Berkaitan dengan Hari Guru Nasional (HGN), saya ingin berkisah tentang liku-liku jadi guru. Guru adalah panggilan jiwaku, cita-citaku sejak kecil. Aku sering main sekolah-sekolah di pojok ruang tamu, ngumpulin dua atau tiga teman tuk jadi murid,dan akulah gurunya. Hehehe itulah kenangan masa kecil dulu. Dan tuk mewujudkan cita-cita, maka setelah lulus SMP mendaftar di SPG dan cabang daftar ke SMA. Ternyata sulit juga masuk seleksi SPG.Â
Disamping tes tertulis ada tes olah raga dan seni. Kalau soal seni sich ga masalah karena di keluarga kami punya bakat seni tinggi. Sejak kecil ikut sanggar tari dan sering pentas/manggung kemana-mana. Namun aku untuk  masalah olah raga, disinilah kelemahanku. Badanku kecil olah raga apapun tak pandai. Lari paling belakang, lompat tinggi ga sampai setengah meter, lempar peluru juga ga mampu. Itulah sebabnya aku sadar betul akan kekuranganku dan rasanya ga mungkin lulus diterima di SPG.Â
Semangat jadi guru tak putus sampai disitu. Lulus SMA aku ikut SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dengan pilihan IKIP Semarang, juga cabang daftar ke IAIN namun ambil jurusan Ushuluddin. Jurusan yang sama-sekali tak kuketahui maknanya, dan juga  tidak kuminati.Â
Sahabat pembaca tentu bertanya mengapa aku memilih fakultas ushuluddin. Semua itu semata-mata karena mengikuti kakak yang siap membiayai kuliah. Kalau akau mau kuliah di Kudus, dan ikut tinggal bersamanya maka semua biaya kuliah akan ditanggung. Inilah alasan kenapa aku memilih kuliah di fakultas ushuluddin yang sama sekali bukan cita-citaku.Â
Alhamdulillah tahun 1990 aku mendapat tawaran dari teman untuk ikut mengabdi di MI Miftahul Ulum Kudus, dekat rumah kakakku. Karena masih kuliah, aku mengajar hanya dua hari Sabtu dan Ahad. Gaji mengajar waktu itu Rp10.000,- aku kumpulin aku tabung.Â
Dan aku harus selalu bersyukur mengucap alhamdulillah, karena  dari gaji mengajar yang  tak seberapa itu namun membawa keberkahan, terbukti aku mampu membiayai kuliahku di 2 tahun terakhir. Sampai akhirnya tahun 1992 aku berhasil menyandang gelar sarjana. Rasa haru dan bangga bercampur jadi satu.Â
Karena akulah satu-satunya anak dari 8 bersaudara yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Maklum ayahku hanyalah seorang pensiunan dan ibuku tidak bekerja. Baginya menyekolahkan anak sampai SLTA sudah bagus, mesti bersyukur. Â Namun ayah yang selalu memotivasiku keburu meninggal sebelumsempat melihat aku di wisuda.
Bertepatan dengan hari lulus ada edaran promo kursus komputer. Aku orangnya haus ilmu maka bulan Juni saat liburan sekolah kumanfaatkan untuk ikut kursus komputer di Semarang selama sebulan. Kursus kilat, sehari 4 jam tatap muka (teori dan praktek). Disini aku mendapat sahabat, bertemu  teman seangkatan KKN.Â
Beliau adalah ibu Arikhah yang sekarang jadi dosen IAIN Walisongo. Beliaulah yang menguatkanku tuk mengejar cita-cita jadi guru. Masih ingat kata beliau ketika aku mengungkapkan kekecewaanku dalam menuntut ilmu yang tidak linier dengan cita-citaku:"Mbak Ani, meski kita lulusan Ushuluddin, bukan berarti Allah tidak ridlo kita jadi guru. Allah buktikan  kepada manusia bahwa orang ushuluddinpun mampu mengajar, bisa jadi guru yang bermutu, tetaplah semangat dan buktikan pada dunia bahwa mba Ani mampu jadi guru"
Lulus kursus komputer kucoba melamar ke LKP Wahana Prima di Kudus yang kebetulan buka lowongan ngajar D1 dan Alhamdulillah diterima. Hari pertama berhasil mengajar dengan baik.Â
Namun di hari kedua aku merasa gagal dan belum siap mental untuk mengajar siswa dewasa. Gara-gara ada siswa/peserta kursus cowok ganteng duduk paling depan membuatku grogi, salah tingkah sampai-sampai spidol yang aku buat nulis di papan tulis terlepas tutupnya dan masuk ke bajuku. Usai ngajar langsung lapor pimpinan tuk mengundurkan diri dengan alasan belum siap mental.
Tahun- demi tahun berlalu dan selalu update ilmu, ikut penataran ini itu. Bakat seni kutularkan kepada para siswa, sehingga menelurkan siswa berprestasi dalam berbagai lomba baca puisi, pidato dan juga drama tak ketinggalan berkreasi gerak lagu dan tari di setiap  acara akhirussannah Tahun 2000 aku tidak lagi mengajar di Kudus dan pulang kampung menemani ibunda tercinta.
 Selain mengajar  di M Ts setiap hari Ahad, aku diminta mengajar di MI Al Hikmah Kajen. Dan pada tahun 2001 bersama Bapak Marsudi Kepala M Ts merintis berdirinya RA di lembaga tersebut. Jadi sejak itu saya mengajar tiga jenjang sekaligus. RA, MI dan M Ts.Â
9 Agustus  2009 ibu dipanggil Tuhan, bertepatan dengan kegiatan rutin pertemuan IGRA. Untung ibu meninggal sebelum aku berangkat kerja. Ketika aku mandi, tiba-tiba  penjual sayur datang dan berteriak-teriak memanggilku.Â
Tak berapa lama pak Mukhlis ,dokter di desaku datang memeriksa dan menyatakan bahwa ibuku benar-benar sudah meninggal. Kudapati ibu telah meninggal dalam posisi duduk seperti orang mengantuk. kini aku hidup sendiri, Â meski keluarga banyak sekali. Kedua kakak laki-laki ada di Jakarta, kakak perempuan ada di Salatiga dan Jakarta. Adikku berlayar.
Setahun berlalu, keberkahan merawat ibu, aku lulus Sertifikasi. Aku remsi jadi guru profesional. Kini aku punya gaji yang layak. Â Gaji pertama sertifikasi kupakai tuk bayar dana talangan haji. Dalam kesendirian kucurahkan sepenuh hidupku tuk mengamdi demi mencerdaskan anak bangsa di negeri ini.Â
Tahun 2011 aku mulai merintis mendirkan lembaga sendiri. Bersamaan dengan itu,Gus Imron anak menantu KH Ma'mun muzayyin tempat aku megajar MI memintaku tuk membantu ponakannya di Kalimantan timur. Banyak pengalaman berharga yang kudapat di Bumi Borneo dan hingga saat inipun masih berkomunikasi meski lewat dunia maya. 22 Desember  2014 pamit dengan alasan kondisi sekolah sudah aman terkendali dan aku harus menunaikan panggilan suci mempersiapkan berangkat haji.Â
Sejak itulah aku fokus mengelola lembaga Nurul Ilmi, hingga pada tahun 2019 aku berhasil meraih prestasi sebagai Kepala Sekolah Berprestasi tingkat propinsi. Meski kini usiaku mendekati masa pensiun, namun semangat terus maju jadi guru bermutu dan update ilmu. Guru bermutu tak cukup transfer ilmu namun juga update ilmu.Â
Bukan hanya mengajar, tapi juga harus rajin belajar. Karena ilmu allah itu Maha luas, sedangkan kita hanyalah mengambil setetes dari air lautan. Semakin banyak ilmu yang kita pelajari, semakin sadar diri bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahSelamat HARI GURU JADIKAN KAMI GURU YANG BERMUTUui.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H