Faris menghela napas berat. "Hanya karena pulang telat, Fatma curiga kalau Abang selingkuh. Padahal selama ini Abang benar-benar bekerja, dan memang lagi banyak pekerjaan sehingga tidak bisa pulang tepat waktu, lalu kami berantem. Abang lelah Bun, ngadepin sikap Fatma yang kekanakan. Jika ada masalah dengan Ghazi dikit-dikit telephone. Seperti minggu kemarin Ghazi panas, dia telpon Abang pas lagi rapat. Padahal apa susahnya bawa Ghazi kerumah sakit, biar Abang nanti nyusul."
Bunda tersenyum getir. Seperti inikah anak laki-lakinya, ketika  memandang permasalahan rumah tangga, dengan sikap istrinya yang masih labil.
"Abang ingat, umur Fatma berapa?"
Faris mengernyitkan keningnya, heran dengan pertanyaan Bunda. "Dua puluh satu, Bunda."
"Bahkan di usia semuda itu, Â dia harus banyak mengorbankan masa mudanya. Kamu tahu nak, bagaimana aktifnya Ghazi, sampai Bunda geleng-geleng kepala. Anakmu itu aktifnya luar biasa, Â butuh tenaga extra dan sabar yang luar biasa menghadapi keaktifan anakmu. Dan Fatma cukup sabar, dia nggak pernah bentak atau cubit anakmu. Tapi apa konsekuensi yang dia dapat, dia nggak bisa mengurus dirinya sendiri, rumah baru saja dirapiin sudah berantakan lagi. Dan kalau Fatma turun ke dapur, Ghazi ikutan ngacak-ngacak. Fatma hanya bisa leluasa ketika Ghazi tidur, tapi tidur dia kalau siang itu cuma sebentar." Bunda menghentikan kata-katanya menatap anaknya sebentar.
"Jadi menurut Bunda, aku harus bertoleransi pada Fatma."
"Bunda tidak bermaksud begitu, tapi yang Bunda inginkan Abang bisa membingbing Fatma, tanpa banyak menuntutnya. Ketika Abang menikahi Fatma, dia baru saja lulus SMU. Â Usianya baru 17 tahun, kalau abang lupa. Dan siapa yang pertama tergila-gila pada gadis cantik itu, Abang kan? Abang yang meminta pada keluarganya untuk meminang Fatma, dan ingat usia abang sama Fatma terpaut 8 tahun. Padahal gadis seusia Fatma waktu itu, mungkin saja dia ingin meneruskan kuliah, punya mimpi-mimpi indah. Tapi karena menikah dengan abang, semua impian dia terengut. Jadi istri dan Ibu dimasa muda itu nggak gampang, Bang. Ada banyak pengorbanan, maka tugas suami selain membahagiakan adalah mengarahkan agar dia jadi istri saleha yang taat pada suami dan taat pada agama-Nya."
Glekk...Faris menahan ludah susah payah. Kata-kata Bunda banyak benarnya.
Waktu itu dirinya jatuh cinta pada Fatma, saat Faris di rawat di rumah sakit. Kebetulan sahabatnya Amar adalah kakak sepupu Fatma. Saat  Amar datang menjenguknya, dia di temani adik sepupunya. Faris jatuh cinta pada senyum manis Fatma dan sikap lembutnya. Berawal dari pertemuan itu, setelah sembuh, Faris  mencari tahu banyak tentang Fatma, tidak peduli jika gadis itu masih SMU. Faris yang tidak mudah jatuh cinta, bertekad  menjadikan gadis cantik yang memiliki senyum manis itu untuk menjadi istrinya. Dan akhirnya berhasil, Fatma bersedia menikah dengan Faris. Hal itu tentu saja membut Faris bahagia. Tapi Faris lupa, menikah tidak cukup memiliki, menikah adalah proses belajar yang tak pernah mengenal kata henti. Baik itu menjadi suami atau istri.
"Mungkin Bunda juga kalau berada di usia Fatma, Bunda akan bersikap sama. Bunda akan kesal jika tiap hari suami pulang malam, dan akan bersikap curiga juga. Bunda juga akan khawatir luar biasa ketika anak Bunda sakit, lalu menelpon suami. Itu bukan semata-mata kaum Ibu nggak becus ngurus anak, tapi seorang Ibu ketika anak sakit akan diliputi kekhawatiran yang luar biasa, dan mungkin yang terlintas dalam pikiran hanya suami yang bisa dihubungi, karena dia orang yang terdekat dalam hidupnya. Yang diharap pertama mengulurkan tangan disaat butuh bantuan. Disini, abanglah yang harus memposisikan diri saat jadi suami, jadi ayah, jadi pemimpin dikantor. Bukan fokus pada satu hal, seperti yang Bunda lihat Abang terlalu fokus dengan kerja dan diri Abang sendiri. Sedang waktu untuk keluarga sangat sedikit."
"Tapi, aku melakukan ini semua juga untuk kebahagiakan istri dan anak-anaku, Bun." Faris berusaha membela diri.