Mohon tunggu...
Ani Herlina S Pd
Ani Herlina S Pd Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Islam

Menulis untuk menebarkan kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mahligai Cinta

8 Maret 2021   14:50 Diperbarui: 8 Maret 2021   15:39 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunda menatap putra ketiganya dengan dengan perasaan sendu. Wajah yang kuyu tidak terawat, baju yang acak-acakan seperti nggak mengenal setrika, padahal pekerjaannya sebagai manager di sebuah perusahaan bonafid. Pasti ada masalah lagi dengan istrinya. Tapi, sebagai Ibu, ia harus berada diposisi yang netral, tidak boleh memihak sipapun. Faris sudah cukup besar untuk  mengatasi masalahnya sendiri. Dia adalah pemimpin dalam rumah tangganya, yang harus mampu mengambil keputusan. Sedangkan seorang Ibu cukup menjadi penengah, tidak membela siapapun. Baik anak atau menantu.

"Abang mau mandi dulu atau makan dulu ? " tawar Bunda perhatian.

"Mandi dulu aja Bun, Abang gerah dan tubuh terasa lengket." jawabnya lelah. Bunda pun mempersilakan anaknya untuk mandi. Dia tidak menanyakan langsung masalah yang terjadi pada rumah tangga anaknya, karena tadi pagi Fatma menantunya datang kerumah, mengadukan segala permasalahannya.

Dalam lima belas menit, Faris sudah selesai mandi dan wajah terlihat lebih segar. Dia menyusul Bunda ketempat makan. Melihat masakan Bunda di meja, membuat air liurnya terbit. Semua makanan kesukaannya. Rendang daging sapi, ada perkedel kentang, dan sambal ijo plus kerupuk. Setelah meminta izin pada Bunda dan berdo'a dia makan dengan lahap. Sudah lama Faris tidak merasakan makanan rumah, Fatma selalu beralasan sibuk karena Ghozi yang super aktif sekali, istrinya lebih memilih untuk beli delivery order  ketimbang memasak. Bahkan rumah tidak terawat, mainan dimana-mana. Itu semua pasti ulah Ghozi, tapi sesibuk itukah Fatma sampai nggak bisa membereskannya.

Bunda memperhatikan anaknya yang makan dengan lahap. Rasanya senang luar biasa, sudah lama Bunda tidak menyaksikan pemandangan seperti ini.

"Sekarang Bunda boleh nanya sama Abang ? " tanya Bunda lembut, setelah anaknya selesai makan.

"Fatma pergi lagi dari rumah, Bun. Telephonnya nggak di angkat juga. Abang lelah ngadepin sikap dia yang nggak pernah bisa dewasa." jelas Faris sedikit muram.

Bunda merapikan piring kotor bekas makan Faris.

"Biar Abang yang rapiin, Bun" insiatif Faris sambil membawa piring kotor kedapur sekaligus mencucinya, lalu merapikan kembali lauk-pauk yang masih tersisa menyimpannya di lemari makanan.

"Bunda tunggu di taman belakang ya, Bang." Faris mengangguk, setelah rapi dia segera menyusul Bunda ke taman.

"Kalau Bunda boleh tahu, apa yang menyebabkan Fatma pergi dari rumah?"

Faris menghela napas berat. "Hanya karena pulang telat, Fatma curiga kalau Abang selingkuh. Padahal selama ini Abang benar-benar bekerja, dan memang lagi banyak pekerjaan sehingga tidak bisa pulang tepat waktu, lalu kami berantem. Abang lelah Bun, ngadepin sikap Fatma yang kekanakan. Jika ada masalah dengan Ghazi dikit-dikit telephone. Seperti minggu kemarin Ghazi panas, dia telpon Abang pas lagi rapat. Padahal apa susahnya bawa Ghazi kerumah sakit, biar Abang nanti nyusul."

Bunda tersenyum getir. Seperti inikah anak laki-lakinya, ketika  memandang permasalahan rumah tangga, dengan sikap istrinya yang masih labil.

"Abang ingat, umur Fatma berapa?"

Faris mengernyitkan keningnya, heran dengan pertanyaan Bunda. "Dua puluh satu, Bunda."

"Bahkan di usia semuda itu,  dia harus banyak mengorbankan masa mudanya. Kamu tahu nak, bagaimana aktifnya Ghazi, sampai Bunda geleng-geleng kepala. Anakmu itu aktifnya luar biasa,  butuh tenaga extra dan sabar yang luar biasa menghadapi keaktifan anakmu. Dan Fatma cukup sabar, dia nggak pernah bentak atau cubit anakmu. Tapi apa konsekuensi yang dia dapat, dia nggak bisa mengurus dirinya sendiri, rumah baru saja dirapiin sudah berantakan lagi. Dan kalau Fatma turun ke dapur, Ghazi ikutan ngacak-ngacak. Fatma hanya bisa leluasa ketika Ghazi tidur, tapi tidur dia kalau siang itu cuma sebentar." Bunda menghentikan kata-katanya menatap anaknya sebentar.

"Jadi menurut Bunda, aku harus bertoleransi pada Fatma."

"Bunda tidak bermaksud begitu, tapi yang Bunda inginkan Abang bisa membingbing Fatma, tanpa banyak menuntutnya. Ketika Abang menikahi Fatma, dia baru saja lulus SMU.  Usianya baru 17 tahun, kalau abang lupa. Dan siapa yang pertama tergila-gila pada gadis cantik itu, Abang kan? Abang yang meminta pada keluarganya untuk meminang Fatma, dan ingat usia abang sama Fatma terpaut 8 tahun. Padahal gadis seusia Fatma waktu itu, mungkin saja dia ingin meneruskan kuliah, punya mimpi-mimpi indah. Tapi karena menikah dengan abang, semua impian dia terengut. Jadi istri dan Ibu dimasa muda itu nggak gampang, Bang. Ada banyak pengorbanan, maka tugas suami selain membahagiakan adalah mengarahkan agar dia jadi istri saleha yang taat pada suami dan taat pada agama-Nya."

Glekk...Faris menahan ludah susah payah. Kata-kata Bunda banyak benarnya.

Waktu itu dirinya jatuh cinta pada Fatma, saat Faris di rawat di rumah sakit. Kebetulan sahabatnya Amar adalah kakak sepupu Fatma. Saat  Amar datang menjenguknya, dia di temani adik sepupunya. Faris jatuh cinta pada senyum manis Fatma dan sikap lembutnya. Berawal dari pertemuan itu, setelah sembuh, Faris  mencari tahu banyak tentang Fatma, tidak peduli jika gadis itu masih SMU. Faris yang tidak mudah jatuh cinta, bertekad  menjadikan gadis cantik yang memiliki senyum manis itu untuk menjadi istrinya. Dan akhirnya berhasil, Fatma bersedia menikah dengan Faris. Hal itu tentu saja membut Faris bahagia. Tapi Faris lupa, menikah tidak cukup memiliki, menikah adalah proses belajar yang tak pernah mengenal kata henti. Baik itu menjadi suami atau istri.

"Mungkin Bunda juga kalau berada di usia Fatma, Bunda akan bersikap sama. Bunda akan kesal jika tiap hari suami pulang malam, dan akan bersikap curiga juga. Bunda juga akan khawatir luar biasa ketika anak Bunda sakit, lalu menelpon suami. Itu bukan semata-mata kaum Ibu nggak becus ngurus anak, tapi seorang Ibu ketika anak sakit akan diliputi kekhawatiran yang luar biasa, dan mungkin yang terlintas dalam pikiran hanya suami yang bisa dihubungi, karena dia orang yang terdekat dalam hidupnya. Yang diharap pertama mengulurkan tangan disaat butuh bantuan. Disini, abanglah yang harus memposisikan diri saat jadi suami, jadi ayah, jadi pemimpin dikantor. Bukan fokus pada satu hal, seperti yang Bunda lihat Abang terlalu fokus dengan kerja dan diri Abang sendiri. Sedang waktu untuk keluarga sangat sedikit."

"Tapi, aku melakukan ini semua juga untuk kebahagiakan istri dan anak-anaku, Bun." Faris berusaha membela diri.

"Tapi apakah istrimu bahagia? Apakah anak-anak dapat kasih sayang yang melimpah? Bunda lihat, Fatma bukan type istri yang banyak nuntut. Bahkan tas mewah dan perhiasan mahal yang kamu belikan jarang dia pake. Bunda pernah tanya, alasan yang Fatma katakan, karena tidak terlalu menyukai barang-barang mewah. Jadi yang istrimu butuhkan adalah perhatian, pengertian dan juga meluangkan waktu bersama disaat ada waktu. Tidak semua istri butuh disogok dengan barang-barang mahal atau diberi tiket keliling dunia. Karena ada hal yang lebih membahagiakan dari itu, tapi tidak banyak kaum laki-laki  memahami.

Bulan lalu Abang seminggu pergi ke Maldives, apakah istrimu cerita jika Ghazi harus dirawat dirumah sakit? Betapa kacaunya dia, menghadapi semuanya sendirian disaat kamu bisa bersenang-senang. Kenapa abang tidak menghabiskan waktu bersama Fatma. Baik itu untuk traveling, atau sekedar makan diluat dengan light candle dinner. Bahagianya istri itu sangat sederhana, Bang. Dan itu yang belum bisa Abang berikan pada Fatma. Jadi jangan terus salahkan istrimu, ketika
dia memilih pergi untuk menjemput kebahagiannya sendiri."

Degg...kata-kata terakhir Bunda, bikin hatinya mendadak sakit. Apakah Fatma akan pergi dari hidupnya? Karena jujur Faris belum siap kehilangan. Ia masih cinta pada istrinya, meski akhir-akhir ini keberadaan istrinya sering terabaikan karena kesibukan.

"Cari istrimu, Bang. Bawa pulang dia kerumah. Minta maaf kamu sama dia. Bunda lihat kamu lebih salah dibandingkan istrimu. Jangan sampai nasibmu sama seperti Masmu, harus berujung dengan penceraian karena alasan kesibukan."

"Apakah Fatma  kembali ke rumah orang tuanya?" tanya Faris dengan raut wajah suram. Terbayang dia harus bertemu dengan mertuanya yang galak.

"Bunda nggak tahu, tapi yang jelas Fatma nggak pernah kabur kerumah orang tuanya. Dia tidak pernah ingin  orang tuanya tahu masalah yang terjadi diantara kalian."

"Baiklah Bun, Abang pulang dulu." ujarnya dengan langkah gontai. Bingung harus mencari Fatma kemana. Dan inilah salahnya sebagai suami, tidak pernah mencoba mencari tahu, siapa teman-teman akrab istrinya. Setelah menikah istrinya benar-benar full wife, dengan sibuk ikut kursus masak, kursus bikin kue, kursus jahit, belajar menyulam, berkebun dan belajar segala tetek bengek pekerjaan perempuan. Dan ketika jadi Ibu, Fatma benar-benad jadi Full time mother. Meski adakalanya menghadapi rasa jenuh karena kehilangan me time.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun