalangan ulama mazhab Maliki, antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan jumlah kambing yang harus disembelih. Oleh sebab itu, jika bayi laki-laki diakikahkan dengan satu ekor kambing, hukumnya tetap sah.

Saya pikir untuk kasus mbak Novie tak mengapalah. Toh ada madzhab yang membolehkan. Dengan alasan-alasan yang menurut saya sudah memenuhi syarat.

Pendapat tersebut juga disepakati mayoritas ulama bahwa akikah anak laki-laki dengan satu kambing tetap sah selama kemampuan orang tua memang hanya sebatas itu.

Dalam hal ini satu rujukan kisah tentang Aqiqah yang pernah  dipraktikkan Nabi Muhammad saw ketika mengakikahkan cucunya dari Sayyidah Fatimah, Hasan dan Husain bisa dijadikan sandaran. Yakni masing-masing jiwa satu ekor kambing.

Sekelebat bayang tertuju pada rumah Bu Hadijah, saya ajukan ini pada Mbak Novie. Tidak keberatan, maka saya hubungi Sholihin. Menyampaikan niat saya berbagi Aqiqah di rumah bu Hadijah dan lingkungan sekitar.

"Tolong dicarikan pengusaha paket Aqiqah ya, anggaran 1 juta 500."

"Waduh bu, saya belum pernah. Apa ada ya bu."

"Kalau njenengan tidak bisa saya akan pesankan di tempat yang saya tahu. Akan tetapi supaya njenengan kenal sama yang dipesan dan bisa memastikan menu Aqiqah bisa tersalurkan tepat waktu alangkah baiknya njenengan saja. Sekarang masih PPKM Daru gerak saya terbatas. Baru kalau tidak bisa saya turun tangan."

"Baik bu saya carikan dulu."

Esok hari, kabar baik disampaikan Pak Sholihin.

"Alhamdulillah bu, saya sudah dapat orang yang jualan paket Aqiqah."

1,5 juta rupiah masuk ke rekening saya. Memastikan harinya mbak Novie menyampaikan berita lebih cepat dari perkiraan.

"Mbak Ponakanku lahir, tadi sudah kutransfer. Tolong dibantu ya."

"Kapan?"

"Hari ini, Sabtu 10 Juli."

"Oke, berarti Aqiqah Sabtunya lagi 17 Juli. Cuss segera tak agendakan."

Menghubungi pak Sholihin, memintanya mengatur segala sesuatu termasuk ijin RT, RW, Kepala dusun dan Kades.

"Tolong disampaikan niat aqiqah ini ya ke pemangku wilayah setempat. Njenengn buatkan prasmanan maksimal 10 orang untuk beliau bila berkenan datang. Sisanya monggo diatur mau dibagi kotak an atau bagaimana sak kerso."

"Iya bu."

Rekening pak Sholihin saya minta, mengiriminya dana untuk digunakan memesan paket Aqiqah yang akan dibagi Sabtu 17 Juli. Tepat 7 hari dari kelahiran Daffa Lintang Cakasana, keponakan mbak Novie dari ibu kandung bernama Ima.

Sabtu pagi saya datang, naik motor Supra Fit X warisan almarhum suami mbak Novie yang diminta saya pakai. Sedikit susah payah menjangkau, sawah, sungai saya lewati akhirnya sampai juga.

Bu Hadijah, hijab biru diantara ibu-ibu tetangga/dokpri
Bu Hadijah, hijab biru diantara ibu-ibu tetangga/dokpri
Disambut  ibu-ibu warga setempat, ketua RT, RW, Kasun dan beberapa warga. Kades Jatigunting Yudi meminta maaf tidak bisa hadir, karena harus mengantar warganya ke yang sakit parah ke UGD. Iya, lebih urgent yang sakit daripada yang selamatan. Saya memaklumi itu. 

Hingga terjadilah percakapan seperti saya tulis di paragraf pembuka. Hari gini, masih ada orang yang mengaku tidak pernah makan daging. Sungguh mengherankan. Mungkin pada beberapa hari terakhir ya. Untuk itu saya pastikan lagi bertanya.


