Oke pada artikel kali ini kita kan membahas tentang Filsafat pendidikan rekontruksionisme, apa sih filsafat pendidikan rekontruksionisme itu?
Rekontruksionisme berasal dari kata renkontruks yang berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti menyusun kembali. Lalu jika dikaitkan dalam bidang pendidikan, aliran filsafat rekontruksionisme memiliki tujuan untuk merombak atau mengubah susunan lama dengan cara membangun tata susunan hidup kebudayaan yang lebih baru atau yang lebih modern lagi serta melakukan kesepakatan antara sesama individu hal ini supaya dapat mengatur tata kehidupan individu dalam lingkungannya.
Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat yang semakin lama semakin menjauhi atau meninggalkan tatanan kehidupan dalam bersikap. Meskipun memiliki pemahaman yan sama dengan perenialisme, tetapi kedua aliran filsafat ini memiliki sebuah prinsip masing-masing.Â
Keduanya mempunyai solusi pemecahan masalah yang berbeda, aliran perenialisme memilih untuk kembali kepada budaya lama yang sudah terbukti mampu membawa manusia melewati kondisi yang krisis, sedangkan pada airan filsafat rekontruksionisme lebih kepada membentuk sebuah konsensus yang dapat mencapai tujuan utama.
Aliran ini memiliki sebuah pandangan bahwa alam itu adalah metafisika, maksudnya alam nyata itu mempunyai 2 bentuk hakikat yaitu materi dan rohani.
Aliran ini juga memandang bahwa realitas atau kenyataan itu sifatnya universal atau menyeluruh, jadi tugas untuk menyelamatkan atau memperbaiki dunia adalah tugas semua manusia, maka dari itu perlu adanya penguasaan intelektual, spiritual dan kembali kepada norma atau nilai yang dianggap benar baik oleh generasi sekarang atau generasi yang akan datang. Â Dan pada aliran ini cita-cita bukan hanya sekedar teori belaka, jadi harus diwujudkan menjadi kenyataan.
Tokoh filsafat pendidikan rekontruksionisme
1. George Count
Dia dikenal sebagai seorang filsuf pendidikan dan sosial yang pada 9 Desember 1889 di Amerika Serikat. Melalui tulisannya, ia mulai mempertanyakan seperti apa sistem sosial dan ekonomi saat itu yang telah menjadi suatu permasalahan yang cukup membesar bagi masyarakat. Jadi menurut  George Count, pendidikan itu sudah seharusnya menjadi agen untuk menciptakan perubahan sosial.Â
Aliran ini memiliki konsep, bahwa pendidikan itu sangat dibutuhkan agar dapat mengungkapkan konsepsi peradaban dan juga perumusan filsafat pendidikan yang bertujuan membentuk para pendidik untuk mengatasi suatu krisis sosial serta ketertinggalam budaya yaitu dengan cara merekontruksi sebuah gagasan, kenyakinan dan nilai yang berubah. Jadi disini guru mempunyai peran yang sangat penting yaitu sebagai ujung tombak dari transformasi sekolah.
2. Caroline Pratt
Caroline Pratt berpendapat bahwa seorang rekontruksionisasi sosial yang sedang berpengaruh pada periode ini, bahwanilai paling besar dari suatu sekolah atau pendidikan haruslah menciptakan individu yang mampu berpikir secara efektif dan tentunya kontruktif.
Nah, untuk mencapai tujuan pendidikan dalam rekontruksionisme dibutuhkan suatu kesepakatan atau kerjasama antar sesama individu agar terciptanya tatanan kehidupan yang sesuai dengan lingkungannya.
3. Paulo Freire
Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, Brazil dan meninggal pada 2 Mei 1997 diusia 75 tahun karena penyakit jantung. Beliau lahir dari keluarga kelas menengah dan memiliki latar belakang dibidang hukum dan pernah menjadi seorang pengacara dalam waktu yang tidak lama serta pernah menjadi guru Bahasa Portugis selama kurang lebih 6 tahun.
Paulo Freire dikenal sebagai seorang tokoh pendidikan dan tokoh utama aliran rekontruksionisme. Beliau mengungkapkan bahwa pendidikan itu tujuannya untuk dapat membuka mata peserta didik tentang realitas dari ketertindasan mereka, supaya mereka bisa melakukan transformasi atau perubahan sosial.Â
Nah, kegiatan untuk membuka mata peserta didik inilah yang disebut Paulo Freire dengan istilah konsientasi yang berguna untuk membongkar atau mengubah apa yang disebutnya sebagai "kebudayaan diam" yaitu suatu keadaan dimana masyarakat itu dibuat tunduk dan patuh kepada penguasa atau pemimpin, yang menyebabkan masyarakat tidak ada keberanian untuk dapat mempertanyakan keberadaannya dan akhirnya menerima keberadaan.
Nah, dari pemikiran diatas menurut Paulo Freire pendidikan itu pasti ada keterlibatan politiknya, baik itu guna mempertahankan status quo atau untuk tujuan memciptakan perubahan atau transformasi sosial.
Hal itu dapat diamati dari metode pembelajaran yang digunakan dikelas, mereka yang menjadikan pendidikan sebagai alat untuk dapat mempertahankan status quo dalam pembelajarannya pasti menggunakan apa yang disebut Paulo Freire sebagai "banking concept of education".Â
Dan mereka yang mempercayai bahwasanya pendidikan itu merupakan suatu praksis pembebasan, pasti akan pasti dalam pembelajaran akan menggunakan apa yang disebut Paulo Freire sebagai "problem posing method."
Dalam hal ini Paulo Freire sangat mengecam dengan metode pembelajaran yang sering ia dijumpainya di dalam kelas yang ia sebut sebagai "banking concept of education" (BCE), hal ini karena menurutnya pendidikan telah dijadikan alat untuk "menindas" kesadaran dari realitas dan menyebabkan seorang individu menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya.,Â
Paulo Freire  juga perbendapat bahwa BCE mempunyai karakter naratif,  karena telah terjadi suatu pola di mana guru adalah sebagai pembicara atau yang berbicara dan peserta didik hanya sebagai pendengar atau yang mendengarkan dengan seksama.Â
Nah, menurut Freire, BCE tidak akan pernah mampu untuk mendorong peserta didik untuk berpikir secara kritis mempertimbangkan realitas yang diberikan kepada mereka.Â
Murid disini hanya akan menjadi penerima realitas yang pasif tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau manfaat dari realitas atau pengetahuan yang diberikan kepada dirinya. BCE dianggap berhasil jika murid mampu menghafalkan dengan baik semua pengetahuan atau realitas yang sudah diberikan kepada mereka.
Maka dari itu Freire memperkenalkan "Problem Posing Method" (PPM), yaitu suatu metode dalam pendidikan yang tidak "menindas" dan tujuannya guna membangkitkan kesadaran dari suatu realitas.Â
Karena menurut Freire, hubungan yang ideal antara guru dan murid bukanlah hierarkikal seperti dalam BCE, tetapi lebih kehubungan dialogikal, yaitu guru itu tidak hanya sebagai sosok tunggal yang sedang mengajar, tetapi juga yang diajar dalam proses dialog  atau diskusi  dengan murid; sementara murid bukan hanya seorang yaang diajar saja, tetapi juga mengajar pada saat yang sama.Â
Disini peserta didik bukan hanya pendengar tetapi juga penyelidik yang mampu berpikir secara kritis saat dialog dengan guru. Guru bertugas memberikan materi di hadapan murid-muridnya lalu meminta mereka mempertimbangkan materi tersebut. Setelah itu guru mempertimbangkan materi yang sudah diekspresikan murid berdasarkan pemikiran mereka masing-masing.
PPM dianggap berhasil jika murid tidak hanya sebagai penerima atau penghafal informasi, tetapi diharapkan mampu untuk berpikir secara kritis mengenai informasi yang mereka miliki, lalu mengkaitkan informasi tersebut untuk kehidupan mereka dan memanfaatkannya guna melakukan suatu perubahan atau transformasi kearah yang lebih baik lagi.
Terima kasih semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H