" Gak ada apa-apa," datar perkataanku memecah kebekuan.
"Tak mungkin,  aku mengenalmu. Kau number one untuk urusan ngambek begini.  Katakan,  ada apa hem?" berkata dia sambil telapak tangan kirinya  menyentuh daguku.
"Ih, Â apaan sih. Tuh tadi ada telepon dari Eni." Reflek, Â kusingkirkan tangannya.
" Oh ya, Â bilang apa dia."
"Gak bilang apa - apa, dia nyari kamu, Â mau bicara dengan kamu."
" Trus kok kamu marah, Â pasti ada sesuatu ini. Kau bilang apa sama dia?"
Helaan panjang kuhembuskan sebelum mengatakan, aku tidak mau pengakuanku ketika menjawab telepon perempuan bernama Eni tadi berbuntut panjang. Kuatir  Zen akan dikonfrontir.
"Kukatakan kau sedang ke kamar mandi tadi. Dan,  kukatakan  pula kalau aku istrimu."
Tawa Zen pecah seketika. Membahana, Â mengalahkan suara Dua Lipa " Don't Start Now". Lama dia terbahak sebelum akhirnya berkata-kata. "Kau cemburu, itu artinya kau mencintaiku. Haha, akhirnya."
" Nggak, Â aku gak cemburu, Â aku hanya tidak suka ada perempuan genit menelponmu."
"Haha, Â itu cemburu tahu. Atau kau sudah lupa?" Kerling matanya menggoda dengan tangan lagi-lagi menyentuh daguku.