Mohon tunggu...
aniesa puspitasari
aniesa puspitasari Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka hujan dan segelas teh hangat

perempuan pecinta hujan dan puisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kupu Hitam

10 Juli 2024   17:57 Diperbarui: 10 Juli 2024   17:59 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kupu Hitam

Tonggeret mulai berbunyi. Tanda alam jelang musim kemarau. Debu beterbangan mengusik hidung. Panas luar biasa. Sawah-sawah mulai kering. Berundak-undak turun naik Tanaman kayu putih daunnya mulai menguning. Tanahnya menganga lebar. Retak- retak di seluruh bagian sawah. Lungkah sebutannya. Burung layang-layang beterbangan di langit. Pohon ketela pohon alias singkong daunnya tak serimbun dulu. Air di saluran air kering kerontang. Kemarau tahun ini terasa begitu panjang. Desaku Kalipancur.

Kata orang-orang kemarau kali ini pemicunya kupu-kupu hitam. Ah kupu-kupu hitam. Sudah tiga rumah warga didatanginya. Ke-tiga warga itu istrinya sedang mengandung. Mereka bertiga melanggar adat, istrinya menjadi  pasienku di Puskesmas Kecamatan. Desaku masih memegang teguh adat istiadat. Diantarainya ibu hamil dilarang memeriksakan kandungan di Puskesmas atau Bidan. Akibatnya akan muncul  bencana ditandai munculnya kupu-kupu hitam.

Setiap hari aku berpraktik di Klinik Bidan Desa, tepatnya di desa Kali Pncur desaku sendiri. Hari ini penyuluhan gizi seimbang untuk ibu hamil dan menyusui. Hingga siang tak ada satu pun ibu hamil muncul. Hanya lalu lalang orang-orang. Mereka menatapku tajam sambil berbisik-bisik diantara mereka. Sayup- sayup kudengar isi percakapan mereka.

“Lihat itu bidan baru, lagaknya sok pintar”, seorang ibu paruh baya memulai percakapan

“Iya jangan didengarkan,benar kata suami saya penunggu desa marah” sahut ibu gemuk   disebelahnya.

“ Bikin sengsara saja”

“ Perintah mbah Mijan sesepuh desa agar penunggu desa tak marah jauhi bu Bidan”, kata ibu gemuk.

“Ibu-ibu tunggu!”, kukejar mereka berdua namun nihil sudah pergi. Ini tak boleh dibiarkan kataku dalam hati. Bagaimana nasib ibu hamil disini. Bencana itu karena alam bukan karena kupu-kupu atau binatang lainnya.

Tak ada yang berani melanggar peraturan itu. Tapi aku berani. Nyawa manusia lebih berarti bagiku. Akan kulakukan apapun demi keselamatan ibu dan bayi. Segera kuayunkan langkah menuju rumah Tetua  Adat. Mijan nama Tetua Adat di desaku. Sorot mata tajam menyimpan banyak misteri. Guratan usia terlihat jelas diwajahnya. Lelah lapuk termakan usia. Bibirnya hitam bekas rokok lintingan. Kepulan asap rokok tak pernah berhenti bagaikan asap rokok. Giginya menghitam. Pendekatan manusia kuharap bisa mengubahnya. Sedikit-demi sedikit pasti bisa. Tak ada kata tak mungkin. Batu saja bisa lapuk karena tetesan air manusia juga bisa berubah.

Gelap. Penuh sarang laba-laba.  Debu beterbangan dimana-mana. Cahaya matahari bahkan lewat gendeng kaca sekalipun tak mampir melalui atap rumahnya. Lantainya masih terbuat dari tanah. Bintang melata seperti kelabang, kecoa dan sejenisnya muncul dari lantai rumah mbah Mijan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun