Mohon tunggu...
NieNie
NieNie Mohon Tunggu... Lainnya - Sekedar Berbagi

Just ordinary and simple

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sebuah Pengakuan

17 Juni 2022   11:07 Diperbarui: 17 Juni 2022   11:09 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada yang salah dengan tidak mengakui apa yang terjadi pada diri kita. Hanya saja ketika kita mempunyai sebuah harapan, keinginan, atau cita-cita, ada baiknya kita tahu perasaan kita seperti apa dan bagaimana kondisi kita yang sesungguhnya.

Belajar dari rekan saya tadi. Coba bayangkan saat Anda memiliki sesuatu target yang ingin diraih. Atau ingin menjadi seseorang dengan posisi tertentu di pekerjaan Anda. Kemudian untuk mencapai target itu, tentunya ada hal-hal yang harus Anda capai atau kemampuan yang harus Anda miliki. 

Namun karena enggan, atau ego, Anda bahkan tidak mau mengakui pada diri Anda sendiri bahwa Anda belum punya kemampuan tersebut. Ini mengaku pada diri sendiri lho, tidak perlu mengaku pada orang lain bahkan khalayak ramai. 

Lalu karena tidak mau mengaku pada diri sendiri, jadinya malah pura-pura tahu, atau seperti tahu padahal tidak, atau malah jadi tambah bingung sendiri. 

Akhirnya tidak ada motivasi yang muncul dari diri sendiri karena Anda mengganggap sudah mampu atau tahu. Bisakah terbayang, bagaimana mau mencapai target Anda tadi jika Anda tidak memiliki hal-hal yang seharusnya dimiliki untuk mencapai cita-cita atau harapan Anda?

Serupa dengan perasaan hati, kondisi fisik, mental dan hal-hal yang mempengaruhi kita dalam menjalani kehidupan kita. Saya pernah berdiskusi di suatu sesi dengan rekan yang mengalami kemunduran performa dalam bekerja. 

Dia merasa bahwa dia akan menjadi sukses dengan mengikuti gaya seseorang yang dia kagumi. Hal itu tidak salah kok, silahkan saja. Namun bukannya dia semakin memperbaiki performanya, dia malah makin tertekan. Dia bahkan berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja dan dia akan mengembalikan performanya. 

Setelah beberapa saat, saya menanyakan apakah dia nyaman dengan gaya yang dia ikuti saat itu dan pada satu titik dia mengakui bahwa dia tidak nyaman karena itu bukanlah dia sesungguhnya. Perlu waktu dan proses, namun akhirnya dia menemukan seperti apa gaya dia dan pada saat itu justru performanya meningkat.

Banyak hal-hal yang nampak sepele dan kita merasa kita tidak perlu sampai harus mengaku pada diri kita karena kita berpikir semua akan baik-baik saja. Semua hal akan berlalu. Itu betul. Namun bagaimana kondisi kita sesungguhnya? Apakah pada saat hal itu berlalu, kita menjadi lebih positif atau lebih negatif?

Saat kita merasa sakit hati, mungkin kita ingin menangis. Tapi, "Oh jangan, jangan menangis, karena itu sama saja cengeng, lemah...". Kira-kira mungkin begitu kata hati kita. Akhirnya karena kita ingin menjadi kuat atau dibilang kuat, ditahan deh menangisnya. 

Kita bilang pada hati kita, "Saya ini orang kuat, orang kuat tidak menangis". Tapi dada ini rasanya sungguh sesak dan terhimpit. Kita berpikir dengan menjadi kuat maka pasti ada solusi. Padahal hati kita belum siap untuk disuruh cari solusi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun