Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki yang Kupanggil Zen

10 Maret 2020   07:41 Diperbarui: 11 Maret 2020   20:13 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gawai yang tergeletak di dashboar Fortuner bergetar, ada gambar perempuan cantik berhijab tersenyum. Penasaran,  kuangkat saja panggilan telepon itu." Ya Hallo."

" Hallo,  Pak Zen ada?"

" Oh,  dia sedang ke kamar mandi."

" Mbak siapa?  Katakan saya mau bicara."

" Saya istrinya,  iya nanti saya sampaikan. Ini sedang di Pom bensin,  saya menunggu di mobil. "

Gilak,  tetiba aku dengan garang dan lantang memproklamirkan diri sebagai istri,  padahal tidak pernah ada akad sama sekali.  Zen,  lelaki itu memang sering mengajakku menikah,  tapi aku selalu mengabaikan. Dengan satu alasan tetap yang selalu  kukemukakan,"kita tidak bisa menikah. Kau tahu itu.  Anakku. Dia takkan mau  kita bersatu."

"Kalau begitu kita menikah sirri, biar kita halal saja."

"Gak,  aku gak mau. Kita berteman saja. Partner kerja." Tegas,  kuputuskan begitu untuk hubunganku dengan lelaki yang kupanggil Zen dengan nama depan Zainal.

Zen adalah peneliti wisata,  dia researcher. Aku yang menerjemahkan semua kemauannya dalam tulisan.  Menjadi buku,  menjadi artikel untuk tayang di media. Job yang dia dapatkan untuk meneliti sebuah daerah dari HPI,  Himpunan Pariwisata Indonesia atau dari stake holder sebuah daerah, kutuangkan dalam tulisan.  Mencari celah kemungkinan mengangkatnya menjadi sebuah destinasi yang layak jual.

Kuanggap itu sebagai kerja saja. Meski tidak ada MOU tertulis. Free lance,  aku minta bayaran sesuai keringatku. Honor menulis dan biaya menerbitkan buku. Dia sepakat,  malah sering memberikan fasilitas lebih untuk yang  biasa saja kulakukan.  Misal mengantar jemputku tanpa ada kepentingan pekerjaan. Ini menyenangkan tentu saja,  tapi ujungnya mengkhawatirkan juga ternyata.  Ada rasa aneh yang mulai menjalar relung dada.

Aku tidak tahu sejak kapan rasa itu muncul. Tak ada sapanya sehari membuatku risau,  menengok nama di android yang kupunya merupa kebiasaan baru bila dia tak menyapa atau sekedar chat.  Gelisah,  sedang apa,  dengan siapa dia di sana memukuli pikiran di kepala.

Padahal aku selalu berkeras menolak ajakannya menikah. Tak ada rasa,  itu yang utama. Selain kemudian kumunculkan deretan alasan masuk akal untuk bisa dia terima agar tak lagi ngotot menikahiku. Dari mulai kebiasaannya merokok, keinginanku bebas pergi ke mana saja tanpa harus ijin hingga penolakan anakku,  bila ibunya menikah lagi.

 Ya,  sejak Sam meninggalkanku dengan perempuan pelosok yang baru dia kenal ketika kunjungan dinas itu,  aku ilfil dengan lelaki.  Makhluk yang mudah menaruh cinta di mana saja. Tak peduli siapa,  asal mau disasar diembat pula. Gugat cerai kulakukan. Tawaran Sam tetap menjadikanku istri tua demi Fatur, buah hati semata wayang yang waktu itu telah remaja, kelas 1 SMP kutolak mentah-mentah.

 Gila apa,  tahu dia berselingkuh saja amarah ingin membunuhnya bergemuruh apalagi dijadikan mbok tuwo,  istri tua. Bisa kusianida dia nanti. Menahan diri,  ibu menyadarkanku,  kalau tak mau ya sudah, pisah saja. Jangan lakukan tindakan konyol apapun. Selain akibatnya tidak baik untuk diriku juga pertimbangan psikologis Fatur.

Kuturuti ibu. Sam kugugat cerai. Tanpa bertemu. Bahkan di pengadilan, kuhadapi hakim dan jaksa. Pengacara mendukungku dengan serangkaian bukti perselingkuhan Sam. Tak ada izin dariku dia menikah lagi. Itu cukup menguatkan alibi yang kuajukan. Surat cerai resmi segera kudapatkan sesudah itu.

 Pengacara kuminta mengatur segala sesuatu tentang hak asuh anak. Meniadakan kemungkinan Sam menemui Fatur pun diriku.  Terkabul. Aku berhasil memenangkan perkara.  Sejak itu selesai  sudah ceritaku dengan Sam.  Over.

Kesumat pada lelaki membuatku menutup diri, dingin. Tak ada celah kubuka hati pada makhluk berjenis kelamin lelaki. Aku galak pada mereka,  senyum ini kujaga,  sampai julukan muka rata untukku kudengar,  kusandang.  Aku tidak peduli. Kalau saja tak ingat nasehat ibu untuk bersikap baik pada siapa saja,  rasanya enggan berteman lagi dengan lelaki. Apalagi dengan yang terlihat antusias mengejarku,  berterus terang ingin menikahiku. Seperti lelaki yang kupanggil Zen ini.

"Lama ya, maaf perutku mulas sesudah sarapan pecel pedas tadi." Sapa Zen padaku usai buang air. Langsung duduk di belakang stirr, mulai melajukan kendaraan,  keluar dari Pom bensin.

Aku diam saja,  tak bereaksi apa-apa. Kubiarkan Zen dengan ocehannya tentang Nasi pecel murah yang dia makan tadi pagi di pinggir jalan sebelum datang menjemputku. Muka kutekuk sedemikian rupa,  manyun pokoknya. Sewot menguasai hati.

"Kau kenapa? belum sarapan ya?"
Tetap tidak kujawab. Kutunjukkan muka paling tidak menyenangkan dengan sedikit dengus dan helaan.

"Ayolah,  aku tahu kau sedang ada pikiran. Jangan begitu, mukamu rata tuh."

Perkataanya membuatku terdorong melihat spion depan,  sedikit senyum kusunggingkan, merasa geli dengan raut wajahku. Muka rata, aih,  inikah dia. Mencair,  aku mulai bisa menguasai keadaan.

" Gak ada apa-apa," datar perkataanku memecah kebekuan.

"Tak mungkin,  aku mengenalmu. Kau number one untuk urusan ngambek begini.  Katakan,  ada apa hem?" berkata dia sambil telapak tangan kirinya  menyentuh daguku.

"Ih,  apaan sih. Tuh tadi ada telepon dari Eni." Reflek,  kusingkirkan tangannya.

" Oh ya,  bilang apa dia."

"Gak bilang apa - apa, dia nyari kamu,  mau bicara dengan kamu."

" Trus kok kamu marah,  pasti ada sesuatu ini. Kau bilang apa sama dia?"

Helaan panjang kuhembuskan sebelum mengatakan, aku tidak mau pengakuanku ketika menjawab telepon perempuan bernama Eni tadi berbuntut panjang. Kuatir  Zen akan dikonfrontir.

"Kukatakan kau sedang ke kamar mandi tadi. Dan,  kukatakan  pula kalau aku istrimu."

Tawa Zen pecah seketika. Membahana,  mengalahkan suara Dua Lipa " Don't Start Now". Lama dia terbahak sebelum akhirnya berkata-kata. "Kau cemburu, itu artinya kau mencintaiku. Haha, akhirnya."

" Nggak,  aku gak cemburu,  aku hanya tidak suka ada perempuan genit menelponmu."

"Haha,  itu cemburu tahu. Atau kau sudah lupa?" Kerling matanya menggoda dengan tangan lagi-lagi menyentuh daguku.

"Ih,  kau ini. Tanganmu itu loh!" Kupasang muka tak suka, melotot padanya.

"Hahaha,  istriku, istriku.  Hari ini aku mau kau jadi istriku.  Kita ke rumah ibumu sekarang.  Biar dia panggil kakakmu,  jadi saksi. Terserah   ibumu siapa yang mau menikahkan. Kita ke toko emas sekarang,  aku mau belikan kau cincin buat kita menikah nanti."

" Ah,  eh. Kok gitu. Ini mendadak sekali Zen,  aku belum bicara apa-apa sama Fatur. Dia sedang ujian. Akan kelulusan. Aku tidak mau mengganggu konsentrasinya."

"Trus kapan hemm," Dipinggirkannya mobil, dibawah pohon besar. Matanya menatap tajam ke arahku. Meraih tanganku, menggenggam erat.

" Kita akan menikah nanti malam.  Kau akan menjadi sebenar-benar istri,  bukan hanya pengakuan.  Bohong itu tidak baik tahuk. Haha."  Girang sekali nada bicaranya.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Kebingungan menyeruak seketika.  Bayangan Fatur dan ibu yang pasti akan terkaget berkelebat bergantian. Sementara Zen,  dengan percaya diri melajukan mobilnya kembali. Sambil terus ikut bergumam dendang Dua Lipa "If you don't wanna see me dancing with somebody, If you wanna believe that anything could stop me,Don't show up, don't come out.."

Entah apa yang harus kulakukan. Pas benar kalimat itu kurasakan. Diiringi irama lagu Via Valen yang terkenal. Entah apa yang merasukimu. Duh. Que Sera Sera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun