Menjadi diri sendiri terkadang bukanlah hal yang mudah. Tanpa kita sadari, terkadang kita mencoba untuk memiliki karakter atau meletakkan nilai-nilai yang sebetulnya tidak mencerminkan diri kita yang sesungguhnya.Â
Apakah itu dengan alasan tuntutan orang-orang terdekat kita, tuntutan lingkungan, menjaga ego, atau bahkan karena menurut kita, kita akan terlihat mengesankan dan keren jika menjadi seseorang dengan karakter atau memiliki nilai tertentu.
Ada beberapa hal yang saya temui ketika saya melakukan beberapa sesi di pengalaman profesi saya. Saat itu, pengembangan diri adalah topik utamanya. Beberapa rekan yang mengikuti kegiatan tersebut berbagi kisah kepada saya.Â
Saat mereka mengikuti sesi tersebut mereka seperti enggan, atau mungkin malu, untuk mengakui hal yang sesungguhnya atas diri mereka sendiri. Tidak berbohong kok, hanya tidak membuka yang sesungguhnya. Itu berbeda memang.Â
Seperti misalnya salah satu dari mereka menyadari bahwa suatu ketrampilan tertentu pada tingkat tertentu dibutuhkan dalam pekerjaannya. Namun dia merasa tidak perlu meningkatkan ketrampilan yang dimilikinya karena merasa selama ini dia baik-baik saja.Â
Pada akhirnya dia mengatakan kepada saya bahwa dia tidak mau mengakui kalau sebetulnya dia khawatir dengan tingkat kemampuannya saat ini karena dia ternyata mempunyai keinginan lebih untuk meningkatkan posisi pekerjaannya.Â
Saya merasa dengan dia tidak mengakui perasaan kekhawatirannya kepada dirinya sendiri bisa menjadi penghalang untuk langkah dia selanjutnya dalam meraih keinginannya.
Hal ini mirip dengan saat kita melakukan penolakan atas apa yang kita rasakan. Terkadang kita berusaha untuk menolak atau tidak mengakui perasaan kita, dan berusaha untuk mengalihkan ke perasaan yang sebaliknya.Â
Misalnya saat kita merasa sedih, kita enggan untuk mengakuinya dan malah mengatakan kepada diri kita bahwa kita merasa senang atau baik-baik saja.Â
Namun bukannnya kita mendapatkan keringanan atas perasaan sedih kita, malah rasanya semakin merana. Enggan untuk bilang sedih karena khawatir dibilang lemah dan tidak berdaya.Â
Padahal toh cuma mengaku pada diri sendiri, tidak perlu pengumuman ke orang lain. Jadi sama saja dengan kita menghakimi diri kita sendiri bahwa kita lemah dan tidak berdaya.
Tidak ada yang salah dengan tidak mengakui apa yang terjadi pada diri kita. Hanya saja ketika kita mempunyai sebuah harapan, keinginan, atau cita-cita, ada baiknya kita tahu perasaan kita seperti apa dan bagaimana kondisi kita yang sesungguhnya.
Belajar dari rekan saya tadi. Coba bayangkan saat Anda memiliki sesuatu target yang ingin diraih. Atau ingin menjadi seseorang dengan posisi tertentu di pekerjaan Anda. Kemudian untuk mencapai target itu, tentunya ada hal-hal yang harus Anda capai atau kemampuan yang harus Anda miliki.Â
Namun karena enggan, atau ego, Anda bahkan tidak mau mengakui pada diri Anda sendiri bahwa Anda belum punya kemampuan tersebut. Ini mengaku pada diri sendiri lho, tidak perlu mengaku pada orang lain bahkan khalayak ramai.Â
Lalu karena tidak mau mengaku pada diri sendiri, jadinya malah pura-pura tahu, atau seperti tahu padahal tidak, atau malah jadi tambah bingung sendiri.Â
Akhirnya tidak ada motivasi yang muncul dari diri sendiri karena Anda mengganggap sudah mampu atau tahu. Bisakah terbayang, bagaimana mau mencapai target Anda tadi jika Anda tidak memiliki hal-hal yang seharusnya dimiliki untuk mencapai cita-cita atau harapan Anda?
Serupa dengan perasaan hati, kondisi fisik, mental dan hal-hal yang mempengaruhi kita dalam menjalani kehidupan kita. Saya pernah berdiskusi di suatu sesi dengan rekan yang mengalami kemunduran performa dalam bekerja.Â
Dia merasa bahwa dia akan menjadi sukses dengan mengikuti gaya seseorang yang dia kagumi. Hal itu tidak salah kok, silahkan saja. Namun bukannya dia semakin memperbaiki performanya, dia malah makin tertekan. Dia bahkan berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja dan dia akan mengembalikan performanya.Â
Setelah beberapa saat, saya menanyakan apakah dia nyaman dengan gaya yang dia ikuti saat itu dan pada satu titik dia mengakui bahwa dia tidak nyaman karena itu bukanlah dia sesungguhnya. Perlu waktu dan proses, namun akhirnya dia menemukan seperti apa gaya dia dan pada saat itu justru performanya meningkat.
Banyak hal-hal yang nampak sepele dan kita merasa kita tidak perlu sampai harus mengaku pada diri kita karena kita berpikir semua akan baik-baik saja. Semua hal akan berlalu. Itu betul. Namun bagaimana kondisi kita sesungguhnya? Apakah pada saat hal itu berlalu, kita menjadi lebih positif atau lebih negatif?
Saat kita merasa sakit hati, mungkin kita ingin menangis. Tapi, "Oh jangan, jangan menangis, karena itu sama saja cengeng, lemah...". Kira-kira mungkin begitu kata hati kita. Akhirnya karena kita ingin menjadi kuat atau dibilang kuat, ditahan deh menangisnya.Â
Kita bilang pada hati kita, "Saya ini orang kuat, orang kuat tidak menangis". Tapi dada ini rasanya sungguh sesak dan terhimpit. Kita berpikir dengan menjadi kuat maka pasti ada solusi. Padahal hati kita belum siap untuk disuruh cari solusi.Â
Nah, coba saja cari solusi dalam kondisi demikian. Jangan-jangan malah semakin dapat emosi bukannya solusi, ha-ha-ha. Tidak ada salahnya menangis jika memang ingin menangis.Â
Tidak ada salahnya mengaku pada diri kita bahwa kita sedih dan membiarkan kesedihan itu muncul dalam diri kita sebagai bagian dari pemahaman diri. Â
Mengakui secara terbuka kepada diri sendiri atas kondisi dan perasaan yang sesungguhnya akan menjadi awal yang baik untuk menyiapkan hati, menghargai diri sendiri, mengidentifikasi situasi diri, kemudian memperkuat diri untuk merancang tindakan selanjutnya. Jika kita memang mencintai diri sendiri, maka hargailah perasaan dan kondisi kita yang sesungguhnya dengan sebuah pengakuan dan pemahaman.
Nie, 17Jun2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H