Mohon tunggu...
anie puji
anie puji Mohon Tunggu... Guru - Mengembangkan hobby menulis, berbagi informasi dan pengetahuan lewat kompasiana

Aktifitas sebagai guru, hobby menulis sejak kecil, suka menulis di media sosial juga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Bermutu Tak Cukup Transfer Ilmu

28 November 2020   20:39 Diperbarui: 28 November 2020   20:44 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkaitan dengan Hari Guru Nasional (HGN), saya ingin berkisah tentang liku-liku jadi guru. Guru adalah panggilan jiwaku, cita-citaku sejak kecil. Aku sering main sekolah-sekolah di pojok ruang tamu, ngumpulin dua atau tiga teman tuk jadi murid,dan akulah gurunya. Hehehe itulah kenangan masa kecil dulu. Dan tuk mewujudkan cita-cita, maka setelah lulus SMP mendaftar di SPG dan cabang daftar ke SMA. Ternyata sulit juga masuk seleksi SPG. 

Disamping tes tertulis ada tes olah raga dan seni. Kalau soal seni sich ga masalah karena di keluarga kami punya bakat seni tinggi. Sejak kecil ikut sanggar tari dan sering pentas/manggung kemana-mana. Namun aku untuk  masalah olah raga, disinilah kelemahanku. Badanku kecil olah raga apapun tak pandai. Lari paling belakang, lompat tinggi ga sampai setengah meter, lempar peluru juga ga mampu. Itulah sebabnya aku sadar betul akan kekuranganku dan rasanya ga mungkin lulus diterima di SPG. 

Semangat jadi guru tak putus sampai disitu. Lulus SMA aku ikut SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dengan pilihan IKIP Semarang, juga cabang daftar ke IAIN namun ambil jurusan Ushuluddin. Jurusan yang sama-sekali tak kuketahui maknanya, dan juga  tidak kuminati. 

Sahabat pembaca tentu bertanya mengapa aku memilih fakultas ushuluddin. Semua itu semata-mata karena mengikuti kakak yang siap membiayai kuliah. Kalau akau mau kuliah di Kudus, dan ikut tinggal bersamanya maka semua biaya kuliah akan ditanggung. Inilah alasan kenapa aku memilih kuliah di fakultas ushuluddin yang sama sekali bukan cita-citaku. 

Alhamdulillah tahun 1990 aku mendapat tawaran dari teman untuk ikut mengabdi di MI Miftahul Ulum Kudus, dekat rumah kakakku. Karena masih kuliah, aku mengajar hanya dua hari Sabtu dan Ahad. Gaji mengajar waktu itu Rp10.000,- aku kumpulin aku tabung. 

Dan aku harus selalu bersyukur mengucap alhamdulillah, karena  dari gaji mengajar yang  tak seberapa itu namun membawa keberkahan, terbukti aku mampu membiayai kuliahku di 2 tahun terakhir. Sampai akhirnya tahun 1992 aku berhasil menyandang gelar sarjana. Rasa haru dan bangga bercampur jadi satu. 

Karena akulah satu-satunya anak dari 8 bersaudara yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Maklum ayahku hanyalah seorang pensiunan dan ibuku tidak bekerja. Baginya menyekolahkan anak sampai SLTA sudah bagus, mesti bersyukur.  Namun ayah yang selalu memotivasiku keburu meninggal sebelumsempat melihat aku di wisuda.

Bertepatan dengan hari lulus ada edaran promo kursus komputer. Aku orangnya haus ilmu maka bulan Juni saat liburan sekolah kumanfaatkan untuk ikut kursus komputer di Semarang selama sebulan. Kursus kilat, sehari 4 jam tatap muka (teori dan praktek). Disini aku mendapat sahabat, bertemu  teman seangkatan KKN. 

Beliau adalah ibu Arikhah yang sekarang jadi dosen IAIN Walisongo. Beliaulah yang menguatkanku tuk mengejar cita-cita jadi guru. Masih ingat kata beliau ketika aku mengungkapkan kekecewaanku dalam menuntut ilmu yang tidak linier dengan cita-citaku:"Mbak Ani, meski kita lulusan Ushuluddin, bukan berarti Allah tidak ridlo kita jadi guru. Allah buktikan  kepada manusia bahwa orang ushuluddinpun mampu mengajar, bisa jadi guru yang bermutu, tetaplah semangat dan buktikan pada dunia bahwa mba Ani mampu jadi guru"

Lulus kursus komputer kucoba melamar ke LKP Wahana Prima di Kudus yang kebetulan buka lowongan ngajar D1 dan Alhamdulillah diterima. Hari pertama berhasil mengajar dengan baik. 

Namun di hari kedua aku merasa gagal dan belum siap mental untuk mengajar siswa dewasa. Gara-gara ada siswa/peserta kursus cowok ganteng duduk paling depan membuatku grogi, salah tingkah sampai-sampai spidol yang aku buat nulis di papan tulis terlepas tutupnya dan masuk ke bajuku. Usai ngajar langsung lapor pimpinan tuk mengundurkan diri dengan alasan belum siap mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun