Terlahir berbeda dari saudara kandung untuk bentuk rupa ada yang tak mengenakkan dada. Apalagi bila lebih "jelek" dari yang lainnya. Pasti hinaan atau nada merendahkan kerap diterima. Menyebalkan.
Itu yang saya alami berpuluh tahun lalu, saat masih usia TK, saat saya mulai mengerti ucapan orang dewasa.
"Ini siapa bu?"
"Anak saya."
"Kok tidak mirip ya."
Yang lebih tidak mengenakkan bila dibandingkan.
"Tidak mirip sama sekali dengan saudara-saudaranya ya bu."
Saya tahu, mereka agak sungkan untuk mengatakan bahwa saya lebih jelek, lebih hitam dibanding saudara saya.
Sedih tentu saja, itulah alasan kenapa saya enggan berjalan bersama ibu. Pasti dibandingkan, pasti diledek.
Itu pula yang membuat saya enggan berkawan dengan perempuan. Cap hitam jelek membuat saya takut dibanding-bandingkan dengan sesama perempuan. Pilihannya satu, bergaul dengan lelaki. Untuk segala aktifitas, memanjat pohon, bermain menyelam di sungai, bahkan juga berkelahi.
Ini terjadi sampai lewat usia anak-anak. Pubertas membuat saya mempunyai ketertarikan dengan lawan jenis. Tapi itu tadi. Minder, manalah ada yang mau sama perempuan jelek seperti ini. Menahan diri, memendam rasa.
 Melupakan dengan menyibukkan dengan beragam kegiatan. Pramuka salah satunya. Kegiatan yang paling saya suka meskipun tambah membuat penampilan ini jauh dari cantik. Makin hitam saja warna kulit ini.
Saat dewasa beberapa kawan dekat mulai punya pasangan. Ingin juga sebetulnya, tapi tahu diri, jadi ketika ada teman kencan, sering sering saya dijadikan obat nyamuk. Menemani kawan agar boleh keluar sama orang tuanya, melihat mereka pacaran sambil saya mojok baca buku atau koran ditemani minuman.
Ingin punya kekasih, itu yang membuat saya mulai melirik benda-benda yang bisa membuat cantik. Make up saya beli, melihat tutorial di majalah. Belajar mematut diri di cermin kamar secara diam-diam.
Sampai suatu ketika ibu memergoki. Terheran dia melihat peralatan make up yang saya miliki.
"Untuk apa semua ini?"
"Biar kelihatan cantik bu."
"Aih, anak ibu sudah besar rupanya. Kenapa tiba-tiba ingin kelihatan cantik?"
Geragapan aku menjawab pertanyaan ibu. Tak pandai berkelit kukatakan jujur padanya bahwa aku ingin pula punya gandengan seperti kawan-kawan.
Ibu tersenyum lalu melanjutkan ucapan. "Sedang ingin memikat lelaki ya."
Tersipu, tak berani menjawab meski perkataan ibu benar.
"Untuk memikat lelaki, alat make up ini tidak diperlukan. Kecuali kalau kau ingin lelaki hidung belang yang cuma suka penampilan luar saja."
"Nah, sekarang tentukan dulu kriteria lelaki yang kau inginkan. Lelaki baik pasti ingin mendapat perempuan baik-baik. Tak perlu mengusap bedak tebal apalagi menyapukan warna warni menor di wajah, malah kelihatan seperti lonte nanti. Yang wajar saja, kebersihan wajah dan badan itu yang utama. Juga tentu saja hati. Jangan risau, jodoh itu sudah ditentukan Tuhan."
Perkataan ibu yang panjang lebar seketika menyadarkan saya. Penampilan memang perlu, tampak cantik itu asik. Tapi menor tidak. Untuk kualitas lelaki idaman rasanya tak perlu berpenampilan berlebihan, apalagi seperti lonte.
Sejak itu saya tak lagi risau dengan pasangan. Lelaki baik untuk perempuan baik. Jadi saya harus jadi anak baik-baik. Belajar mempercantik diri tetap, tapi dengan kadar wajar, tidak berlebihan.
Beberapa tahun kemudian perkataan ibu saya terbukti kebenarannya. Tanpa kecantikan berstandar umum saya mendapat jodoh lelaki tampan. Sesuatu yang di luar prediksi.
Ternyata betul, jodoh itu di tangan Tuhan. Upaya menjadi baik akan mendapat balasan, termasuk urusan jodoh. Perempuan baik akan mendapat lelaki baik. Tipe idola seseorang pasti berbeda-beda, tidak usah galau tidak mendapat jodoh. Demikian pula urusan kecantikan, pasti relatif untuk seseorang.
Ah, Jadi ingat perkataan Vikcy Notonegoro yang dilansir Tribun Manado.co.id 27 November lalu. Dia mengaku lebih senang perempuan yang mengerti dengan agama.
"Kalau dia ngerti agama dia pasti setia, dia pasti mengikuti pedoman. Gak usah diajarin lagi, dia udah paham agama," ucap Vikcy. Cantik tidak dijadikan ukuran utama.
Perkataan ibu puluhan tahun lalu, lagi-lagi betul. Masih relevan hingga jaman millenial ini. Buktinya, pendapat Vicky seolah menyepakati kata-kata ibu saya. Meski tak mereka pernah bertemu.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI