Konsep perubahan dan berkelanjutan termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 37 tahun 2018 yaitu pada jenjang kelas X KD 3.2 Â Memahami konsep perubahan dan berkelanjutan dalam sejarah. Dalam permendikbud tersebut disamping penekanan tentang teknologi juga menekankan kontekstualitas materi. Konstekstual dalam sejarah bukan hanya diartikan sebagai kekinian namun juga dalam pengertian kedekatan dengan siswa. Sejarah lokal dimana siswa tinggal merupakan contoh terdekat dengan siswa. Runtuhnya kota Pelabuhan Panarukan merupakan salah satu contoh kasus sejarah local terdekat dengan siswa, karena perubahan-perubahan pada Pelabuhan Panarukan dapat diamati langsung bahkan dialami langsung oleh siswa.
Sejarah Runtuhnya Kota Pelabuhan Panarukan
Panarukan adalah sebuah nama daerah yag ikonik. Hampir semua yang mengetahuinya akan teringat dengan jalan Pos Ayer-Panarukan yang dibangun Deandles diawal abad 19. Proyek pembangunan infrastruktur pertama yang sangat monumental karena proses pembangunan jalan Pos Anyer-Panarukan ini hanya memerlukanjangka waktu satu tahun dengan panjang 1.000 km membentang jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Dari sini kata Panarukan masuk catatan resmi Pemerintah Kolonial.
Jalan Pos Anyer-Panarukan dibangun Deandles berujuan untuk memperlancar mobilisasi pasukan, disamping itu juga untuk mempercepat komunikasi karena jalan ini juga sering digunakan untuk distribusi surat- menyurat, sehingga dikenal luas sebagai Jalan Raya Pos. Namun, keberadaannya meninggalkan sejarah kelam penderitaan rakyat Indonesia pada era kolonial. Pembangunan jalan pos ini memakan korban sangat banyak, bahkan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya "Jalan Raya Pos, Jalan Deandes" (2005) menyebutkan bahwa proyek ini adalah genosida terbesar dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. Belasan ribu pekerja meninggal akibat kelelahan dan an beberapa terserang penyakit malaria karena kondisi Pulau Jawa saat itu penuh rawa dan hutan belantara. Selain itu, mereka juga dipaksa bekerja rodi tanpa upah.
Namun, Panarukan memiliki sejarah panjang yang menjadikannya sebuah kota Pelabuhan. Pada masa Kerajaan Majapahit diceritakan bahwa Hayam Wuruk pernah singgah di Panarukan yang pada saat itu merupakan Bandar Kuno. Selain sebagai bandar kuno Panarukan juga berfungsi sebagai benteng pertahanan majapahit (terbukti runtuhan benteng masih ada hingga saat ini). Â Pada abad ke-16 juga diketahui bahwa Panarukan menjadi salah satu Pelabuhan penting di Jawa Timur. Â Hal ini didukung oleh wilayah Panarukan berada disela-sela antara jalan raya dengan pantai. Jalan raya merupakan satu struktur sendiri yang menghubungkan dengan jalur daratan.
Perkembangan struktur Kota Pelabuhan semakin berkembang ketika dibangunnya infrastruktur pembangunan, baik itu jalan raya maupun rel kereta api. Disamping jalan raya Anyer-Panarukan yang memudahkan proses transformasi di utara Pulau Jawa, juga ditunjang adanya  jalan-jalan antar kota di wilayah belakang Panarukan seperti Bondowoso dan Jember. Sementara itu, transportasi juga di bangun oleh pemerihtan kolonial Hindia Belanda saat itu. Jaringan rel kereta api yang awalnya hanya menghubungkan antara Surabaya dengan Probolinggo diperpanjang hingga ke kota perkebunan, Jember (1897). Pada dasarnya pembangunan jalur transportasi melalui rel kereta api ini tidak saja digunakan untuk angkutan manusia, tapi juga barang-barang komoditi perkebunan. Sektor perkebunan juga menunjang ramai dan berkembangnya Kota Pelabuhan Panarukan (Aprianto, 2019).
Sebagai kota Pelabuhan, Panarukan dilengkapi fasilitas-fasilitas penunjang antara lain: galangan kapal, mercusuar sebagai petunjuk arah bagi para pelaut, dermaga, dan beberapa fasilitas pendukung kebutuhan kapal seperti air bersih yang disambungkan dengan pipa-pipa, tempat penumpukan untuk barang-barang impor-ekspor, parkiran, tempat pengisian bahan bakar, tongkang-tongkang, menyambungkan rel kereta api dan menyediakan gerbong-gerbong, tempat timbangan, penginapan dan lain-lain. Tidak ketinggalan pula demi kelancaran administrasi pelabuhan dibangun sarana dan prasarana untuk kantor pengelola Pelabuhan yaitu gedung induk Maasctschappij Panaroekan. Juga terdapat beberapa galangan atau dok-dok terapung sebagai tempat untuk mereparasi kapal. Selain itu juga dibangun pelataran yang sangat luas, untuk bongkar muat isi dari kapal-kapal yang sandar.
Pelabuhan Panarukan menjadi sangat berkembang ketika menjadi penghubung antara kota perkebunan dengan Pelabuhan. Hal ini terbukti adanya jalur kereta api penghubung. Selain itu juga dilengkapi dengan alatalat derek termasuk jalur kereta api dari gudang ke kapal. Rel jkereta api (lori) juga dibangun untuk menghubungkan stasiun kereta api dengan dermaga, kira-kira sepanjang 1 (satu) km. keberadaan lori tersebut sangat memudahkan pengangkutan produksi sumber daya alam, seperti kakao, kopi, tembakau, gula dan lain-lain dengan murah dan cepat melalui jalur ini. Â
Namun, kebesaran kota Pelabuhan Panarukan kini hanya tinggal kenangan. Mundurnya kota Pelabuhan Panarukan berawal dari adanya krisis ekonomi dunia (jaman malaise) 1930 yang  mempengaruhi keberadaan Pelabuhan Panarukan meski masih bisa berfungsi sebagai lintasan perdagangan internasional. Peristiwa selanjutnya adalah pada saat pendudukan fasisme Jepang fungsi utama Pelabuhan sebagai penopang sector ekonomi dialihkan untuk menopang kebutuhan perang. Peristiwa ketiga adalah terjadinya nasionalisasi semua perusahaan asing (1957-1958) yang membuat menurunya fungsi dari Pelabuhan Panarukan. Perusahaan perkebunan partikelir dengan kekuatan modal besar dengan cepat mengalihkan dananya kepada anak perusahaan yang sulit ditembus oleh pemeriksaan pemerintahan RI. Disamping itu juga terjadi proses pengambilalihan kapal-kapal milik perusahaan asing tidak tersentuh. Masyarakat pun melakukan pengambilalihan dan menduduki kantor-kantor dan gudang-gudang di sekitar Pelabuhan Panarukan. Sejak saat itu juga tidak ada lagi kapal-kapal besar pengangkut sumber-sumber daya alam bersandar di Pelabuhan Panarukan.
Pada akhirnya Panarukan sebagai Kota Pelabuhan dan juga Kota Kabupaten runtuh. Berdasarkan PP No 28 Tahun 1972 (28/1972) tentang perubahan nama dan pemindahan tempat kedudukan pemerintah daerah Kabupaten Panarukan, Kabupaten Panarukan berubah menjadi Kabupaten Situbondo. Kini kemegahan Kota Pelabuhan Panarukan pun  hanya tersisa bekas bangunan yang hampir ambruk dan menjadi monumen arkeologi.
Konsep Perubahan dan Berkelanjutan pada Sejarah Runtuhnya Kota Pelabuhan Panarukan