"Apa betul?"


Serentak jawaban lagi saya terima. Dari ibu-ibu tetangga bu Hadijah.


"Iya bu bener. Kami lama tidak pernah makan daging, apalagi kambing. Ini adalah pertama kalinya," tutur salah seorang.

Bu Hadijah hanya terpana, kesulitan komunikasi membuatnya diam tersenyum saja. Rupanya dia hanya bisa bahasa madura.


"Dek iye bu Hadijah? Tak pernah ngakan daging kambing?" Saya mencoba akrab menggunakan sedikit kebisaan saya berbahasa Madura.

"Eng gih bu, tak pernah,"

Seketika menggenang sedikit air di pelupuk mata saya. Penampilannya yang lusuh tanpa make up muka membuat saya trenyuh. Saya mengerti bahwa jawaban ini hiperbola saja, demi menunjukkan makan menu daging kambing sesuatu yang langka mereka nikmati. Mungkin setahun sekali kalau idul adha, ketika banyak orang berbagi daging sembelihan.

Atau bisa jadi orang-orang di kampung bu Hadijah terlupakan? 

Ah sudahlah yang penting saya sudah datang. Memberi kesempatan bu Hadijah dan warga sekitar ikut menikmati sajian menu daging kambing untuk aqiqah Daffa Lintang Cakasana.

Canggung dia menerima kedatangan saya. Pak Sholihin yang memandu agar saya memasuki rumahnya. Ada karpet pinjaman terhampar di atas lantai tanah.  Tersaji menu makanan khas Aqiqah, gule dan sate. Ditata memikat mata, berjajar di tengah hamparan karpet.  Menyisakan ruang kosong di pinggir sebagai tempat duduk penikmat.

Sebelum duduk menghadap sajian saya meminta penjelasan pada pasangan bu Hadijah dan suaminya Pak Karnoto yang duduk di ruang tamu tanpa meja kursi, hanya ada lahan kosong,  siap gelar tikar bila ingin duduk.

Atap dalam rumah/dokpri
Atap dalam rumah/dokpri
Mendongak ke atas, terlihat jelas kondek saja menutupi rumah dari panas dan hujan.

"Tidak pernah bocor kok bu, alhamdulillah."

Masih bersyukur dia, kalah saya yang sering mengeluh dengan rumah dinding tembok saya yang lebih layak. 

Penjelasan pak Karnoto mengharu biru perasaan. Kondisi rumah ini menumbuhkan rasa campur aduk. Antara bersyukur karena hunian saya lebih layak juga merasa ironi mendapati saudara setanah air yang berada di garis kemiskinan begini.

Dapur Bu Hadijah/dokpri
Dapur Bu Hadijah/dokpri
Belum lagi ketika mengamati dapurnya. Hanya ada satu kompor gas, dengan rak piring tanpa alat pecah belah.

"Lha piringnya ditaruh mana bu?"


"Ini bu, ada 2 untuk suami dan saya."

Jebol sudah pertahanan air mata saya. Deras, terisak tak tertahan. Apalagi menyaksikan dindingya yang hanya gedek lubang-lubang. 

Belum lagi menyaksikan kondisi kamarnya yang sangat kecil. Hanya cukup ditempati satu dipan dengan kasur kapuk ukuran lebar 1,2 M x 180. Tidak ada sprei dengan baju digantung begitu saja di dinding kamar gedek. Tanpa cahaya, karena listrik diberi tetangga.

Ada sajadah tersampir diantara baju-baju.

"Untuk sholat bu?"

"Eng gih. Sholat saya di kamar ini kalau sedang tidak ke musholla."

Subhanallah, dia masih mengingat Tuhannya diantara kemiskinan yang mendera. Keluh disampaikan pada sang pencipta, tidak sampai meminta-minta pada manusia. Pantas saja dari mulutnya terlontar kalimat syukur pada Tuhan. Bukan keluh mengaduh karena nasibnya yang kekurangan.

Seketika saya ingin berbuat sesuatu untuk menjadikan rumahnya layak huni. Paling tidak mengganti dindingnya dengan tembok bata.

"Rumah ini apa sudah pernah diajukan untuk dapat bantuan pak RT?"


"Sudah bu tapi tidak dapat."


"Kepada siapa, alasannya apa?"


"Ke Kades bu, dana untuk renovasi tidak ada kena recofusing Covid-19."


Ya betul, saya memaklumi hal ini. Kades dimanapun yang saya temui sering mengeluh tak ada anggaran. Habis untuk penanganan Covid.


"Dari yang lain adakah? TNI misalnya. Soalnya saya pernah menemukan di beberapa daerah mendapat bantuan dari Kodim."


"Iya bu pernah ada, tetapi bantuan itu ditarik kembali. Tidak tahu sebab apa, mereka tidak menjelaskan," terang Pak RT.


Fix, rumah ini tidak pernah dibantu. Saya ingin memberi dari kantong sendiri andai punya. Perkiraan Pak Sholihin butuh bata sekitar 1000 biji. Itu artinya tidak sampai 1 juta karena harga bata merah per biji sekitar 700 an. Kalau ada saat itu juga saya belikan. Tetapi rekening saya terkuras habis untuk biaya ajaran baru anak saya yang di pesantren.

Menerawang mata saya, mengamati seluruh sudut rumah. Menghitung apa apa yang perlu dibantu. Rasanya, tak sanggup kalau saya sendiri turun tangan.

Terbersit nama Zaini lagi, langsung saya chat menghubungi.

"Salam bapak, bisa bantu saya kah?"


"Ya bu, tentu misal bisa."


"Saya sekarang berada di rumah yang tidak layak huni. Satu desa dengan rumah Mbok Jaminah yang bapak usahakan bantuan kemarin."


"Siap bu, kirim foto saja ya dengan KTP dan KK."

Tak menunggu lama respon diberikan.


"Mbrebes mili saya bu, langsung saya ajukan ke koordinator RTLH Kabupaten. Segera kita agendakan ke sana menyampaikan kabar baik ya bu," lelaki muda itu langsung memberikan jadwal. Maha besar Tuhan, Dia temukan saya jalan.

Kunjungan saya ke rumah bu Hadijah segera saya akhiri. Tidak baik berlama dalam situasi masih pandemi seperti ini. Tujuan saya berbagi bahagia lewat acara Aqiqah telah tercapai. 45 kotak siap dibagikan ke tetangga juga  masakan matang untuk bu Hadijah dan keluarga.

 Saya ikut makan berbaur dengan mereka. Merasa geli melihat bu Hadijah hanya mengambilkan kuah gule untuk suami, baru diberi daging ketika saya minta memberi. Rupanya ini salah satu trik penghematan. Kuah akan ditambah bila daging masih ada. Tinggal menambah garam untuk dimakan lagi esok lusa.

Bu Hadijah menerima bantuan uang tunai Rp.150.000/dokpri
Bu Hadijah menerima bantuan uang tunai Rp.150.000/dokpri
Salam pamit saya haturkan, tanpa jabat tangan. Uang tunai 150.000 dari mbak Novie saya berikan untuk sedikit meringankan kebutuhan hidup beberapa hari.

 Ucapan terimakasih tak henti keluar dari mulutnya dalam bahasa Madura. Saya tersenyum, ikut merasakan bahagia dari perjumpaan ini. Satu kantong kacang tanah diberikan pada saya.

"Buat camilan di jalan bu."

Saya terima, dengan sebuah ucapan perpisahan untuk datang lagi.

"Mohon doa agar saya bisa datang kembali dengan kabar baik untuk perbaikan rumah ibu."

Ucapan Aamiin serentak saya dengar, rupanya dari arah tetangga yang ikut menyaksikan saya pamit akan pulang. Kalau sudah begini apalagi yang bisa membahagiakan selain bisa berbagi?

Anis Contess untuk Ruang Berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun